Ian memaksa duduk di samping Meta, menopang wajahnya dengan sebelah tangan, menatap Meta lekat sambil tersenyum. Meta mengelus lembut lesung pipi Ian, turut tersenyum untuknya. Ian meraih tangan Meta, mengecupnya hangat. Begitulah pasangan baru, seolah di dunia ini hanya ada mereka berdua, yang lain hanya figuran.
"Nasib bener dah gue jadi obat nyamuk!" Gerutu Gita.
Tara dan Fandi yang juga duduk bersama mereka hanya menggeleng–gelengkan kepala. Baru kali itu mereka melihat sahabatnya sampai segitunya memperlakukan kekasihnya.
"Kena karma gue rasa tu monyet!"
Ian mengambil sebuah cabai rawit di piring yang berisi gorengan di hadapannya, mencabut tangkai cabai, mematahkannya menjadi dua, lalu memasukkannya begitu saja ke mulut Fandi.
"Astaghfirullah! Bakwannya sekalian nyet!"
Ian malah menjauhkan piring gorengan dari hadapan Fandi.
"Pedes b*****t! Zholim lo!" maki Fandi.
Tara menyodorkan es teh manis miliknya ke mulut Fandi sambil terkekeh. Drama itu berakhir begitu saja dengan Fandi yang menandaskan es teh manis milik kekasihnya hingga menggerogoti es batu, dan Ian yang makan dengan lahapnya nasi campur dari piring Meta.
"Terus aku makan apa?" tanya Meta.
"Aku minum apa?" tanya Tara.
"Ga modal lo berdua!" cecar Riki yang sudah berdiri di samping meja mereka.
Ian menghentikan makannya, berdiri mengeluarkan dompetnya.
"Goceng nyet!"
"Buat apaan?"
"Teh bini lo! Sekalian pesen makan buat bini gue!"
"Kasih ceban yang, aku mau jus stoberi aja." Pinta Tara.
"Aku juga mau." Ujar Meta.
"Jus stroberi?" tanya Ian. Meta mengangguk.
Fandi memberikan selembar sepuluh ribu pada Ian. Ian membuka dompetnya dan mengeluarkan dua lembar sepuluh ribu. Lalu dengan kurang ajarnya Ian menyerahkan uang itu di tangan Riki.
"Nasi, capcay, ikan asam manis. Jus stroberi dua. Ga pake lama."
"Eh b*****t! ——"
"Ntar aje ngomelnye, buruan! Jam satu kelas Pak Zainal, telat disuruh tutup pintu dari luar lo!" potong Ian.
Dan Riki berlalu begitu saja, berjalan cepat menuju kedai Umi.
Fandi tertawa geli melihat kepanikan Riki yang bahkan sempat tersandung kaki meja di samping mereka. Sementara Tara, Meta dan Gita menggeleng melihat kelakuan Ian dan Fandi.
"Kalian jahat banget sih!" keluh Gita.
"Gita, Riki itu ganteng, tajir, pinter, cuma loading–nya agak lama dan nama tengahnya 'kikuk'. Kalo lo bisa nerima kekurangannya, gue jamin ga jadi obat nyamuk lagi."
Gita diam saja, tak menanggapi. Pura–pura sibuk dengan makan siangnya. Tak lama Riki kembali, membawa nampan berisi makan siangnya dan pesanan Ian tadi. Fandi menggeser duduknya agar Riki bisa duduk di antara ia dan Gita.
Baru saja Riki akan memasukkan suapan pertamanya, Fandi sudah berceloteh lagi.
"Git, lo jomblo?"
"Ga usah diperjelas kali, Bang!" gerutu Gita.
"Ki, Gita jomblo! Kemaren lo nanya kan?" lanjut Fandi lagi.
Riki kembali meletakkan sendoknya. Wajahnya yang tadi tenang berubah menjadi gusar dan memerah, membuat semua yang ada di meja itu menahan tawanya, kecuali ia dan Gita.
"Nengok dikit ngapa Ki! Liat dulu sebelah lo itu, bener Gita yang ini bukan yang lo tanya kemarin?" sambung Ian.
"Ya Allah... Salah milih meja gue." Gumam Riki.
"Katanya suka sama Gita. Gita cantik. Pengen pedekate. Kenapa lo malah diem aja?" sulut Tara.
"Ya Allah... Gini nih temenan sama monyet-monyet!" gumam Riki lagi.
Gita turut mengalami perubahan warna dan raut wajah. Menahan malu menjadi objek comblangisasi yang dilakukan senior–seniornya.
"Ah, cemen lo, Ki!" hardik Ian.
Riki memalingkan wajahnya, menatap Gita seraya melirih pelan.
"Sorry ya, Git."
"Ta, lo kerja di café Andara?" tanya Tara.
"Iya, Kak. Aku di dapur, bantu–bantu chef."
"Yang punya ganteng banget lho, Ta. Temen abangnya Fandi. Udah punya cewe sih, tapi belum nikah. Ian mah lewat!" lanjut Tara.
"Belum pernah ketemu sih Kak sama Bang Devan. Iya tuh, bahan gosip banget si Bang Devan. Banyak yang patah hati pas tau udah punya cewe." ucap Meta.
"Dia psikolog Ta. Jarang ke café memang. Café nyokapnya, cuma Bang Devan yang ngelola. Peranakan Bali Inggris. Gue yang cowo aja ngakuin, tuntas gantengnya! Lesung pipinya sepasang, ga kaya si monyet sebelah doang." Sambung Fandi.
"b*****t lo berdua! Ga bisa ya liat gue bahagia? Gue baru seminggu lo jadian sama Meta." Omel Ian.
Tara terkekeh.
"Ya ampun, gitu aja ngambek lo!"
"Tenang aja nyet, Bang Devan udah cinta mati sama cewenya. Dulunya kaya lo, demen ngoleksi mantan. Kena karma pas ketemu Andien." Jelas Fandi lagi.
"Andien?" tanya Ian.
"Iye, cewenya Bang Devan! Bukan Andien anak ekonomi mantan lo nyet!" pekik Fandi.
"Ga usah ngegas nyet!"
Tara, Meta, Gita dan Riki tertawa mendengar ocehan absurd Ian dan Fandi.
"Meta..." sapa seorang pria yang berdiri di samping Meta.
Meta memalingkan wajahnya perlahan, berharap pria yang menyapanya buka orang yang paling tak ingin ia temui. Yang ternyata, dugaannya benar, pria pemilik suara itu adalah pria yang menghancurkan dirinya.
"Arman..." lirih Meta.
Ian merengkuh Meta, melingkarkan satu tangannya di pinggang Meta.
"Kamu kenal cewe lusuh ini?" sulut Dira yang tadi datang bersama Arman.
"Iya, temanku juga waktu SMA. Aku dulu sekelas sama Ian." Jawab Arman.
Ian mendengus sinis.
"Apa kabar lo Yan?" tanya Arman.
"Apa urusan lo nanya–nanya kabar gue? Kita ga sedeket itu dulu sampe lo berhak nanya kabar gue!" sinis Ian.
"Wohooo! Santai, man! At least Meta mau juga sama lo!" ucap Arman, meremehkan, seolah tak pernah ada yang terjadi.
Tangan Ian mengepal erat, buku–bukunya sampai memutih.
"Yan, kelas Pak Zainal. Sepuluh menit lagi. Yuk!" ajak Tara seraya menarik siku Ian. Khawatir malah terjadi baku hantam yang tak diinginkan.
Meta memalingkan wajahnya kembali, menatap Ian.
"Gih sayang, nanti telat."
"Aku antar kamu ke kelas dulu." Jawab Ian tegas.
"Ga usah, aku sama Gita aja. Aku juga ada kelas Bu Fatma. Kelas kita ujung ke ujung, nanti kamu malah telat."
"Cih!" Dira mendecih jijik melihat Ian dan Meta.
Ian mendongakkan wajahnya, menatap geram pada Dira.
"Git, lo duluan sama Meta. Tar, nyet, Ki, kalian anter sampe ujung tangga, begitu mereka hilang dari pandangan baru kalian ke kelas."
"Kamu duluan sama Riki, yang. Aku bareng Ian." Pinta Fandi. Tara menganggukkan kepalanya.
Ian menatap Meta, mengecup tangan dan tulang hidung Meta, lalu mengangguk mengijinkan Meta pergi lebih dulu.
Begitu ke empat orang itu menghilang dari pandangan mereka, Ian kembali menatap Arman.
"Dira cewe gue." Ucap Arman.
"Ah, cocok lo berdua! Jadi ga ada alesan buat lo ganggu cewe gue lagi!"
Ian berdiri, memutar tubuhnya, melangkah meninggalkan Arman dan Dira. Baru beberapa langkah, ia sudah mendengar suara Arman lagi.
"Gimana bekas gue? Enak?"