Aku tak berharap banyak dari kecupan yang kau berikan tuan. Tapi sungguh kecupanmu itu benar-benar mampu menjadi obat untukku ini.
"Aku janji mulai detik ini, aku akan menjaga dan melindungi dengan tulus dan sepenuh hati. Sampai kamu melahirkan anakku." Suara lembut tuan Endaru, ya sangat lembut sampai membuat tubuhku mematung sempurna. Jantung ini terasa ingin berhenti berdetak. Sakit sekali di hati, ucapan yang sangat menusuk bagai pedang panjang yang begitu tajam.
Baru saja aku merasa terbang ke atas awan. Kini tubuhku sudah meluncur ke bawah, terhempas dengan begitu dahsyat. Ya seharusnya aku sadar diri, pria itu tak salah. Aku lah yang berharap terlalu tinggi untuk pernikahan ini. Walaupun nyonya Sofia mengatakan kalau nona Anara mandul, tapi dia lah satu-satunya wanita yang ada di hati tuan Endaru. Wanita yang tidak akan tergantikan posisinya, atau bisa saja akan pernah bisa di gantikan oleh wanita manapun.
Pelukan hangat yang diberikan Endaru pada Arum, benar-benar tak terasa menghangatkan karena Arum kini merasa dunianya kembali hilang. Sampai akhirnya Endaru melepaskan pelukannya begitu saja dan kini beralih mengangkat tubuh Arum yang masih terdiam ke dalam gendongannya ala bridal style. Wajah Arum hanya menampakkan kesedihan di sana, walaupun pandangan tertuju pada wajah tampan itu. Ia hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong.
Endaru sadar akan sikap Arum, hanya saja pria itu memilih untuk mengabaikannya. Ia hanya ingin permainan sang ibu selesai dan bisa kembali bersama istrinya. Masalah anak, Endaru tak pernah sama sekali terobsesi untuk itu. Karena ia sadar perjuangan untuk bisa mengobati penyakit istrinya yang selama ini dilakukan bersama tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Namun Endaru tak pernah sedikitpun merasa sedih atau menyesal memiliki seperti Anara walaupun tanpa kehadiran seorang anak dalam pernikahan mereka yang sudah berjalan hampir sepuluh tahun itu. Anara memang tidak mandul, hanya saja dinding rahimnya sangat tipis dan hal itu lah yang membuatnya kesulitan untuk bisa hamil.
"Mulai malam ini, layani aku sebagai suami mu." Ucap Endaru seraya menaiki anak tangga menuju kamar kosong di lantai dua yang memang seharusnya menjadi kamar Arum.
"Me-melayani tuan!" Lirih Arum terbata, pria itu benar Arum tetap mendengarnya walau sedari tadi hanya diam.
"Jangan panggil aku tuan. Panggil saja Mas atau sayang atau terserah kamu saja, asal jangan panggil tuan. Bukankah aku ini adalah suami." Titah Endaru menghentikan langkah kakinya seraya menatap Arum yang kini memeluk lehernya karena takut terjatuh ketika tiba-tiba saja langkah suaminya itu terhenti.
"Bisa tolong turunkan saya saja m-mas. Saya nggak enak jika nanti nyonya Anara melihat kita seperti ini." Ucap Arum sedikit ragu.
"Tidak tidak, seharusnya aku melakukan hal ini saat malam pertama kita minggu lalu." Jawab Endaru dengan cepat.
Arum kembali terdiam sampai akhirnya mereka sampai di depan kamar pengantin mereka. Ya kamar pengantin yang telah di siapkan oleh Nyonya Sofia di rumah itu, dan kuncinya pun langsung di serahkan pada putranya.
"Baiklah aku turunkan kamu di sini dulu, maaf acara romantisnya jadi selesai di depan pintu. Karena pintu ini terkunci dan aku harus membukanya terlebih dahulu." Tutur Endaru seraya menurunkan tubuh istri mudanya dari gendongan.
Arum yang kini sudah berdiri di samping suaminya itu hanya merapikan daster kebesaran yang ia kenakan. Sampai akhirnya pintu kamar itu terbuka dan Endaru pun menggenggam tangan Arum dan menuntunnya masuk ke dalam. Sementara dari balik pintu seberang sana, sepasang mata dengan sorotnya yang begitu tajam tengah memperhatikan mereka, kedua tangan wanita itu pun terkepal sempurna.
"Beraninya mereka akan melakukan hal itu di kamar pengantin ku dulu. Dasar wanita murahan." Ucapnya dengan penuh emosi.
*****
"Kamu duduk saja dulu di sana, jika kamu ingin mengganti pakaianmu, ambil saja si lemari itu. Semua sudah lengkap di sana. Aku mau mandi dulu." Pamit Endaru setelah mengunci pintu kamar dan menunjukkan lemari baju tempat baju-baju untuk Arum berada, lalu setelahnya ia berjalan ke kamar mandi.
Arum hanya berani melihat punggung lelaki itu ketika ia sudah berbalik dan berjalan ke arah kamar mandi.
"Harus kah aku mengganti pakaian ku sekarang?" Gumam Arum bermonolog sendiri seraya menatap ke arah lemarinya. Sampai beberapa detik ia terdiam dengan tatapan yang masih sama.
Untuk beberapa menit kemudian, Arum memutuskan mengganti dasternya. Ia mulai berjalan mendekati lemari besar itu, melihat pakaian yang pas untuk tampil di hadapan suaminya. Bukan kah tadi tuan Endaru menyuruhnya untuk melayani dia dan juga menyuruh untuk menunggu. Arum menarik pintu pertama dari sisi kanan lemari itu, dan ternyata isinya adalah berbagai macam baju tidur dengan berbagai macam model, lengerie, dan juga pakaian dalam. Lemari itu memiliki enam pintu dan Arum hanya menebak sendiri jika seluruh isi lemari besar itu adalah lemari pakaian untuk dirinya sendiri, mengingat suaminya bukan lah penghuni tetap di kamar itu. Satu persatu satu Arum mulai menggeser piyama yang menggantung di sana.
"Jadi yang para wanita bersuami itu selalu sebut baju dinas dan baju haram. Kok ada modelan begini ya." Gumam Arum seraya mengangkat lingerie yang hanya bermodel jaringan-jaringan saja. "Sudah kayak jaring ikan saja modelannya, eh tapi karena ini lebih lembut jadi dia kayak kelambu anti nyamuk gitu ya." Lanjut Arum seraya mengucek lingerie berwarna pink itu. Sesaat kemudian ia pun malah jadi merinding dan langsung meletakkan kembali di gantungannya.
"Lebih baik aku kenakan yang normal-normal saja lah. Lagian ini juga masih siang kan. Masa iya aku mau pakai baju tidur." Gumam Arum lagi bermonolog sendiri. Ia pun kembali membuka pintu lemari yang lainnya, dan wanita berusia 23 tahun itu pun kembali takjub melihat isi di dalamnya. Semua yang ada di sana adalah pakaian mahal dan bermerek. Karena sibuk memperhatikan barisan pakaian-pakaian mahal itu, Arum sampai tak menyadari kalau seseorang sudah keluar dari kamar mandinya.
"Kenakan pakaian yang sesuai dengan usiamu. Kamu adalah wanita cantik dan cerdas, jadi jangan berpenampilan seperti seorang pembantu di hadapan ku. Untuk ke depannya aku tidak mau melihatmu mengenakan daster, karena membuatku sakit mata saja. Itu juga tidak terlihat pantas untuk dikenakan oleh seorang istri Endaru." Ucap seseorang membuat Arum terkejut dan langsung menoleh ke arah sumber suara.
Endaru telah berada di depan pintu kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Ia kini tengah bertelanjang d**a, menampakkan tubuh seksinya yang bisa menghipnotis mata. Melihat pemandangan indah di depannya Arum langsung mengalihkan pandangannya.
"Kemari." Titah pria tampan itu, seraya berjalan ke tepi ranjang besarnya. Arum memejamkan matanya sejenak dan menarik nafas panjang.
"Ya Tuhan ini adalah sebuah godaan besar." Gumamnya dalam hati, Arum pun berjalan mendekat tanpa membuat Endaru harus mengulangi perintahnya berkali-kali.
Kini mereka tepat duduk berdampingan di tepi ranjang itu, dengan Endaru yang terlihat nampak sangat tenang. Sementara Arum, detak jantungnya bahkan tengah berpacu kencang. Bahkan ia dengan susah payah menelan salivanya, siapa yang tidak akan tergoda melihat pria tampan yang begitu seksi di sampingnya. Tanpa membuang waktu lama, Endaru langsung menggenggam tangan wanita cantik di sampingnya itu.
"Jujur aku akui, saat pertama kali melihat mu di butik mama aku pun sempat tertarik dengan wajah cantikmu itu Arum. Ya aku mengagumimu dalam waktu singkat." Tuturnya tanpa basa-basi.
Deg.
Mendengar penuturan Arum yang sedari tadi menundukkan kepala menjaga pandangannya kini wanita itu sudah memberatkan diri menatap dua manik mata indah yang ada di hadapannya itu. Pandangan mereka bertemu untuk sejenak.
"Ya hal itu normal berlaku untuk para lelaki, mata mereka akan selalu tertarik melihat dengan wanita yang cantik. Namun aku tidak menyangka kamu benar-benar ada di hadapan ku sekarang menjadi istri ku sendiri." Ucap Endaru lagi. "Hanya saja yang membuatku masih tak percaya, awalnya aku pikir kamu benar-benar wanita cerdas. Tapi ternyata tidak." Lanjut Endaru dengan begitu lembut namun kata terakhirnya itu terdengar begitu menyakitkan di telinga Arum yang seketika kembali menundukkan pandangannya, ia mencoba menarik tangannya dari genggaman pria itu.
"Ma-maaf kan saya tu-tuan." Ucapnya terbata.
"Tidak tidak, kamu tak perlu minta maaf. Aku hanya mengutarakan sedikit pikiranku saja, agar kedepannya kamu nyaman berada di deket ku. Kamu rela menyerahkan diri untuk menjadi istri kedua hanya demi uang. Dan dengan tanpa penolakan kamu menjalan pernikahan dengan seorang pria yang sudah jelas adalah suami orang dan hanya untuk di jadikan pencetak anak semata. Sungguh uang memang membuat orang bisa melakukan hal bodoh sekalipun."
Kata-kata menyakitkan itu kembali terlontar, membuat Arum merasakan sesak di d**a. Kedua telapak tangannya terkepal sempurna. Sakit ya sangat sakit, ia di bawa masuk ke kamar hanya untuk mendengar cibiran menyakitkan itu. Arum hanya bisa menahan diri, menahan tangisnya agar tak jatuh di hadapan pria itu.
"Tapi, seharusnya kamu meminta uang yang lebih banyak dari yang sekedar di berikan mama untuk pengobatan ayahmu kan. Karena setahuku mahkota seorang wanita sangat sangat berharga." Ucap Endaru lagi tetap dengan nada yang lembut dan penuh penekanan, pria itu pun kini membungkuk sedikit agar ia bisa melihat wajah Arum yang tertunduk di sampingnya.
"Aku salah besar mengira dia akan melakukan hal itu, ternyata aku hanya sedang dipermalukan." Batin Arum menahan rasa sakitnya sendiri.