Khawatir Ola

1101 Words
Sore itu di teras belakang rumah Hanin. Bu Sari dan Mbok Min serta Pak Jo terlihat serius berbincang-bincang. Saking seriusnya ada kudapan kecil dan minuman hangat di depan mereka bertiga yang duduk leseh di lantai teras. “Bener, Min. Aku liat Bu Hanin ngobrol serius dengan Pak Anggiat tempo hari itu. Aku denger kata Ola Ola gitu. Apa Bu Hanin punya masalah dengan Bu Ola? Liat aja Bu Ola udah mulai jarang main ke mari,” Bu Sari dengan wajah serius menceritakan apa yang dia saksikan ketika Anggiat mengunjungi majikannya, Hanin. Dia yang menyuguhkan segelas besar jus strawberry ke Pak Anggiat saat itu. Pak Jo terkekeh mendengar kata-kata Bu Sari. “Wah. Kalo aku malah dengernya bukan masalah, Sari. Tapi ingin memperkenalkan Ola kepada seseorang.” Bu Sari mendelik. Juga Mbok Min. “Maksudnya?” tanya keduanya hampir bersamaan. “Ingin Ngenalin Ola dengan laki-laki,” Mulut Bu Sari dan Mbok Min menganga lebar tidak percaya. “Hah?? Moso sih, Pak Joooo,” Pak Jo tertawa lebar kali ini. “Kenapa sewot? Iri?” sewot Pak Jo sambil meraih bungkus rokok dari saku bajunya dan memukul-mukulnya ke salah satu telapak tangannya. “Kayaknya mereka kesusahan. Makanya Bu Hanin minta bantuan Anggiat.” Pak Jo mulai menyalakan rokoknya. “Wah. Sama siapa, Pak?” “Mbuh. Aku nggak tau. Kayaknya dirahasiakan banget. Biasanya kalo aku nanya ke Pak Ang, dia langsung jawab, tapi kemarin itu dia ketawa-tawa saja. Wes. Males nanya-nanya … emangnya kalian? Kepo kepo nggak karu-karuan. Suuzzoooon....” Bu Sari memukul bahu Pak Jo. Hampir saja rokoknya terlepas dari ujung mulutnya. “Halaaah. Sok kamu, Jo,” sergah Bu Sari. Dia sama sekali tidak terima tuduhan Pak Johan terhadap dirinya. “Lah. Bener to? Baru dua hari Ola nggak ke sini, sudah disangka punya masalah sama Bu Hanin. Mbok ya mikir. Ola itu wanita karir super sibuk … harusnya kalian berpikir yang bener.” Pak Jo mulai asyik menghisap rokoknya. “Jadi, Pak? Beneran itu Bu Ola mau dikenalin atau dijodohin gitu?” kepo Mbok Min. Dia cukup sabar menghadapi Pak Jo. “Yah kalo dikenalin sama laki-laki, ujung-ujungnya naik ranjang, Minaaa,” Mbok Min tersenyum mendengar ucapan Pak Jo. “Kalo sama rekan Bu Hanin. Wes, wong sugih ikiii. Mutlak,” gumam Bu Sari tiba-tiba. Mbok Min tersenyum lebar mendengarnya. “Waaaa. Bu Ola menang banyak. Mantu-mantu wong sugih, dia dapat wong sugih....” Pak Jo terkekeh lagi. “Ya. Mungkin. Tapi dengar-dengar Bu Hanin kesulitan. Kesulitan gimana gimana gitu. Yah, nggak tau juga," ujar Pak Jo. “Dulu itu kita pernah ngobrol-ngobrol, Pak. Bu Ola itu sama dengan Bu Hanin. Udah nggak kepikiran cari pasangan,” timpal Bu Sari. “Kalo Bu Hanin wajar nggak mikir. Lha wong umurnya tujuh puluh lebih. Kalo Ola sih sah-sah saja. Lima puluh saja urung. Masih sekel badannya," Bu Sari dan Mbok Min saling lempar senyum. “Cieeee, Pak Jo. Sekel gimana, Pak eee,” goda Bu Sari dan Mbok bersamaan. Mereka berdua juga senggol-senggolan. “Yah, sekel beginiiii. Kuat,” ujar Pak Jo menahan senyum. “Kuat apanya, Paaak,” goda Mbok Min. “Lah, Minaaa. Wong lanang itu kalo liat perempuan yo beda sudut pandang,” “Sudut mana, Bu eeee,” “Sudut situuuu,” Pak Jo tertawa menggeleng melihat kelakuan dua rekannya itu. “Pak. Bagi-bagi info lo. Soalnya kalo nggak melibatkan kita-kita, bisa kandas urusan Bu Hanin. Nayra … mulus. Sampe toh? Ayu, mulus juga. Farid, yah meski ambil jalur lain, ujung-ujungnya dari Nayra juga toh? Wes mulus. Sekarang Bu Ola. Jangan diem-diem waeee.” Mbok Min mulai bertitah. Dia pukul-pukul bahu Pak Jo yang asyik merokok. “Iya. Iya,” balas Pak Jo. *** Ola membuka isi kulkas kecilnya pagi-pagi sebelum mengolah jamu. Dia raih kotak plastik hijau yang berisi martabak manis pemberian Akhyar tempo hari. Masih ada sisa yang bisa dia santap. Ola meletakkan kotak hijau itu di atas meja makan dan membukanya perlahan. Ada perasaan sedih muncul. “Mas Yusuf,” desahnya sembari menahan genangan air mata agar tidak tumpah. Ola tidak ingin mengawali harinya dengan perasaan sedih seperti ini. Ola memejamkan matanya. Mengingat masa-masa indahnya ketika suaminya masih hidup. Hidup yang sangat sempurna. Hampir setiap malam Yusuf pulang dengan bekal martabak manis yang disantap beramai-ramai bersama Farid dan Nayra kecil. Makanan kesukaan sang suami. *** Ola mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan rumahnya. Ada yang dia pikirkan. Akhir pekan ini dia akan dikunjungi Akhyar yang baru beberapa kali dia jumpa. Akhyar akan mengajak cucu-cucunya. Ola tersenyum kecut membayangkan Akhyar yang akan dia temui lagi, namun senyumnya mengembang membayangkan cucu-cucu Akhyar yang akan bermain di rumahnya. “Katanya kembar. Seperti apa ya?” gumam Ola penasaran. “Pasti lucu,” gumamnya kemudian. Wajahnya cerah membayangkan anak-anak kecil bermain di rumahnya. *** Jika sebelumnya Akhyar yang beberapa kali mengeluhkan sikap Ola ke Hanin, kini giliran Ola yang melaporkan ke Hanin perihal niat Akhyar yang akan berkunjung ke rumahnya akhir pekan ini. Ola ingin Hanin mendampinginya saat Akhyar dan cucu-cucunya datang mengunjungi rumahnya. Sebenarnya Ola segan mengajak besannya itu mengunjungi rumahnya, karena ia tahu Hanin sangatlah sibuk. Tapi karena dia merasa khawatir akan merasa canggung di hadapan Akhyar dan khawatir dengan tetangga sekitarnya, Ola bertekad mengajak besannya. Ola bergegas menghubungi Hanin. “Waduh. Kok aku diajak-ajak? Nggak papa, La. Wong Akhyar kan bawa cucu-cucunya. Dia juga pasti bawa pengawal juga. Lagipula aku kebetulan jumpa klien hari Minggu itu. Jadi ya nggak bisa,” tolak Hanin. “Duh, Mbak. Aku bingung mau ngobrol apa. Takut bengong nggak karu-karuan,” cemas Ola. “Tenang aja, Ola. Akhyar itu orangnya supel. Udah biasa ketemu banyak orang dan berbagai macam jenis manusia. Jadi dia bisa menempatkan diri. Tenang saja.” Ola menghela napasnya. “Lha kamu kan sempat baik-baik aja ngobrol sama dia pas di Bandara. Ya pasti sudah pahamlah dia gimana,” “Kan waktu itu ada Farid, Rena sama Hera. Kalo besok Minggu itu aku kan sendiri kalo Mbak nggak bisa datang.” “Fatima gimana?” Fatima adalah Wak Tima yang merupakan sahabat Ola. “Dia kondangan, Mbak.” “Ya sudah, La. Nggak papa. Anggap saja kedatangan saudara. Wong dia juga masih kerabat kita ini. Nggak perlu canggung-canggung, Ola. Anggap saja teman pengisi hari libur kamu. Cucu-cucunya lucu-lucu lho. Usia empat lebih, lagi cerewet-cerewetnya. Pasti rame rumahmu.” Hanin terus memberi dukungannya ke Ola. Ola hanya bisa menghela kecewa. Dia cepat tepis perasaan cemasnya seraya membersihkan rumahnya. *** Ola bangun lebih pagi Minggu itu. Perasaan cemas menyambut Akhyar perlahan hilang. Yang dia pikirkan kini adalah bagaimana membuat suasana rumahnya jadi menyenangkan bagi cucu-cucu Akhyar. Ola memang menyukai anak-anak kecil. Karena mereka memang sangat menyenangkan baginya. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD