Marah-Marah

2123 Words
Tas selempang warna coklat yang sejak pagi menamaninya di kantor kini tergeletak di atas tempat tidur. Semua barang yang ada di dalamnya berhamburan. Tidak ada niat sedikit pun untuk membereskan kekacauan kecil yang dibuatnya. Ara malah tidur tanpa mengganti pakaian. Hari ini ia ingin menenangkan diri dan pikiran. Julian sudah keterlaluan membuat Ara harus naik turun dari lantai 5. Ada saja yang dimintanya untuk mengganggu pekerjaan Ara sampai-sampai gadis itu harus lembur dua jam. Tanpa bayaran. “Kerja rodi,” gumam Ara dengan mata tertutup. Suara ketukan pintu yang nyaring menggelitik gendang telinga. Ara meraih bantalnya lalu menutup telinga supaya suara pintu itu tak didengar lagi. Namun, sayaup-sayup suara Diana menggelegar seperti ingin memecah pendengarannya. “Ara cepat bangun! Jadi anak cewek jangan malas,” teriak ibunya. Ara yakin hari sudah malam ketika ia sampai rumah dan sekarang ia harus melaksanakan perintah ibunya. Mungkin bantu memasak untuk menyiapkan makan malam. “Ada apa, Bu? Kalau ibu mau makan duluan saja. Ara mau istirahat,” ucapnya dengan wajah suntuk. Menatap sang ibu yang berdiri di hadapannya. “Istirahatnya nanti saja sekarang kamu mandi terus dandan yang cantik. Ikut ibu ke rumahnya Bu Parida, ada hajatan,” kata Diana. Ara menekuk kedua alisnya. Ia tidak tahu kalau tetangga yang alamatnya sekitar 10 rumah darinya mengadakan hajatan. Biasanya sehari sebelum itu para warga akan heboh membicarakan hajatan orang kaya di lingkungan itu. “Kok aku nggak denger berita?” tanya Ara menaruh curiga. Ia kembali berpikir apa mungkin hajatannya mendadak? Meski kecil kemungkinan acara diadakan mendadak, tapi mengingat ibu Parida adalah orang kaya mungkin saja itu terjadi. Terlebih keluarga Bu Parida baru saja membeli mobil baru yang mewah. Setiap lewat di depan rumah Ara, mobil itu selalu membunyikan klakson. “Sudah jangan banyak tanya kamu siap-siap sekarang, ya.” Dengan berat hati Ara menuruti kata Diana. Setelah mandi dan berdandan sederhana ia pun menunggu ibunya di ruang TV. Ara mengintip keluar siapa tahu ada orang berlalu lalang pergi ke hajatan Bu Parida, tapi sayang jalan di depan rumahnya sepi. Beberapa orang yang lewat terlihat mengenakan pakaian biasa. Ini sangat aneh dengan kebiasaan waga sekitar rumahnya yang suka berdandan heboh kalau ada acara. “Ara pakai kerudungnya dulu,” kata Bu Diana. Ara menutup tirai jendela seraya menghampiri ibunya. “Hajatan apa sih, Bu? Yang diundang siapa saja?” tanya Ara sembari mengenakan kerudung pemberian ibunya. “Ibu mana tahu siapa saja undangannya, yang jelas kita diundang khusus,” jawab Diana membuat Ara semakin curiga. Anak Ibu Parida adalah temannya waktu kecil. Ara sering bermain dengannya, tapi semenjak Nimas (anak Ibu Parida) diejek sering bermain dengan Ara hubungan mereka pun menjauh. Sampai sekarang mereka tidak pernah bertegur sapa. Jujur Ara malas bertemu Nimas lagi. Butuh waktu sekitar tujuh menit sampai di rumah Bu Parida dengan berjalan kaki. Rumahnya besar, tapi sepi tidak seperti orang yang mengadakan hajatan. Saat masuk ke halaman pun terasa aneh, tidak ada dekorasi yang mencolok.Semua terlihat biasa saja tidak seperti acara hajatan seperti yang ibunya katakan. “Bu, kok sepi?” tanya Ara menahan tangan ibunya sebelum mengetuk pintu. “Sebenarnya ibu mau kamu ketemu Nimas. Ibu Parida minta kita sekeluarga makan di rumahnya sekalian silahturahmi lagi seperti dulu, tapi sayang bapak kamu gak bisa ikut,” ucap Diana. Ara langsung melepaskan tangan Diana yang menggenggam lenganny. Ia belum siap bertemu Nimas, terlebih mereka sudah lama tidak bertegur sapa. Ara pasti canggung. Ia juga yakin maksud dari pertemuan ini bukan untuk silahturahmi saja. “Ara mau pulang,” ucapnya lalu kabur meninggalkan Diana yang masih di halaman rumah Bu Parida. “Ara jangan pulang,” panggil Diana, tetapi gadis itu keburu menghilang dari pandangan. ** “Lo bayangin ketemu orang yang sudah lama gak ketemu sama lo. Canggung banget pasti.” Ara tiduran di kasur. Pintu sudah ia kunci untuk jaga-jaga kalau ibunya masuk tanpa permisi. Sudah lima menit lamanya ia menelepon Tina untuk curhat masalahnya hari ini. Mulai dari hari pertama kerja sampai acara makan malam yang aneh. “Lo mau dijodohin kali,” kata Tina dari seberang. Terdengar suara tv menyala, mungkin Tina sedang menonton. “Tapi gak gitu caranya. Gue punya hak untuk menentukan siapa yang menjadi suami gue kelak. Kalau pun Nimas jodoh gue ya biarin aja jalan normal. Gak usah dipaksakan.” Ara kini duduk menatap satu-satuya jendela kamar. Dibukanya jendela itu untuk mendapat udara segar. Sinar bulan dan kelip-kelip bintang sedikit mengobati rasa jengkelnya. “Namanya juga orang tua pasti mau anaknya dapat yang terbaik. Btw, gue tutup dulu teleponnya besok mau kerja pagi. Kalau lo gak lembur main ke rumah gue, ya,” kata Tina. Sambungan berakhir, Ara melihat jam di ponselnya. Ia juga harus tidur karena besok kerja. Menghadapi Julian butuh tanaga ekstra. ** Julian belum datang ketika Ara sampai di kantor, terlihat dari parkiran mobilnya yang masih kosong . Gadis itu sengaja datang pagi untuk menghindari pertemuan di parkiran seperti awal perjumpaan mereka. Harinya terasa lebih tenang, tadi pagi ibunya tidak marah. Namun, mogok bicara. Ara tetap bersyukur telinga dan hatinya bisa tenang saat berangkat. “AAA!” Ara berteriak ketika membuka pintu melihat sosok Julian berdiri di dekat meja kerjanya. Pria itu menatap Ara dengan alis tertekuk. Ini masih pagi, tapi sekertarisnya sudah membuat ulah. “Bos kenapa ada di sini?” tanya Ara. Ia yakin mobil bosnya tidak ada di parkiran. “Kenapa? Gak suka lihat saya datang pagi? Atau kamu lebih suka saya gak kerja biar dapat santai?” tuduh Julian membuat Ara langsung jengkel. Baru sekejap hatinya merasa damai. “Enggak bos. Saya senang banget kalau Bos datangnya pagi. Biasanya kalau bos besar datangnya siang,” kata Ara yang kini berjalan ke tengah ruangan. “Kamu meledek saya?” Tatapan Julian kembali tidak bersahabat. Ara menghentikan langkahnya sebari menghela napas, ia menyesal telah menjawab. Lebih baik dia duduk manis mengerjakan tugasnya yang belum selesai. Besok Julian akan meeting sehingga ia harus menyiapkan bahan presentasi yang sudah dikirim bosnya. Semalam. Ya, Ara tidak salah melihat waktu yang ada di kotak masuk email-nya. Ia jadi berpkir kapan Julian beristirahat kalau jam 00.25 masih begadang dan sekarang, pagi sekali sudah berada di kantor. “Saya akan pergi seharian.Kamu di kantor saja kerjakan semua tugas yang saya berikan. Ingat semuanya harus selesai hari ini. Besok pagi saya mau semuanya beres. Kamu akan ikut meeting supaya tahu apa saja pekerjaan kamu jadi sekalian belajar,” kata Juan. Itu adalah kata-kata terindah yang keluar dari mulut Julian yang terkenal seperti cobekan sambal. Pedas. Ara berandai-andai kalau saja bosnya setiap hari bicara baik dan lembut mungkin banyak sekertaris yang betah kerja dengannya. Namun, emosi bosnya tidak stabil, sering marah tidak jelas dan mudah terpancing. “Siap, Bos. Hati-hati di jalan,” kata Ara ketika Julian menenteng tas kantornya. Pria itu menatap sekertarisnya yang tersenyum lebar. Julian melangkah mendekati Ara yang membuat gadis itu waspada. “Kerja yang benar jangan gossip. Saya tidak suka karyawan yang menggosip apa lagi menceritakan keburukan pimpinannya.” Ara menelan ludahnya susah payah. Apa mungkin Juan mengatakan sesuatu pada bosnya. Kalau benar itu terjadi maka Julian akan selalu memperhatikan dirinya. Ara harus lebih berhati-hati. “I-iya, Bos.” Pintu akhirnya ditutup membuat Ara terduduk lagi. Meski Julian tidak ada di kantor harinya terasa sama buruknya. Ia belum punya teman. Sinta yang ia kenal kemarin belum bisa dikatakan teman begitu juga dengan Mawar. Mereka hanya berbincang ketika makan siang kemarin. Jarum jam terus berdetak menimbulkan suara yang nyaring di ruangan yang sepi. Ara mengintip di jendela suasana di luar ruangan bosnya. Para karyawan terlihat bahagia bercanda gurau satu sama lain. Ara kembali menutup tirai kemudian menatap jam di dinding. Masih ada waktu dua jam sebelum istirahat makan siang. Ara kembali duduk di kursinya menatap layar power point yang masih menyala. Kembali ia mengerjakan tugasnya berharap satu setengah jam sebelum waktu makan siang bisa selesai. Ia berencana untuk berbaur dengan karyawan lain. Ara tidak mau terisolasi di ruang kerjanya. Ia bisa gila kalau seharian di ruangan. Terlebih Julian tidak di kantor membuat drinya bisa leluasa berinteraksi dengan staf lainnya. Satu setengah jam berlalu. Ara kembali merenggangkan tangannya yang terasa pegal. Mata mulai mengantuk itu artinya ia butuh kafein. Tidak ada jaminan kafein membuatnya lebih segar, tapi cukup membuatnya merasakan pahit manis dalam waktu bersamaan. Aromanya juga bisa membuatnya lebih nyaman meski ia bukan maniak kopi. Dapur di lantai lima memang tergolong sempit dengan fentilasi udara yang cukup. Tidak pengap. Mungkin hanya bisa dihuni maksimal 3 orang. Ada rak kopi yang menempel di dinding. Ara mengambilnya, menakar kopi dan gula ke dalam gelas. Tidak ada cangkir di atas rak, berbeda dengan dapur lantai 2. Baru saja ia menekan tombol air panas pada dispenser tiba-tiba Mawar muncul. Staf personalia yang seharusnya bekerja di lantai dua kini berada di depannya. “Buat kopi?”tanya Mawar melihat gelas bening berisi cairan hitam pekat di tangan Ara. “Bu Mawar mau?” Mawar langsung menggeleng. Ia mengambil gelas lalu menuangkan gula ke dalamnya sebelum mengambil kantong teh. “Lebih enak teh dari kopi. Perut saya cepat kembung kalau minum kopi,” jelasnya. Ara mengangguk lalu duduk di kursi dekat pintu masuk. Sekalian mengintai kondisi di luar siapa tahu tiba-tiba Julian balik lagi. “Maaf, ya, kemarin saya gak sempat ngajak kamu keliling. Bos kayaknya marah banget jadi takut.” Mawar mulai mengaduk gelasnya mencelupkan kantong teh di air hangat. Ia duduk dekat dispenser. “Iya, gak apa-apa. Saya ngerti,” sahut Ara. Mereka mulai berbincang berbagai hal, tentu tidak luput mengenai si Bos yang suka gonta-ganti sekertaris. Ara juga bercerita tentang keusilan Julian yang memintanya mengambil air minum di lantai dua. Sontak hal itu membuat Mawar tertawa. “Jadi lo dikerjain?” kata Mawar. Mereka mulai akrab sehingga kata lo, gue, menggantikan aku kamu yang menurut mereka terlalu formal dalam situasi pertemanan. Ara menghabiskan sisa kopinya sebelum menjawab. “Ya, mau bagaimana lagi. Gue gak tahu kalau di setiap lantai ada dapurnya. Apa lagi bos ngancam mau pindahin dapur ke lantai satu. Ia kalau lift maintenance bagus, kalau rusak bisa gempor naik turun tangga.” Mawar membuang kantong teh ke tong sampah lalu mencuci gelasnya. “Ya, nikmati sajalah. Jarang-jarang Pak Julian ngelakuin itu. Setidaknya lo gak dimarah terus. Banyakin sabar, ya,” nasihat Mawar. Ara dibuat kaget akan kedatangan seorang OB. Wajahnya pucat dengan napas ngos-ngosan. “Mbak Ara, ya?” tanya pria itu membuat Ara mengangguk heran. “Bos sudah balik, lagi marah-marah di ruangannya. Lebih baik Mbak Ara samperin,” ucapnya. Ara buru-buru mencuci gelas lalu mengisinya dengan air dingin. Mawar mencegatnya sebelum pergi. “Lo yang sabar kalau ada apa-apa teriak saja,” ujarnya. Ara mengangguk lalu bergegas menemui Julian. Tangannya bergetar ketika mengetuk pintu. Baru saja ia masuk Julian sudah berteriak seperti orang kerusupan. “Arrgh!” Julian berteriak lalu menendang kardus berisi beberapa dokumen di dekatnya. Ara kaget dengan sikap bosnya yang berbeda dari biasanya. Dengan hati-hati Ara mendekati Julian lalu mencipratkan air yang ia bawa ke Bosnya. Julian yang merasakan percikan air dingin mengenai samping wajahnya pun menoleh. Ara berdiri di dekatnya membawa segelas air. Julian menatap tajam sekertarisnya yang menjadi dalang percikan air itu. “Siang Bos,” sapa Ara seperti tidak ada masalah. Julian mengeraskan rahangnya, menahan emosi yang memuncak. Ara tahu apa yang ia lakukan tadi salah, bisa saja mematik api kemarahan semakin besar. Namun, tidak salahnya mencoba untuk mengganggu pikiran bosnya supaya amarah pria itu teralihkan. Ara meletakkan gelas di atas meja. Julian berjalan menghampiri dengan tatapan tak bersahabat. Gadis itu gemetar merasakan tatapan dingin menghujani dirinya. “Kamu tahu apa salahmu?” gumam Julian tepat di depan wajah Ara. Gadis itu teringat akan kata-kata Mawar, ia akan berteriak meminta bantuan kalau Julian melakukan hal yang diluar batas. Ara mempersiapkan suaranya sebaik mungkin. Dengan satu tarikan napas ia harus bisa mengeluarkan suara kencang yang bisa didengar oleh keryawan di luar. “Maaf, Bos. Saya kira Bos kerasukan. Kalau Bos ada masalah ada baiknya hati ditenangin lebih dahulu, biar pikiran tidak kacau,” kata Ara. Julian memalingkan wajahnya. Ia diceramahi lagi oleh gadis yang tidak ia suka. “Bukan maksud apa-apa, Bos, tapi untuk menghindari masalah kecil mejadi besar lebih baik menenangkan hati dulu,” kata Ara. Julian kembali ke mejanya. Tanpa pikir panjang ia menghabiskan air yang Ara bawa. Gadis itu ingin mencegahnya, tapi Julian sudah menghabiskan minuman itu secepat kilat. “Ambilkan saya air lagi terus pesankan makanan,” perintah Julian. Ara masih terdiam, tidak berani beranjak. Ia takut kalau Julian sadar air apa yang ia minum tadi. Merasa perintahnya diabaikan Julian pun menatap Ara. “Kenapa? Kamu marah airnya saya habiskan?” Ara menggeleng kaku. Itu air bekas tangan gue, Bos. Julian memberikan isyarat agar Ara mengisi gelasnya dengan air. Gadis itu buru-buru bergerak mengisi gelas dengan air yang ada di pojok ruangan. Sesekali Ara melirik Julian berharap pria itu tidak mengeluh sakit perut atau semacamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD