"Apa tuan mengajak saya kemari hanya untuk menghina saya?" Akhirnya Arum berani mengeluarkan suara. Ia mulai bangkit dari duduknya. "tentu saja harga diri saya sangat mahal tuan. Saya pastikan tuan akan membayar dengan seluruh harta dan juga hati tuan." Lanjut Arum dengan lantang tanpa meliha wajah tampan yang sedari tadi mengangkat sedikit kepalanya agar bisa menatapnya. Baru saja Arum hendak melangkah untuk pergi, lengannya tiba-tiba ditarik oleh Endaru, sehingga ia kehilangan keseimbangannya dan terjatuh tepat di atas tubuh pria itu, mereka kini terlentang di atas kasur, dengan Arum yang berada di atas d**a bidang yang seksi itu. Untuk beberapa saat pandang keduanya bertemu, menatap lekat satu sama lainnya. Tatapan yang begitu teduh terpancar dari kedua manik mata Endaru membuat siapa pun yang melihatnya akan terhipnotis dalam ketenangan.
"Ternyata kamu bisa melawan juga. Tapi kenapa kamu hanya diam saja ketika Anara berlalu kasar padamu?" Ucap Endaru akhirnya menyadarkan Arum dari posisinya, cukup lama ia berada di atas tubuh pria itu dengan debaran jantung yang sangat tidak sehat, bahkan ia kini bisa merasakan jika di bawah sana ada sesuatu yang mengeras dan menusuk di pahanya. Secepat kilat Arum mengangkat diri dan kembali berdiri di samping ranjang itu. Sekilas ia melihat ke arah handuk yang dikenakan oleh tuan Endaru dan benar saja ada sesuatu yang menonjol di sana. Setelah tahu apa itu, Arum pun langsung memalingkan wajahnya kembali yang kini terasa mulai memanas.
"Aku hanya tak ingin semakin melukai hati nona Anara. Sudah cukup aku melukai perasaannya dengan statusku yang sekarang menjadi istri tuan." Jawab Arum tanpa melihat ke arah tuan Endaru.
"Wah wah baik juga hati mu Rum. Tapi tadi kamu bahkan mengancam ku untuk mengambil seluruh harta dan juga hati ku. Bukan kah itu juga akan sangat menyakitkan untuk nyonya Anara?" Ucap Endaru lagi dengan raut wajah yang sangat sulit di artikan.
Arum terdiam, ia tak bisa menjawab lagi. Ucapannya yang tadi saja menjadi ranjau untuknya sendiri.
Kini giliran Endaru yang beranjak dari kasur besar itu. Ia bangun dan berdiri tepat di hadapan istri yang sebenarnya ia juga inginkan. Selama pernikahannya ia tak pernah lagi menyentuh Anara setelah malam pertama mereka yang menyedihkan itu terjadi.
Endaru mengambil nafas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Sementara Arum dengan jelas bisa mendengar suara hembusan nafas pria yang kini kembali di hadapannya dalam jarak yang begitu dekat, bahkan hembusan nafas itu begitu hangat menyentuh wajahnya.
"Mulai sekarang berhenti lah untuk membahas siapa yang tersakiti di sini. Karena kenyataannya kita bertiga di sini sama-sama saling tersakiti." Ucap Endaru lagi. Arum sedikit terkejut mendengar ucapan suaminya, bahkan ia kembali memberanikan diri menatap wajah itu lagi.
"Bagaimana bisa tuan Endaru mengatakan kita bertiga sama-sama saling tersakiti." Gumam Arum yang hanya bisa ia lontarkan dalam hati.
"Kamu tahu Arum, ini adalah kamar yang sama yang aku dan Anara tempati saat malam pertama kita, dan hal luar biasa juga terjadi di malam ini membuat ku dan Anara berakhir dalam sebuah kemalangan. Kamu mau tahu apa kemalangan apa itu?" Endaru mulai bercerita, setiap kalimat yang ia katakan hanya membuat Arum terus terkejut tanpa bisa berkata apa-apa. Kali ini Arum kembali tak dapat menilai perasaan apa yang tengah tuan Endaru rasakan dari sorot matanya. Semua nampak jelas di sana, kesedihan, kekecewaan, namun juga ada sedikit binar kebahagiaan.
Melihat Arum yang hanya menatapnya, Endaru pun melanjutkan kata-katanya tanpa menunggu jawaban dari wanita itu.
"Aku dan Anara, wanita yang sangat aku cintai." Endaru bahkan memberikan penekanan pada kalimat itu, ia berhenti sejenak untuk memberi jeda agar Arum bisa mengingat siapa Anara dan posisi Anara di hati suaminya itu. "Kita menghabiskan malam pertama dengan kejadian yang sangat luar biasa di tengah penyatuan kenikmatan kami. Dia Anara, wanita yang aku cintai dari sejak aku pertama kali melihatnya pada saat pendaftaran siswa-siswi baru di SMP A. Dia Anara yang ketika tersenyum selalu membuat hatiku bergetar. Dia Anara, yang setiap berbicara seraya menatap mataku, selalu membuatku merasa nyaman dan tenang. Dia Anara, yang setiap menyentuhku selalu membuat hatiku berdesir. Dia..." Endaru menghentikan kata-katanya, lalu tiba-tiba saja menjatuhkan kepalanya di bahu Arum, lalu memeluk wanita yang sedari menatapnya dengan perasaan sedikit kacau ketika harus mendengarkan nama madunya di sebut berulang kali dengan penuh penakanan. Dan sekarang suara pria itu terdengar bergetar.
"Aku membuatnya hampir mati karena pendarahan saat memasukkan milikku ini kedalam miliknya yang berharga. Ya aku hampir membunuhnya." Endaru menangis terisak seraya terus mengeluarkan kata-kata yang menyalahkan dirinya sendiri. Arum pun kini menjadi bingung dengan sikap Endaru yang berubah-ubah.
"Astaga, apa yang harus aku lakukan sekarang? Menenangkannya? Tapi bagiamana caranya?" Monolog Arum dalam hati yang kini tangannya mulai bergerak ragu, antara harus membalas pelukan untuk memberikan sedikit ketenangan atau harus diam saja menjadi pendengar yang baik. Namun di satu sisi, ia juga tengah merasa khawatir karena benda keras di bawah sana semakin menempel di perutnya. Dia memang menjadi lebih pendek jika berada di hadapan Endaru yang bertubuh jenjang.
Akhirnya karena merasa kasihan dengan Endaru yang masih saja mengulang kalimat yang menyalahkan dirinya sendiri itu, Arum memutuskan untuk menepuk punggung suaminya itu dengan kedua tangannya namun sebisa mungkin Arum menjaga jarak, namun Endaru malah menariknya semakin dalam ke dalam pelukannya. Membuat yang juniornya terasa menusuk di perut Arum.
"Anara hampir mati, karena selaput perawannya yang sobek dan mengeluarkan banyak darah. Bodohnya aku yang terus melakukannya sampai akhirnya ia benar-benar pingsan. Bukan salah Anara tidak bisa memberikan ku anak, tapi karena ku yang juga terlalu bodoh tidak pernah berani menyentuhnya lagi setelah kejadian malam pertama kita." Isak tangis Endaru semakin menggema di kamar yang kedap suara itu.
Arum kini hanya bisa diam mematung di tempatnya agar benda di bawah sana tak semakin menjejal perutnya, seraya terus memberikan tepukan lembut di bahu Endaru dengan kedua tangannya. Memberikan pria itu waktu untuk mengeluarkan seluruh isi hatinya.
"Ini benar-benar di luar dugaanku. Ternyata tuan Endaru yang terlihat tegas, berwibawa, dingin, menakutkan dan arogan ini ternyata juga seorang pria yang memiliki hati begitu lembut dan lemah, begitu mencintai istrinya dengan tulus bahkan sampai ia menangis seperti ini. Dia juga pria hebat yang sanggup menahan diri tidak menyentuh nyonya Anara bahkan bertahun-tahun lamanya." Puji Arum dalam hati, dalam diamnya Arum mengulas senyum tipis. Senyuman yang menggambarkan rasa irinya pada nyonya Anara yang mendapatkan cinta begitu besar dari suaminya. Kini Arum sadar kenapa nyonya Anara bersikap sangat kasar padanya, ya pasti karena naluri seorang wanita yang tak ingin suaminya membagi cinta. Bisa saja sikap nyonya Anara hanya untuk membuatnya tidak betah di rumah itu dan akhirnya keluar meninggalkan rumah mereka. Itu lah yang Arum pikirkan kini, setelah mendengar cerita singkat tuan Endaru. Arum bisa menyimpulkan kalau sebenarnya nona Anara adalah orang baik juga dan berhati lembut.