Jam 2 sore Ara sudah bersiap dengan dandanan ala anak kantoran. Rambutnya yang pendek hanya diikat setengah. Kemeja putih dan celana panjang hitam melekat indah di tubuhnya. Ara berkali-kali melihat pantulan diri di depan cermin. Ia cukup puas dengan penampilannya yang rapi. Meski Ara bukan tipe wanita yang suka berdandan, tapi untuk kali ini ia mengeluarkan lipstick yang sudah lama tak terpakai dari laci meja. Benda yang menurutnya ‘sakral’ itu kini disimpan baik-baik dalam tas kecil yang akan ia bawa.
Lipstik merah merona yang ia poles ke bibirnya terlihat sangat cocok. Sapuan bedak tipis di wajah membuat parasnya makin cantik. Setelah penampilannya rapi Ara segera menyambar tas dan map coklat yang ada di atas meja. Senyum merekah di bibirnya sepanjang jalan menuju kantor.
Setelah memarkir sepeda motornya, Ara bergegas menuju ruang HRD. Seorang satpam memberitahunya letak ruangan personalia itu. Dengan penuh percaya diri Ara berjalan ke sebuah ruangan yang ruangannya bertembok kaca. Stiker kaca membuat gadis itu tidak bisa melihat keadaan di dalam. Namun, anehnya di luar tidak satu pun ada pelamar yang menunggu.
“Gak mungkin pelamarnya cuma gue,” gumam Ara. Ia berusaha berpikir positif. Diketuknya pintu kaca itu sampai seseorang mempersilakan dirinya masuk. Ruang ber-AC membuat tubuhnya menggigil. Ara mencoba menepis rasa dingin meski bibirnya gemetar.
“Dengan ibu Araya Larasati?” tanya seorang perempuan yang meminta Ara duduk di kursi.
“I-iya, nama saya Araya Larasati,” jawabnya sembari mengusap telapak tangan berharap ada kehangatan untuk tubuhnya.
“Kamu kedinginan ya?” tanya wanita itu ramah. Malu-malu Ara mengangguk. Ia pikir dari pada berbohong yang membuat ia rugi lebih baik jujur.
“Kita pindah ke ruangan kepala personalia. Di sana tidak terlalu dingin.” Ara mengikuti wanita itu masuk ke sebuah ruangan. Keadaan di dalam jauh lebih hangat membuat Ara lebih nyaman. Ruangan itu cukup luas untuk tempat kerja satu orang. Ada pria dewasa yang sedang duduk meja sembari memijit kepalanya.
“Pak, ini ada calon karyawan baru. Hari ini Ibu Araya Larasati akan interview,” jelas wanita itu. Pria itu menatap Ara dengan wajah kusut seolah besok adalah hari terakhirnya bekerja. Ia seperti kehilangan semangat. Ara yakin masalah yang dihadapi pria itu sangat berat.
“Pak Dody baik-baik saja?” tanya wanita di samping Ara. Terdengar helaan napas dari pria itu sebelum bersandar pada kursi kerjanya.
“Kalian berdua duduklah,” perintahnya tanpa melihat dua wanita yang ada di hadapannya. Ara dan wanita di sampingnya pun duduk lalu Pak Dody kembali menegakkan tubuhnya.
“Nama panggilan kamu siapa?” tanya Pak Dody.
“Ara, Pak.”
“Saya tidak mau basa-basi. Bos kami galak, biasanya sekertaris yang bekerja dengannya tidak pernah bertahan lebih dari sebulan. Pertanyaan pertama, apa kamu bisa bekerja dengan orang seperti itu?” tanya Pak Dody. Ara terdiam seraya menggaruk belakang telinganya.
“Kalau nggak berbuat salah bos pasti tidak akan marah. Saya mau bekerja di sini, Pak dari pada denger ibu saya marah-marah setiap hari,” kata Ara membuat Pak Dody menatap karyawannya.
“Kami butuh orang yang kuat mental dan fisik, ditambah orang yang sabar dan tabah mendengarkan omelan Bos. Apa kamu termasuk orang seperti itu?”
Ara mengangguk tanpa berpikir lagi. Ia teringat dengan ibunya. Kalau sudah marah Diana tidak akan pernah berpikir mengeluarkan kata-kata.
“Saya sering diomeli sama ibu di rumah. Kata-katanya pedas di telinga jadi itu hal biasa,” jawab Ara membuat senyum di wajah Pak Dody merekah. Ada secercah harapan mulai terlihat pada diri Ara.
“Coba ceritakan tentang ibu kamu,” pinta Pak Dody membuat Ara bingung. Wanita di sampingnya meraih tangan Ara lalu mengangguk.
“Tolong ceritakan semuanya, terutama ketika ibu kamu marah kata-kata seperti apa yang keluar,” jelas wanita itu. Tatapan mata Ara turun ke bawah tepat di name tag si wanita yang bernama Mawar. Ara merasa aneh dengan sesi interview kali ini, tapi melihat wajah cerah Pak Dody membuat Ara akhirnya menceritakan tentang ibunya.
Setelah menyelesaikan cerita yang cukup panjang akhirnya keduaa orang itu bertepuk tangan. Ara kebingungan dengan situasi yang terjadi. Apa saat ini ia salah masuk ruangan, tapi Ara yakin sudah membaca tulisan di depan.
“Selamat, Anda yang kami cari.” Pak Dody langsung menjabat tangan Ara cukup kencang dan bertenaga. Ara masih memasang wajah datar tidak mengerti apa yang dikatakan Pak Dody. Begitu juga dengan Mawar yang terlihat bahagia seperti mendapat segepok uang.
“Maksudnya saya diterima?” Ara kembali memastikan kesimpulannya.
“Tentu. Dari cerita kamu tadi sudah menunjukkan seberapa matangnya mental kamu untuk menangkal kata-kata tak beradab itu. Meski bos kami lebih baik dari ibu kamu. Tenang saja Ara, kami akan membantu kamu kalau mengalami kesulitan.” Pak Dody lalu memberi isyarat pada Mawar. Gadis itu mengangguk lalu beranjak keluar ruangan.
“Bapak nggak bohongkan? Mana ada orang diterima kerja karena jelekin orang tua?” tanya Ara.
“Kamu bukan menjelekkan, tapi curhat. Kami butuh karyawan bermental kuat, saya yakin tidak salah memilih kamu. Terlebih kamu bisa bersabar setahun belakangan ini. Itu sesuatu yang luar biasa,” puji Pak Dody.
Setelah berbincang dengan Pak Dody cukup lama akhirnya Mawar datang membawa berkas di tangannya. Ara menatap tak percaya membaca judul berkas itu.
“Apa ini?” tanya Ara pada Mawar.
“Ini kontrak kamu selama satu tahun. Kalau kerjanya bagus akan diperpanjang. Kamu nggak boleh mengundurkan diri sebelum kontrak berakhir, kalau itu terjadi maka kamu harus membayar pinalti. Begitu juga sebaliknya, kalau bos memecat kamu maka perusahaan akan membayar pinalti sesuai ketentuan,” jelas Mawar. Ara mengangguk pelan, ia tidak perlu takut dipecat. Selama ia tidak melakukan kesalahan Ara yakin tidak ada halangan yang berarti. Kalau pun bosnya mata keranjang Ara tidak perlu takut karena dia sudah bisa menjaga diri. Ilmu bela dirinya sudah mumpuni. Sekarang ia merasa lebih siap untuk bekerja.
Ara membubuhkan tanda tangannya pada setiap lembar kertas. Perjanjian dibuat dua rangkap sehingga Ara bisa menyimpannya. Gadis itu tidak menyangka, keburukan sang ibu membawa berkah untuknya. Ara berjanji pada diri sendiri akan bekerja keras supaya ibunya berhenti marah-marah.
Saat keluar dari gedung berlantai lima itu, tanpa sengaja Ara melihat sebuah mobil yang familiar. Ara mendekat agar bisa melihat plat nomor kendaraan. Ia mencoba mengingat mobil itu lalu seketika ingatannya mengarah pada pria jahat yang menyebabkan ia terluka.
“Jadi si kutu kampret kerja di sini juga?” Ara tersenyum lebar ketika sebuah ide terlintas di kepalanya.
“Saatnya balas dendam. Gue bakalan membuat perhitungan sama lo.” Ara mengeluarkan lipstick dari tasnya lalu menoleh ke setiap arah untuk memastikan tidak ada yang melihat aksinya. Ara juga memeriksa CCTV di sekitarnya. Ada satu CCTV yang mengarah pada mobil itu, tapi Ara punya cara agar tidak ada yang tahu aksinya.
Ara berjalan santai melewati mobil. Ia membiarkan lipstick merahnya mengenai body mobil. Ara segera berlalu sebelum ada orang yang melihat perbuatannya.
“Gue yakin si kutu kampret itu bakalan syok lihat gue jadi sekeraris bosnya mulai besok.” Ara berlari kecil menuju parkir sepeda motornya. Selang beberapa menit Julian keluar sembari menelepon seseorang. Saat melihat garis merah sepanjang body mobil membuat ia jegkel.
“Kak saya tutup dulu teleponnya. Ada masalah kecil yang harus saya bereskan,” ucapnya lalu memutuskan sambungan. Julian berlari mengecek mobil kesayangannya. Julian berjongkok lalu menghapus sedikit noda merah itu. Ia bisa menebak kalau warna merah itu adalah lipstick.
“Sial, siapa yang berani-beraninya mencoret mobil saya?” teriak Julian membuat dua satpam berlari meghampiri.
“Pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Bapak baik-baik saja?”
Julian berdiri menatap horror kedua satpamnya. “Bersihkan mobil saya dan cari pelakunya. Saya tunggu sampai besok nama orang itu!” bentak Julian. Kedua satpam itu pun mengangguk kemudian membersihkan noda merah dengan tissue yang ada di mobil.
“Arrgh!” teriak Julian kesal.