Ian duduk di anak tangga, menunggu Meta selesai dari kuliahnya. Tak ada yang berani mendekati pemuda itu, bahkan Fandi sedari tadi hanya diam berdiri di sampingnya, mempersilahkan orang–orang lewat agar tak menghiraukan ataupun menyapa Ian. Berulang kali Ian menarik nafas panjang dan mengepalkan erat kedua tangannya, susah payah menahan amarah yang membakar d**a dan pikirannya karena ucapan Arman tadi.
"Nyet, Meta!" ucap Fandi, cepat menyadarkan Ian bahwa Meta sedang berjalan mendekatinya, sebelum Meta sadar kegelapan yang Ian bawa dan memicu pertengkaran tak berujung.
"Inget nyet, diomongin pake kepala dingin. Kalau gue jadi lo, gue akan percaya sama cewe gue. Ini jaman edan nyet, apapun bisa terjadi. Lo cuma perlu bicara baik–baik sama Meta. Itu babi b*****t cuma mancing emosi lo." Lanjut Fandi lagi.
Ian diam menatap Fandi, lalu menggelengkan kepalanya. Ia benar–benar geram.
"Ian..."
Ian tersenyum menatap sumber suara yang menyapanya. Senyum yang berbeda dengan yang biasa Ian tunjukkan pada Meta. Senyum yang — tak Meta harapkan. Senyum palsu.
"Hey..." balas Ian singkat.
"Aku langsung jalan ya. Kamu masih ada kuliah kan?"
Ian menggeleng. "Kuliah pengganti lusa. Aku antar kamu ke café."
"Aku mau pulang dulu, lupa bawa t–shirt."
Ian beranjak, berjalan mendahului Meta. Meta menatap Fandi penuh tanda tanya, dan Fandi mengangkat bahunya.
"Just talk with him." Ucap Fandi pelan.
Sepanjang perjalanan menuju kosan Meta, Ian tak bersuara. Yang biasanya berkali-kali Ian akan mengusap lembut tangan meta yang melingkari pinggangnya, mengecup punggung tangan Meta, mengadu pelan helm mereka, kali ini Ian diam saja.
"Aku tunggu sini aja." Ucap Ian saat Meta turun dari motornya.
"Temenin..."
"Ta..."
"Kamu boleh marah, Yan. Tapi Ian yang aku tau, ga pernah ninggalin aku semarah apapun dia."
Ian mendengus lelah, tapi tak urung melangkahkan kakinya menemani Meta ke kamar kost-nya.
"Ada yang kamu sembunyikan dari aku tentang kejadian hari itu, Ta?" tanya Ian saat Meta kembali dari kamar mandi setelah mengganti kemejanya dengan t–shirt seragam kerjanya.
Meta terdiam, menatap Ian lekat.
"Arman ngomong apa sama kamu?"
"STOP saying his name!" geram Ian.
"Ian..."
"I need to know. I just need to know, Ta."
"Kamu ga percaya sama aku?"
"Kamu ga pernah cerita apapun, Ta. Soal obat pun Rega yang bilang ke aku karena ga sengaja dengar omongan Arman dan geng-nya sehabis latihan basket. Bukan dari kamu."
"Aku ga mau bahas itu!" lirih Meta. Air mata kembali mengalir dari kedua netranya.
"Ta... I need to know."
"Kenapa Ian? Kenapa baru sekarang kamu tanya? Dari awal aku udah bilang aku ga pantas buat kamu! Itu alasanku pergi! Aku mau kamu ngelupain aku, aku mau ngelupain kamu! Aku ke sini karena aku ingin memperjuangkan hidupku, aku cuma ingin hidup layak. Bukan ketemu kamu! Tapi justru kita ketemu lagi dan begini lagi. Aku jatuh cinta sama kamu lagi! Kenapa Ian? Kenapa kamu ga jauhin aku aja?"
"You ask me why? Seriously? Trust me Ta, you are that worth! Aku bertanya bukan untuk menghakimi kamu. I need to know. I need to understand! Aku perlu tau karena kalau suatu saat nanti babi itu muncul lagi di hadapanku, aku tau aku harus masukin dia ke rumah sakit, penjara atau liang lahat!" geram Ian.
Meta terisak. Tangisannya semakin menjadi. Ian maju, memeluknya hangat. Membantu Meta menenangkan diri.
"Listen, aku ingin hubungan ini berhasil Ta."
"Kamu mau tau apa, Yan?" isak Meta.
"Kamu benar-benar ga ingat kejadian itu?" tanya Ian pelan.
Meta tergugu. Air mata masih saja terus mengalir deras dari kedua netranya.
"Ta..."
"Aku ga mau mengingat itu..." isaknya.
"Jadi kamu ingat?" tanya Ian lagi, lembut.
Meta mengangguk.
"Kamu ga pingsan?"
Meta menggeleng.
"Awalnya ngga. Lemas. Ga kuat ngelawan. Rasanya seperti ditenggelamkan. Tapi akhirnya, mungkin karena aku terlalu shock, aku pingsan."
Ian menutup netranya. Panas. d**a, otak dan matanya panas.
"So you lied to me?"
"Obat itu... Obat perangsang." Lirih Meta.
Ian terduduk lesu. Air mata turut mendobrak pelupuk matanya.
"Aku coba melawan. Tapi Arman nampar aku, ngikat aku. Aku ga tau aku harus gimana Yan. Teriak pun percuma, ga ada yang dengar."
Ian masih diam. Entah apakah ia sanggup menerima fakta yang barusan ia dengar.
"See... kamu ga bisa ngerti kan?" lirih Meta lagi.
"Ta..."
"Apa lagi yang mau kamu tanya?"
"Ta..."
"Did I enjoy it?"
"Ta... Please..."
"YES! I ENJOYED IT! BECAUSE HE GAVE ME DRUGS! MADE ME h***y AND I COULDN'T ESCAPED! AKU MENYESAL IAN! SEHARUSNYA AKU LANJUTKAN SAJA RENCANA BUNUH DIRIKU PAGI ITU, BUKAN MALAH MEMINTAMU MENGANTARKU PERGI!" pekik Meta.
"META! STOP IT! Please... Stop it!"
Ian bergegas berdiri, memeluk Meta erat.
"Ta... I'm sorry... I'm so sorry... I'm sorry, Ta... Ini salahku. Salahku sampai kejadian itu menimpa kamu. Salahku yang terlalu pengecut mendekati kamu hingga b******n itu mendekatimu lebih dulu. Salahku yang ga ngotot untuk merebutmu dari dia. Salahku yang membiarkan kamu pergi ke ulang tahun dia. Semuanya salahku, Ta. Salahku! Bukan salah kamu."
Meta terus terisak, memukul-mukul punggung Ian.
"Baby I'm sorry. Please..." lirih Ian lagi.
"Let's break up Ian... I can't do this." Isak Meta.
Ian menggeleng. Ia pun tak kuasa menahan tangisnya.
"No... No baby, you can't do this." Tolak Ian.
"I'm sorry. I'm sorry baby, I'm sorry. But you promised not to leave me. Dan aku pun ga ada keinginan untuk meninggalkan kamu." lanjutnya lagi.
"Yan... Kamu cowo baik."
"Ngga Ta... Aku ga pernah melakukannya bukan karena aku cowo baik. Tapi karena aku ingin melakukannya dengan kamu, dengan perempuan yang aku cintai. I love you. And you know that."
"Ian... Aku bahkan ga yakin aku bisa melakukan itu lagi. That incident really broke me. Hancur Ian... Aku bahkan malu dengan diriku sendiri. Ini ga akan mudah buat kamu, buat kita."
"Just try, Ta... Kita bisa jalanin ini sama–sama. Just try! Let us try. Dan kamu ga perlu malu. Kamu korban, Ta! Kenapa harus kamu yang malu? Harusnya dia, harusnya b******n itu yang malu karena sudah berbuat kotor!"
"Aku ga yakin Ian... Aku ga mau nyakitin kamu..."
"I'm ok. Baby, I'm ok. Please... Please don't break me! I love you, Ta... I love you."
Ian merengkuh wajah Meta, melabuhkan kecupannya di bibir Meta. Berkali-kali. Memaksa Meta membalasnya.
"Ian..."
"Baby, please... Not again. Don't do this to me. Don't leave me again. Please..."