Ketika Mawar mengetuk pintu perasaan Ara mulai gelisah. Dalam bayangan gadis itu Julian akan marah lalu memecatnya detik itu juga. Ara hanya bisa pasrah setelah ini akan dimarah oleh orang tuanya terlebih ia baru saja diterima kerja hari pertama.
Suara Julian terdengar dari dalam mengizinkan Mawar masuk. Ara berjalan tepat di belakang gadis itu.Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia menyesal telah berurusan dengan Julian. Hawa dingin terasa merasuki tubuhnya yang mulai gemetar.
“Pagi,Pak Julian saya datang membawa sekertaris baru untuk Bapak,” kata Mawar.Julian menatap curiga gadis yang berada di belakang staf personalianya. Pria itu memiringkan wajahnya agar bisa melihat wajah gadis itu, tapi Ara dengan cepat menyembunyikan wajahnya di punggung Mawar.
“Oh, ini yang baru?” kata Julian seraya memasukkan tangan ke saku celana. Langkah kakinya membuat Ara gugup. Julian mendekatinya, tapi Ara menghindar. Saat Julian berajalan ke sisi kanan Mawar, Ara justru bergerak ke sisi kiri. Ara menggunakan Mawar sebagai tameng.
Mawar kebingungan karena Julian dan Ara seperti main petak umpat. Lama-lama ia jadi jengkel karena Ara tidak mau menampakkan wajahnya. Sampai akhirnya Julian berhasil menarik tangan gadis itu membuat tatapan mereka saling beradu.
“Kamu!” teriak Julian marah. Seketika itu juga ia menghempaskan tangan Ara kasar.
“Selamat pagi, Pak. Senang bertemu dengan Anda.” Ara memperbaiki rambutnya sambil menunduk hormat seakan tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka berdua.
“Namanya Araya Larasati. Mulai saat ini dia yang akan menjadi sekertaris Bapak,” kata Mawar memperkenalkan Ara. Alis Julian tertekuk ketika menatap dua gadis di depannya.
“Kamu sedang balas dendam sama saya?” tanya Julian membuat Mawar menggeleng.
“Nggak, Pak. Saya tidak punya dendam sama Bapak,” ucapnya dengan wajah tegang dan gemetar. Julian adalah salah satu petinggi perusahaan yang ditakuti banyak karyawan. Pria itu sangat mudah memecat orang yang tidak disukainya tanpa alasan yang kuat.
“Kenapa kamu menerima orang seperti dia bekerja dengan saya kalau kamu tidak mau belas dendam?” Mata Julian melotot membuat Mawar menundukkan wajahnya.
“Dia tidak salah. Anda jangan menuduh orang sembarangan, saya akan buktikan kalau saya bisa bekerja dan bisa diandalkan,” kata Ara membuat tatapan Julian teralihkan dari Mawar.
“Kamu pikir saya mau kerja sama kamu? Menghirup udara yang sama dalam satu ruangan pun saya tidak sudi lagi. Mulai sekarang kamu saya pecat!” kata Julian membuat Ara kaget. Gadis itu berjalan mendekati calon bos-nya, menatap Julian tajam dan dingin. Julian sudah menunggu kata-kata pedas yang akan Ara ucapkan. Ini akan menjadi alasan kuat untuk memecat gadis itu. Bicara tidak sopan dan tidak hormat pada atasan. Julian tersenyum kecil. Namun, apa yang pria itu hayalkan tidak terjadi. Ara justru bersimpuh dengan kepala tertunduk.
“Saya minta maaf, tapi izinkan saya bekerja beberapa hari. Kalau saya tidak bisa memberikan yang terbaik maka saya akan mengundurkan diri,” kata Ara. Julian tersenyum sinis lalu berjongkok di depan gadis itu.Ara mendongkak membuat pandangan mereka kembali bertemu.
“Kamu terlalu percaya diri. Saya pastikan kamu angkat kaki dari perusahaan ini. Segera,” gumam Julian yang masih bisa di dengar Ara. Gadis itu mengepalkan tangannya seolah mendapat tantangan terbuka dari Julian. Ia jadi semangat untuk bekerja. Ara ingin membuktikan bahwa dia wanita tangguh, tidak takut dengan tantangan Julian.
Ara akhirnya berdiri setelah Julian memberi kesempatan ia bekerja. Mawar menghela napas lega karena Julian batal memecat Ara. Ia sendiri sudah lelah mencarikan sekertaris untuk bosnya. Namun, ia jadi was-was bagaimana kalau Ara tidak betah bekerja dengan bos, itu artinya Mawar harus bekerja ekstra untuk mencari pengganti baru yang benar-benar bermental baja. Memilih pria atau wanita sama saja, kalau Julian tidak suka maka dia akan memecatnya.
“Pak Julian saya permisi dulu.” Mawar tersenyum canggung lalu menatap Ara seakan menyemangati gadis itu. Setelah pintu tertutup kini tinggal mereka berdua dalam ruangan.
Julian kembali duduk di kursi kerjanya sementara Ara masih berdiri di tengah ruangan. Gadis itu mendekati Julian yang terlihat cuek.
“Pak, mau tanya meja kerja saya di mana, ya?” tanya Ara. Julian tidak menjawab, ia justru membuka berkas yang ada di map kuning. Ara berusaha sabar menghadapi Julian yang makin lama mirip dengan ibunya.
“Pak Julian, saya boleh kerja sekarang?” tanya Ara. Julian hanya bergumam membuat Ara dongkol. Ia bingung harus mengerjakan apa terlebih ia tidak tahu di mana meja kerjanya.
Ara mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan dan menemukan sebuah dispenser. Ia segera mengambil segelas air. Mata Julian terus mengikuti gerak-gerik Ara. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan gadis itu tanpa perintahnya.
“Permisi, Pak. Ini minum dulu supaya tenggorokannya gak kering.” Ara meletakkan segelas air di atas meja kemudian merogoh tasnya untuk mencari permen. Seingat gadis itu ia masih menyimpan satu permen mint di dalam tas. Ara terlihat senang bisa menemukan benda kecil itu di antara uang koinnya.
“Ini ada permen buat Bapak biar tenggorokannya makin lega.” Julian menatap permen dan air pemberian Ara. Gadis itu masih tersenyum membuat Julian tidak tega mendiaminya lebih lama. Ia luluh, menerima permen dan segelas air sebagai sogokan.
“Itu meja kamu. Ada beberapa aturan yang harus kamu lakukan selama bekerja dengan saya. Saya akan mengirimkan aturan melalui surel.” Julian mengeluarkan sebuah kertas dari laci kemudian memberikannya pada Ara.
“Lengkapi formulir itu lalu berikan pada saya secepatnya.” Ara langsung menerimanya. Ia mengucapkan terima kasih pada Julian sebelum duduk di kursi kerja. Dengan cepat Ara mengisi data di formulir agar Julian tidak marah. Ia sudah bertekad akan memenangkan tantangan terbuka itu.
Ara bergegas memberikan kertas itu pada Julian. Tidak sulit mengisinya karena itu hanya formulir data diri dan beberapa informasi biasa tentang dirinya.
“Saya akan kirimkan pekerjaamu melalui email. Silakan kembali ke meja kerja,” kata Julian. Ia kembali mengabaikan Ara lalu fokus pada laptop yang menyala. Tidak ingin melihat wajah Julian lebih lama lagi Ara pun duduk di kursinya. Selang beberapa saat ponselnya bergetar. Ada email masuk dari Julian.
Ara menoleh pada Julian sebelum membuka pesannya. Gadis itu terdiam membaca pesan singkat dari Julian sebelum mengunduh berkas.
“Saya sudah kirimkan pekerjaan kamu hari ini dan juga apa yang harus kamu lakukan sebelum dan setelah saya ke kantor. Ada 50 point yang harus kamu perhatikan dan jangan ada yang dilanggar. Mengerti?” ucap Julian membuat Ara terdiam tak sanggup berkata-kata. Gadis itu bahkan membaca setiap point yang dijabarkan dengan sangat detail.
Ini namanya p********n.
*
Hari pertama bekerja sudah tersebar gossip miring antara dirinya dan Julian. Ara menatap sekitarnya yang kini menatap curiga. Kantin kantor terlihat ramai sebelumnya, tapi setelah Ara masuk tiba-tiba suasana jadi hening. Ara berjalan canggung ke tempat stand makanan. Ia merasa tidak nyaman ditatap seperti orang yang bersalah. Bahkan ketika duduk di meja bulat sendirian orang-orang masih menatap sambil berbisik.
“Emang ada yang salah, ya?” gumam Ara sembari memperhatikan penampilannya. Mawar menghampirinya dengan wajah tertekuk penuh pertanyaan. Ara mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Mawar yang usianya tidak terpaut jauh.
“Kenapa lihat kayak gitu?” tanya Ara membuat Mawar tersadar lalu mengusap dagunya tanpa melepaskan pandangan dari Ara.
“Ada hubungan apa kamu dengan Pak Julian?” tanya Mawar degan tatapan horror yang membuat Ara bergidik. Ini hari pertama Ara bekerja sehingga ia belum memiliki teman. Mau tidak mau ia bertahan dengan Mawar yang terus mengintimidasinya.
“Emang ada apa sih? Semua orang lihat ke sini? Bu Mawar tahu sesuatu?” tanya Ara. Ia mulai meminum es jeruknya.
“Jawab dulu pertanyaan saya apa kamu memiliki hubungan khusus dengan Pak Julian? Kalian terlihat sangat akrab,” kata Mawar dengan mata menyipit. Ara memutar bola matanya. Dari mana keakraban itu tercipta? Dari tadi Julian hanya diam tak merespon pertanyaannya. Pria itu bersikap dingin setelah Ara resmi menjadi sekertarisnya. Ia sendiri bingung dengan perubahan sikap Julian.
“Kami memiliki hubungan yang tidak bisa dikatakan baik. Awal pertemuan yang penuh intrik dan masalah,” jawab Ara terbelit-belit. Mawar menggeser duduknya lalu berbisik.
“Ceritakan apa yang terjadi, saya penasaran,” ucapnya. Ara menggigit sendoknya membayangkan kejadian saat ia dan Julian bertemu di jalan. Ara memperlihatkan luka di tangannya yang sudah mengering. Mawar menatap luka itu kebingungan.
“Luka ini karena Pak Julian. Di kaki juga ada,” ujar Ara. Mawar mulai menerka-nerka apa yang terjadi antara karyawan barunya. Mengingat hari ini Pak Julian tidak terdengar marah-marah di ruangan.
“Apa kalian berdua punya hubungan khusus?”
Ara menegakkan tubuhnya. Ia bingung apa yang dikatakan sebagai hubugan khusus itu. Hubungannya dengan Julian sangat tidak sehat.
“Pokoknya kami bertemu dalam keadaan tidak baik, sampai akhirnya peristiwa itu terjadi yang membuat kami terlibat dalam perseteruan.”
Ara melahap makan siangnya ketika melihat Julian memasuki kantin. Semua orang menatap pria tampan itu kecuali Ara yang menunduk lalu berpura-pura tidak melihatnya. Itu adalah cara terbik saat ini, ketika Julian menghampirinya barulah Ara menyapa.
Suara kursi di sampingnya terdengar nyaring. Ara mengutuk siapa pun yang duduk di dekatnya. Bau parfum yang sangat Ara kenal mulai menggelitik hidungnya.
“Mana makanan saya?” tanya Julian tanpa senyum. Ara mengangkat wajah. Mulutnya penuh dengan makanan sehingga menyulitkan gadis itu untuk bicara. Buru-buru ia menelan makanan lalu meminum esnya.
“Maaf Pak tadi stand ma―” Ara terdiam saat melihat stand makanan sudah sepi. Ia tersenyum kaku saat menatap Julian.
“Kamu tahu, saya paling tidak suka dengan orang pelupa, ditambah orang pemalas dan tidak disiplin. Saya harus turun dari lantai 5 untuk makan siang. Waktu saya sangat berharga dan kamu sudah membu―” perkataan Julian terputus ketika Ara menyuapinya.Julian terdiam dengan mulut penuh makanan.
“Pak ditelan dulu makanannya,” kata Ara. Julian melotot lalu meraih tissue yang ada di meja, tetapi Ara dengan cepat mengambil tissue itu.
“Pak nggak boleh buang makanan, gak baik. Masih ada orang yang membutuhkan di luar sana,” kata Ara. Mawar mengangguk.
“Ditelan saja, Pak,” kata Mawar ikut mengompori. Julian menatap sekitarnya, entah apa yang terjadi setiap karyawan yang ia tatap menganggukkan kepala seolah mendukung Julian menelan makanan itu. Dengan berat hati Julian menelan makanan yang ada di mulutnya. Ia tersedak membuat Ara dengan sigap memberikan es jeruknya. Tanpa basa-basi Julian meminumnya sampai habis. Tiba-tiba pria itu tersentak lalu mematung. Baru saja ia makan dan minum sisa dari Ara. Bahkan mereka minum satu pipet yang sama. Julian berdiri dengan wajah memerah. Ia kesal, marah dan juga malu.
“Kamu!” Julian menunjuk Ara sembari mengeraskan rahangnya. Gadis itu menelan ludahnya susah payah. Mata Julian tidak bisa berbohong kalau dia sedang marah besar.
“Ke ruangan saya, sekarang,” kata Julian penuh penekanan. Pria itu pergi membuat suasana kantin yang semula sepi menjadi riuh kembali. Mawar menepuk pundak Ara mencoba memberikan gadis itu semangat.