Hari Pertama Kerja

2008 Words
Semangat baru terlihat dari pancaran wajah berseri Ara. Pagi ini untuk pertama kali ia bangun dengan perasaan bahagia. Hari pertamanya masuk kantor. Ara memilih pakaian yang pantas untuk dikenakan. Tidak terlalu banyak pakaian yang bisa ia pilih. Celana capri hitam dipadukan dengan kaos putih dan cardigan kantor warna yag sama dengan celana. Penampilan Ara sederhana ditambah polesan bedak tipis dan liptin merah muda. Setelah selesai berdandan ia bergegas sarapan. Seperti biasa di meja makan ibu dan ayahnya sudah menunggu. Dengan penuh percaya diri Ara duduk di depan kedua orang tuanya. “Kamu mau ke mana?” tanya ayahnya. Ara terseyum lebar lalu meletakkan tas tangannya di atas meja. Tas berwarna coklat itu baru ia beli kemarin di pasar malam. Harganya cukup mahal dari pada tas-tas yang lain. “Mau kerja. Ara sudah dapat pekerjaan. Ini hari pertama Ara kerja di perusahaan besar,” ucapnya dengan penuh percaya diri. “Kamu gak bohong,’kan Ara?” tanya ibunya. Gerakan tangan saat menyendok makanan pun berhenti, Diana lebih tertarik mendengar penjelasan anaknya dari pada sarapan. “Iya, benar. Kemarin sore Ara interview dan langsung diterima.” Dengan penuh percaya diri ia bicara membuat kedua orang tuanya saling bertatapan. Diana adalah orang yang paling bahagia pagi itu. Ia bertepuk tangan memberi selamat untuk putrinya. “Kalau begini ibu senang dengarnya.” Diana menatap suaminya yang sedang minum kopi. “Pak kita nggak perlu khawatir lagi masalah uang kontrakan bulan depan,” kata Diana. Ara tersenyum tipis, ia senang bisa membahagiakan kedua orang tuanya pagi ini. “Bu, Pak, Ara berangkat dulu nanti sarapannya di kantor saja. Takut terlambat gak enak sama bos,” ujar Ara. Diana mengangguk antusias. “Hati-hati di jalan, kerja yang benar,” nasihat ayahnya. Ara berpamitan lalu mencium tangan orang tuanya. Diana yang sangat bahagia pun mengantar Ara sampai keluar. Ibu-ibu yang sedang berbincang dengan abang penjual sayur keliling seketika menatap Ara. Diana merasa bangga ketika tetangganya menatap putrinya tak berkedip. “Ara sayang hati-hati, ya. Kerja yang baik biar jabatannya cepat naik. Ibu senang banget kamu keterima di perusahaan sebesar itu. Nggak sia-sia kamu sekolah tinggi-tinggi apalagi nggak ada bantuan orang dalam,” ujar Diana dengan suara yang cukup keras. Ara segera mengenakan helm-nya. Ia benar-benar malu. Ia tahu ibunya sedang pamer dengan tetangga, tapi kenapa harus di depan Ara? Tanpa membuang banyak waktu Ara melesat pergi. Saat melintasi ibu-ibu di depan Ara pun menutup kaca helm-nya. Ia tidak bermaksud sombong melainkan ia malu ditatap intens oleh tetangga. “Wah, Ara sudah dapat kerjaan ya, Bu Diana?” tanya salah satu ibu-ibu berdaster yang tadi memilih ikan. Daging ayam sudah habis, kini tinggal ikan laut sejenis ikan pindang dan teman-temannya. Satu keranjang bambu kecil berisi empat samai lima ekor ikan. Ada juga ikan yang sudah dipotong lalu dibungkus pakai plastik. “Iya, Bu Sekar. Biasa hari pertama kerja harus disemangati.” “Selamat, ya, Bu akhirnya si Ara nggak nganggur lagi berarti bulan depan bayar kontrakan lancar dong,” sindir Bu Melida, salah satu ibu muda yang suka ngegosip. Hobinya menghitung utang orang lain, tapi lupa sama utang sendiri. “Doa,’kan saja, Bu semoga anak saya sukses dan bisa bayar kontrakan. Mari Bu saya masuk dulu.” Bu Diana segera masuk ke dalam meninggalkan ibu-ibu depan rumahnya. * Ara memarkir motornya buru-buru. Baru saja ia membuka helm sebuah mobil berhenti di dekatnya. Lebih tepatnya empat meter dari tempat gadis itu berada. Suara klakson membuat gadis itu kaget hingga helm yang dipeganggnya jatuh. Ara menoleh pada mobil putih yang tidak asing dalam ingatannya. Tatapan gadis itu turun pada nomor kendaraan. Seketika Ara mengingat siapa pemilik mobil. Julian membuka kaca mobilnya lalu melongokkan kepala keluar. Ia memberi isyarat agar Ara menyingkirkan motornya, tetapi gadis itu hanya diam menatap dirinya tanpa berkedip. Kesal karena Ara tak kunjung pergi Julian kembali menyembunyikan klakson membuat perhatian orang-orang tertuju padanya. Dua satpam dengan sigap menghampiri Ara membuat gadis itu kebingungan. “Mbak jangan parkir di sini. Parkir di sana saja,” kata salah satu satpam yang berbadan tinggi kurus. “Parkir di sini masih kosong, Pak. Lagian kenapa gak orang itu saja yang disuruh parkir di sana,” kata Ara. Tatapannya beralih pada Julian yang sedang duduk manis di dalam mobil dengan wajah tertekuk kesal. Ingin rasanya Ara berteriak pada pria sombong tidak punya hati itu. “Lebih baik Mbak nurut saja,” kata Satpam bertumbuh gempal. “Ta―” ucapan Ara terpotong saat Julian kembali membunyikan klakson. Andai ia tidak membawa mobil matik mungkin sejak tadi ia meminta bantuan satpam untuk memarkirkan kendaraan. “Mbak kami mohon jangan membantah, ya. Keluarga kami masih butuh uang buat makan apa lagi saya punya anak balita yang butuh s**u dan pampers,” kata satpam itu lagi. Ara masih diam tidak bergeming dari tempatnya, ia kebingungan apa hubungan parkir dengan anak balita. Dengan terpaksa satpam bertubuh kurus menarik Ara turun dari motornya. Kedua satpam itu membawa motor Ara ke tempat lain. Mau tidak mau Ara memungut helm-nya yang terjatuh lalu menyingkir dari tempat parkir. Julian dengan cepat memarkir mobilnya. Ia keluar dengan wajah tertekuk sembari menghampiri Ara. “Punya otakkan?” tanya Julian lalu pergi melewati Ara. Kesal karena pria itu sangat sombong membuat Ara mengepalkan tangan. Gadis itu memberikan helmnya pada satpam yang menghampiri. “Pak, minta tolong taruh di motor saya. Terima kasih, ya.” Dengan tergesa-gesa Ara berlari ke lift yang akan membawanya ke ruangan bos.Pesan dari Mawar sudah ia baca. Perempuan itu akan menunggunya di lantai 5―lantaiyang sama dengan ruangan bos― kemudian memperkenalkan dirinya pada pimpinan sebelum bekerja. Orang-orang di depan lift seketika memberi jalan saat Julian datang. Tidak satu pun yang berani masuk sehingga Julian sendiri di dalam lift. Ara berlari tanpa menaruh curiga, menyusup kerumuan lalu berdiri di samping Julian. Beberapa orang memberinya isyarat agar Ara segera keluar dari lift. Namun, gadis itu tidak mengerti dengan isyarat yang diberikan. Pintu lift tertutup membuat Ara merasa janggal. Pasalnya hanya ia dan Julian yang ada di dalam. Gadis itu menoleh menatap Julian yang juga menatapnya. Wajah pria itu terlihat kurang bersahabat membuat Ara merasa tertekan. Tidak ingin membuat masalah lagi, Ara langsung menekan angka lima supaya lift segera bergerak. Tiba-tiba Julian menarik pergelangan tangannya kasar. “Mau kamu apa?” tanya Julian dengan rahang mengeras. Berada di dekat Ara membuatnya kesal. Gara-gara gadis itu ia terlambat meeting kemarin. Ia benar-banar malu. “Apa urusannya sama lo?” tanya Ara tanpa rasa takut. Wajah sombong Julian membuatnya muak. Ara ingin sekali membungkam bibir tipis yang sering bicara ketus. Julian menaikkan salah satu alisnya mendengar jawaban Ara. “Kamu sengaja datang ke kantor ini untuk minta pertanggung jawaban saya atau berniat membuat saya kesal?” tanya Julian. Cengkraman tangannya semakin mengeras membuat Ara meringis kesakitan. Dengan sekali hempas gadis itu bisa membebaskan tangannya dari pria itu. “Jangan ke-GR-an, ya. Harusnya lo itu minta maaf bukannya nuduh orang sembarangan. Beruntung gue nggak lapor polisi, kurang baik apa gue sama lo. Nih lihat―Ara membuka blazer lalu memperlihatkan bekas luka di tangan― ini semua perbuatan lo,” kata Ara. Ia lalu menatap ke atas pada angka 4 yang berkedip-kedip. “Kalau kamu tidak ingin pertanggung jawaban saya lebih baik kamu pergi sebelum saya minta satpam mengusir kamu.” Julian memperbaiki jasnya sebelum keluar dari lift. Ara mengepalkan tangannya sebelum meyusul Julian. Ditatapnya punggung tegak pria itu berjalan di depan, sementara lift kini telah menutup. “Iya, gue datang ke sini buat minta tanggung jawab lo sebagai pria,” teriak Ara kencang. Julian mematung, begitu juga dengan karyawan lain yang kebetulan ada di sekitar gadis itu. Ara yang kesal dan marah tidak peduli dengan tatapan aneh yang tertuju padanya. “Lo harus tanggung jawab,” ujarnya lagi. Julian berbalik. Wajahnya dingin dan datar membuat kemarahan Ara semakin memuncak. Bisikan terdengar di sekitarnya membuat Ara sadar bahwa dirinnya sedang dibicarakan. Ara memperbaiki blazernya yang terbuka. Julian berjalan cepat ke arahnya membuat Ara gemetar. Gadis itu mengerjapkan mata berulang kali saat Julian berada di depannya.Tanpa banyak bicara Julian menarik tangan Ara kasar yang membuat gadis itu berlari kecil untuk bisa menyamakan langkah lebarnya. Julian membawa Ara masuk ke dalam ruang kerja. Para karyawan seketika mendekati ruangan bos mereka. Itu adalah hal yang langka, belum pernah ada wanita yang berteriak pada bos galak itu. Sementara di dalam ruangan Ara harus berhadapan dengan kemarahan Julian. Untuk beberapa saat mereka terdiam membuat ruangan menjadi sunyi. Julian berbalik menatap tajam pada Ara sementara gadis itu hanya memalingkan wajah. Keberaniannya seketika sirna saat berada satu ruangan dengan Julian. “Berapa yang kamu minta?” tanya Julian. Tidak ada nada tinggi, tapi suaranya sangat dingin menusuk ke jantung. Seakan menguliti hidup-hidup. “Minta apa?” tanya Ara bingung. Ia menatap mata hitam Julian. Entah mengapa mata itu terlihat sangat indah. Ara memejamkan matanya berusaha mengenyahkan pikiran aneh yang mulai muncul. “Biaya pertanggung jawaban. Kamu datang ke sini karena uangkan?” Ara mengangguk. Ia memang datang untuk bekerja agar mendapat uang. Julian tersenyum sinis karena dugaannya benar. Wanita sangat lemah dengan uang. “Katakan berapa yang kamu mau, setelah itu kamu pergi. Jangan muncul di hadapan saya lagi,” kata Julian tegas. Ara mengusap leher belakangnya saat Julian meminta dirinya menyebut nominal. “Lima puluh ribu,” kata Ara membuat Julian memiringkan kepalanya tidak percaya. Ara datang ke kantornya hanya demi uang lima puluh ribu, pikirnya. “Apa?” Julian masih tidak percaya dengan pendengarannya. “Kenapa? Kebesaran? Itu buat ganti biaya obat merah,” jelas Ara. Julian tidak menjawab. Ia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan dompet. Tanpa banyak basa-basi ia memberikan dua lembar uang seratus ribu untuk Ara. Namun,gadis itu menolaknya. Kerutan di kening pria tampan itu semakin menjadi. “Gue bilang lima puluh ribu bukan dua ratus ribu. Dengar gak sih?” Julian mengerang kesal. “Saya kasih kamu lebih. Ini ambil, setelah itu kamu pergi!” Ara memundurkan langkahnya saat Julian memaksa agar gadis itu menerima uang pemberiannya. “Gue nggak mau uang lebih,” ucap Ara. Ia diam-diam tersenyum melihat wajah kesal Julian. Ini adalah kesempatan baik untuk memberi pelajaran pada pria itu. “Saya nggak ada lima puluh ribuan. Kamu ambil saja seratus ribu.” Lagi, Ara menggeleng pelan. “Lima puluh ribu,” kata Ara tegas. Julian kembali memasukkan uangnya ke dalam dompet. Ia lalu melirik toples yang berisi koin. Julian lalu membuka toples itu kemudian mengeluarkan semua koin di atas meja. Ara memperhatikan Julian yang sedang menghitung uang receh. “Bantuin,” kata Julian. Ara segera membantunya menghitung koin seratus rupiah dan lima ratus perak. Julian sibuk menghitung koin sedangkan Ara memasukkan koin itu ke dalam kain kecil tempat menyimpan uang receh. “Lima puluh ribu pas,” kata Julian dan Ara bersamaan. Terlihat raut kebahagiaan terpancar dari wajah masing-masing. Bahkan mereka tanpa sadar melakukan tos. Senyum Julian dan Ara mendadak hilang digantikan kecanggungan yang membuat keduanya menatap kearah lain. Julian berdeham untuk mencairkan suasana. “Hutang saya sudah lunas. Silakan kamu pergi,” kata Julian sembari menunjuk pintu keluar. Ara menatap jam kecil yang ada di meja Julian. Matanya membola karena waktu menunjuk pukul 09.15. Ara mengerang kesal, ia terlambat menemui Mawar. “Baiklah, urusan kita sudah selesai. Selamat pagi.” Ara buru-buru membereskan koinnya lalu keluar dari ruangan Julian. Para karyawan yang sejak tadi menguping seketika membubarkan diri. Ara tidak ambil pusing, karena yang ada dalam pikirannya hanya menemui Mawar. Ara berjalan cepat menuju ruangan yang dikatakan Mawar. Baru saja ia berbelok Ara sudah melihat gadis itu berjalan tergesa-gesa. “Kenapa kamu terlambat? Ini hari pertama kamu kerja jangan sampai bos memecat kamu,” kata Mawar marah. Ara tersenyum kaku,ia mengakui itu kesalahannya. “Maaf tadi saya ada sedikit kendala. Ruangan bos di mana?” tanya Ara. “Ikut aku.” Mawar berjalan mendahuluinya. Perasaan Ara mulai tidak tenang ketika Mawar berhenti di depan ruangan Julian. “Kita mau ke mana?” tanya Ara. Ia berharap Mawar hanya mampir ke ruangan pria galak itu. “Ini ruangan bos,” kata Mawar membuat Ara mematung. Nyawanya terasa melayang saat tahu ruangan yang tadi ia masuki adalah milik bos. Itu artinya pria galak tidak tahu terima kasih itu adalah … bos?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD