DELAPAN

1164 Words
"Awalnya Meta ke Jogja, Bu. Ke makam Mama. Dari situ Meta ke Surabaya, mau coba ngadu nasib aja, tanpa tujuan." "Ya Allah, Ta..." lirih Ian. "Meta diterima kerja di rumah makan Bu. Tinggal di situ juga. Waktu lagi siap–siap mau buka, ada seorang nenek yang kecapean duduk di depan rumah makan. Meta samperin, katanya dari Rumah Sakit. Pas Meta minta ijin anter nenek itu dulu, bos Meta bilang nenek itu tinggal sendiri. Suaminya udah lama meninggal, kedua anaknya pergi lebih dulu juga. Ada satu menantunya ga pernah datang lagi, cucunya juga. Begitu sehat nenek itu datang ke rumah makan, bicara sama bos Meta, dan minta Meta tinggal bersama dia." "Sekarang nenek itu masih di Surabaya?" Meta menggeleng. "Nenek udah ga ada Bu... Setahun yang lalu. Nenek yang semangatin Meta supaya Meta kuliah." Yanti dan Ian sama–sama menghembuskan nafas berat. Pilu membayangkan hidup Meta seorang diri. "Sekarang kamu tinggal di mana, nak?" "Meta ngekos Bu..." "Biaya kuliahmu? Makanmu, nak?" "Ibu ga usah khawatir, Meta punya tabungan walaupun ga banyak. Rumah di Surabaya, Meta kontrakkan, bisa untuk bayar kosan di sini dan hari–hari Meta. Nenek ngasih semuanya buat Meta, Bu..." Bulir bening kembali menetes dari kedua netra Meta. Rindu pada wanita yang telah membantu dan menyayanginya. "Ya Allah... Pulang lah, nak. Tinggal bersama Ibu... Kamu punya Ibu, Ta." "Meta sayang sama Ibu. Meta yakin Ibu tau. Tapi Meta juga harus menghargai perasaan Kak Ira dan Andi, Bu... Meta ga mau bikin Ibu dalam posisi sulit lagi karena Meta. Mereka anak kandung Ibu, mereka lebih berhak atas kasih sayang dan perhatian Ibu." "Mereka begitu merasa bersalah sama kamu, nak..." "Justru Meta yang ga enak, Bu... dan Meta lebih nyaman seperti sekarang. Rasanya Meta bisa lebih leluasa menyayangi Ibu. Inshaa Allah nanti Meta sering datang ke rumah Ibu ya..." Yanti tergugu, begitu merasa bersalah pada Meta. 'sreeek' pintu kamar terbuka. "Meta..." sapa seorang perempuan yang lebih tua beberapa tahun dari Meta. Ia datang bersama seorang pria yang terlihat lebih muda dari Ian dan Meta. Ira dan Andi, kedua anak Yanti. "Kak Ira..." Ira mendekati Meta, memeluknya erat. Sementara Andi hanya diam membatu beberapa langkah dari mereka. "Kak Ira minta maaf, Ta... Kamu pulang ya?" ucap Ira. "Ga apa–apa Kak. Kak Ira dan Andi ga punya salah apapun ke Meta." "Tapi kamu pergi, Ta." "Meta waktu itu dapat kerja di rumah makan di Surabaya, Kak. Dan Meta ga tega lihat Ibu kesulitan membiayai pendidikan Meta. Meta takut dilarang, makanya Meta pergi gitu aja. Meta yang salah. Meta yang salah sama Ibu, Kak Ira dan Andi." "Ta..." "Beneran, Meta ga apa–apa. Sekarang Meta kuliah, satu kampus sama Ian. Meta ngekos. Kapan–kapan Kak Ira main ya?" "Ngapain ngekos? Pulang, Ta..." "Ga apa Kak, lebih dekat ke kampus." Ira diam. Tak berani membujuk Meta. Ia tahu, tingkah dan kata–katanya dulu pasti sudah sangat melukai perasaan Meta. "Ibu, Meta ada shift sore ini, jadi Meta pulang dulu ya Bu..." "Kamu temani Meta ya Yan?" "Iya Bu, pasti." *** Sepanjang perjalanan Meta diam saja, tak satu patah kata pun terucap. "Aku mampir dulu boleh, Ta?" "Iya, boleh." "Kamu duluan, aku mau beli mie ayam di situ." Meta tersenyum, mengangguk pada Ian. Ian menatapnya lekat. Tak tersenyum, hanya menatapnya. "Jadi mau beli mie ayam? Apa mau ngeliatin Meta terus?" Ian terkekeh. Tangannya terulur, mengusap lembut kepala Meta. "Tunggu di dalam, udah mau hujan." Mereka makan sambil bercanda. Ian yang sangat tidak menyukai jamur, terus saja memindahkan potongan jamur ke mangkuk Meta dan mencomot potongan ayam sebagai penggantinya. Membuat Meta tak henti mengomeli dan mencubiti pria itu, sementara Ian terus saja terkekeh melihat kekesalan Meta. "Kenapa tadi bohong ada shift sore?" tanya Ian. "Biar bisa pergi dari sana." Jawab Meta singkat. Membuat Ian bungkam, memilih untuk tak lagi bertanya. Hujan mengguyur begitu deras. Meta dan Ian sama–sama terdiam sambil menatap rintik hujan dari balik jendela kamar Meta. Meta meletakkan sebuah meja kecil di sisi jendela, juga dua kursi lipat yang diletakkannya di kolong tempat tidur jika tak digunakan. "Kamu mau cerita apa yang terjadi antara kamu dan anak–anak Ibu panti?" tanya Ian lembut. Meta masih terdiam. Mencoba merangkai kata di benaknya. "Kita pulang dari Rumah Sakit waktu itu udah malam banget kan Yan. Ibu negur aku. Pas aku di kamar, Kak Ira masuk, marah–marah ke aku. Intinya aku ga tau diri, udah ditampung malah bikin susah, mereka kesal karena disuruh nyari aku dan Ibu marah ke mereka karena mereka ga pernah berusaha mengerti aku. Kak Ira sampai bilang aku p*****r, pulang malam terus, sering diantar laki–laki. Padahal yang antar aku kan kamu atau Arman. Pulang malam pun sebelum isya aku udah di rumah, aku belajar di rumah kamu kan Yan, di panti ramai, aku kesulitan belajar. Kalau Andi memang kelihatan ga pernah suka sama aku. Bicara sama aku pun dia enggan." Ian menarik nafas panjang. Sedari tadi dadanya ngilu mengupas hidup perempuan pujaannya itu. "Besoknya aku seharian di rumah kamu. Kondisiku masih ga memungkinkan pergi, dan ga mungkin juga aku diam aja di panti. Pulangnya Ibu diam saja, aku ga diajak bicara sama sekali. Bahkan makan malam aja aku takut lihat Ibu. Paginya sebelum ke pasar, Ibu marah ke aku. Apa yang Kak Ira bilang diulangi Ibu. Aku ga tau kenapa Ibu bisa sekesal itu sama aku. Mungkin beliau lelah mendengar ketidaksukaan Kak Ira dan Andi sama aku. Begitu Ibu berangkat, kita ke stasiun. Aku pergi tanpa menjelaskan apapun pada Ibu." "Makanya kamu ga mau pulang?" Meta mengangguk. "Yan... Meta kesepian banget. Jujur Meta lelah hidup sendiri kaya begini. Ga punya siapa–siapa. Tapi ini jauh lebih baik dibandingkan hidup di tengah–tengah orang yang berpura–pura menyukai Meta." Ian menatap Meta lekat. Perempuan itu masih cantik. Hanya saja, gurat pilu begitu terlihat di wajahnya. Ian mengulurkan tangannya. Meta menyambutnya, saling menggenggam. "Sini, Ta..." Meta berdiri mendekati Ian. "Kenapa Yan?" Ian menepuk–nepuk pahanya, mengajak Meta ke pangkuannya. Meta terdiam, menatap Ian lekat. Ian tersenyum, tersenyum sembari menatap Meta lekat. Ian menarik lembut tangan Meta di genggamannya, membiarkan Meta duduk di pangkuannya. Netra mereka saling memandang. Tak ada yang berpaling. Ian mendekatkan wajah mereka berdua, menempelkan bibirnya di kening Meta, lalu menyatukan kening dan puncak hidung mereka. Tangan Ian terulur, satu merangkul pinggang Meta, satu menahan tengkuk Meta. Ian menutup netranya, bibirnya bergerak mengecup lembut bibir Meta. Lembut, perlahan, beberapa kali. Netra Meta ikut terpejam, bibirnya bergerak seirama dengan bibir Ian. Saling mengulum dan mengecup lembut. "Kita pacaran ya, Ta?" pinta Ian tanpa melepaskan pautan bibir mereka. "Hmmm." "Jawab, Ta..." "Iya." "Jangan tinggalin aku lagi." "Iya." "Janji?" "Janji." "Kamu punya aku, Ta... Selalu punya aku." Bulir bening kembali menetes dari kedua netra Meta. Ia tau, pria yang sedang merengkuhnya dan melabuhkan kecupan–kecupan kecil padanya saat ini, tak pernah berhenti mencintainya. "Meta kangen Yan... Kangen Ian..." isaknya. Ian terus menciuminya. Menciumi seluruh wajahnya, lalu kembali mengulum lembut bibir Meta. "I love you, Ta... I always love you!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD