Luluh Ola

1130 Words
“Terima kasih, Ola.” “Hm. Maaf, Mas. Ini sudah pukul sepuluh. Aku harus bangun pagi-pagi besok, olah jamuku. Lagipula aku kurang nyaman.” Akhyar berdehem. “Jadi kapan bisa aku hubungi kamu lagi?” “Maaf, Mas. Ada urusan pentingkah? Kalo nggak penting-penting amat, nggak perlu telpon-telpon. Aku kurang nyaman lho, Mas.” “Kamu penting. Buat aku nyaman. Tolonglah, Ola. Kamu sendirian di sana, aku juga. Just a small talk.” “Apa tuh, Mas? Aku ini nggak ngerti Inggris. Maaf lho, Mas,” “Aku ingin kamu jadi teman ngobrol aku, La. Obrolan kecil.” “Lha … piye to Mas? Katanya Mas tinggal bareng sama saudara, anak dan cucu. Ada teman ngobrol toh? Kok malah mau ngobrol dengan aku? Nanti nggak nyambung. Mas bingung, aku juga bingung.” Ada tawa renyah terdengar dari ujung sana. “Kasian Mas nantinya. Maaf, Mas. Hm, aku tidur dulu,” “Ola. Kapan aku bisa hubungi kamu?” “Hm. Aku kerja tiap hari, Mas. Hari Minggu kadang libur kadang nggak. Aku juga jarang liat hape,” “Kamu butuh uang? Nggak usah kerjalah. Aku bisa kasih kamu,” “MAS!” Ola atur napasnya yang tiba-tiba sesak. Ini sangat menyinggungnya. “Maaf....” Ola langsung memelankan suaranya. “Maaf … aku nggak butuh uang. Aku butuh kerja.” Hening. Lalu terdengar napas berat dari sana. “Maaf, Ola.” Dan hubungan pun ditutup Ola dengan perasaan yang sama sekali diinginkannya malam itu. *** Hanin mengurut dahinya mendengar masalah yang muncul kembali antara Akhyar dan Ola. Pagi itu Akhyar lagi-lagi menghubunginya mengeluhkan sikap Ola yang menurutnya sangat berlebihan. “Ya sudah, Akhyar. Kamu minta maaflah. Wajar toh dia tersinggung,” “Aku sudah minta maaf, Nin. Tapi kayaknya dia tidak tulus maafin aku,” “Ya kamu ngapain kek. Kirim dia makanan atau apa. Dia suka martabak manis. Kasih yang terbaik. Aku dulu pernah begitu, tapi setelah aku kasih dia martabak, dia baik lagi. Ola itu nggak mau hatinya nggak tenang. Percayalah.” Terdengar Akhyar menghela napas panjang. “Satu lagi yang harus kamu tau, Akhyar. Ola nggak suka sedan. Dia lebih suka van,” *** Sore menjelang malam, Ola yang sedang mencuci piring di dapur, mendengar pintu depan rumahnya diketuk. Ola bergegas menuju ke pintu depan setelah melap-lap tangannya yang basah. Ola menyingkap tirai gorden jendela rumahnya sedikit. Dilihatnya ada dua orang berbadan tegap berdiri membawa sebuah kotak plastik yang berisi makanan. Ola sekilas melihat wajah kedua orang itu. Dia ingat, orang-orang tersebut adalah orang-orang yang selalu menemani Akhyar ke mana-mana. Ola buka pintu rumahnya. “Sore, Bu Ola. Maaf kita mengganggu sebentar. Sebentar saja, Bu. Ini ada titipan dari Pak Akhyar Sirojuddin. Ini juga ada catatan kecil dari beliau,” ucap orang itu sangat ramah. Ola tersenyum kecut melihat wajah kedua orang itu. Tapi akhirnya dia sambut juga kotak plastik tersebut. Bu Ola mengamati kotak plastik berwarna hijau muda tersebut dengan seksama. “Tunggu sebentar, Mas. Saya letakkan dulu makanan ini ke piring saya. Nanti saya kembalikan kotaknya,” ujar Ola sopan. Orang itu tersenyum simpul. “Nggak papa, Bu. Ini kotak dan makanan memang buat ibu,” “Oh, begitu.” Ola amati kotak yang dia pegang sekali lagi. Kotak plastik hijau muda yang berukir indah. Harganya pasti mahal, gumamnya. “Itu saja, Bu Ola. Maaf mengganggu waktu ibu. Kita mohon diri,” “Ya, Mas. Sampaikan terima kasih saya untuk Pak Akhyar,” ucap Ola seraya menganggukkan kepalanya. *** Mata Ola terbelalak. Ada martabak kesukaannya yang sangat wangi aromanya. Ola yang sangat berbahagia malam itu karena sudah cukup lama dia tidak menyantap martabak. “Menteganya beda ini,” gumamnya sambil mengambil satu potong martabak. “Hm. Enak banget,” decak Ola. Dia senyum-senyum sendiri menikmati satu potong martabak sore itu. Lalu Ola teringat pesan orang yang mengantar martabak untuknya, bahwa ada sebuah catatan kecil dari Akhyar untuknya. Ola raih sebuah kertas yang menempel di kotak tersebut. Ola. Aku minta maaf. Terima maafku. Mohon hubungi aku, jika kamu punya waktu. Tanpa pikir panjang, Ola langsung menuju kamarnya dan mengambil ponselnya. Ola memang tidak suka menabung masalah. Jika ada orang yang merasa memiliki masalah dengannya, dia selesaikan dengan sesegera mungkin dan juga dengan cara yang baik dan sopan. “Halo, Mas,” mulai Ola dengan mata mengerling malas. “Hai, Ola,” “Terima kasih, Mas. Martabaknya enak sekali. Baru aku makan satu potong.” Terdengar tawa riang dari Akhyar. “Senang dengar suara kamu lagi, Ola,” decak Akhyar di sela tawanya. “Kamu nggak kerja hari ini, Ola?” tanya Akhyar mulai mengakrabkan diri. “Kerja. Jam tiga aku udah pulang. Karena sepi yang datang. Kalo rame, aku pulang malam,” jawab Ola. Nada bicaranya mulai pelan. “O. boleh aku tau kapan saja aku bisa menghubungi kamu, Ola. Sekarang Selasa, berarti setiap Selasa malam pukul tujuh seperti ini aku bisa hubungi kamu? Hari-hari lain kapan saja, Ola?” Ola menelan ludahnya. Dia merasa Akhyar mulai memahami kondisinya. Tapi tetap saja ada perasaan risih. “Biar kamu nggak terganggu," Ola mengernyitkan dahinya. Ini saja sudah sangat mengganggunya. Akhyar memang aneh. “Setiap malam pukul tujuh aku bebas dihubungi, Mas. Tapi ya nggak bisa lama-lama. Jam delapan kurang aku mulai buat jamu. Kalo lelah, aku tidur jam sembilan, kalo masih kuat bisa sampe jam sebelas,” jelas Ola. “Oke. Ada libur, Ola?” “Ada, Mas. Minggu atau Sabtu. Satu hari seminggu. Tapi kadang kalo ada yang butuh bantuan aku cuci atau nyetrika, kadang aku ambil pekerjaannya. Lumayan.…” Ola seka keningnya yang basah. Entah kenapa dia begitu lancar menjelaskan kegiatan hari-harinya saat itu ke Akhyar. “Kamu kerja keras, Ola….” “Nggak juga, Mas. Biar sibuk saja.” “Karena anak-anak pergi semua?” Ola menghela napasnya. “Salah satunya,” Terdengar Akhyar berdecak setelah menelan ludahnya. “Boleh aku datang ke rumah kamu Minggu ini? Liburkanlah barang satu hari. Aku ajak cucu-cucuku,” Ola tertawa kecil. “Nggak usah, Mas. Nanti aku ditanya-tanya tetangga sekitar. Nggak enak,” “Kita ajak Hanin….” “Duh, Mas. Kasihan Mbak Hanin diajak-ajak.” “Atau kita ketemuan di rumah Hanin.” Akhyar tetap berkeras. “Ayolah, Ola. Nggak lama. Setengah hari cukup. Cucu-cucuku nggak pecicilan. Mamapapa mereka kebetulan sedang liburan ke Lombok. Kami bingung mau ke mana Minggu ini.” Ola berpikir sejenak. Dipandangnya langit-langit kamarnya. “Rumahku sumuh, Mas. Nanti pada nggak betah. Kasihan. Wong cucu-cucuku nangis-nangis kalo main ke sini.” “Ya? Minggu ini, Ola?” Sepertinya Akhyar tidak memperdulikan keberatan Ola. “Iya, Mas,” jawab Ola pendek. Ola meletakkan ponselnya ke dalam laci meja riasnya kembali dengan perasaan gamang. Mungkin dia akan menolak secara tegas jika Akhyar memaksakan kehendaknya untuk mengunjunginya Minggu ini. Tapi setelah mendengar kata 'cucu', hati Ola terenyuh. Tak sampai hati menolak permintaan Akhyar. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD