"Nggak diangkat, Mbak," gumam Ola seraya menyerahkan ponsel Hanin. Dia terlihat sangat tenang. Padahal sebenarnya hatinya bersorak gembira karena tidak berhasil menghubungi Akhyar.
Ola sebenarnya merasa jengah dengan sikap Akhyar yang menurutnya kekanak-kanakan. Kenapa dia tidak menghubunginya dan menceritakan kekecewaannya secara langsung kepadanya? Kenapa harus lewat besannya? Namun kekecewaan ini tidak terlihat dari sikap Ola.
Belum ponsel mendarat ke tangan Bu Hanin, ponsel itu berbunyi.
“Halo, Hanin. Maaf. Aku baru saja tiba dari depan,”
Terdengar suara Akhyar yang diiringi desah napas memburu. Lalu terdengar suara tawa anak-anak perempuan kecil di sana.
Dahi Ola mengernyit karena Akhyar seolah tidak berharap berbicara dengannya. Dia sodorkan ponsel itu ke Hanin. Hanin perlahan turun dari kursi. Dia ikut duduk leseh di hadapan Ola.
“Oh. Ya sudah. Ini ada yang mau bicara sama kamu,”
“Ya?”
“Ola. Dia mau bicara,”
Tiba-tiba hubungan terputus.
“Lho? Putus. Yah ... Ola,”
Ola tersenyum dengan bibir mencebik melihat wajah bingung Hanin.
“Mbak, Mbak. Udah saya bilang. Orang-orang seperti Akhyar itu memang begitu. Mbak nggak usah ikut-ikut pusing. Sudah. Nggak usah dikhawatirkan. Lebih baik Mbak sampaikan maaf saya saja ke dia. Beres toh?”
Wajah Hanin tampak menunjukkan kekecewaan yang amat sangat. Hampir saja dia berpendapat bahwa Akhyar hanya mempermainkan dirinya saja. Menurutnya Akhyar sangat tidak sopan memutuskan panggilan dengan tidak meninggalkan pesan. Berbeda dengan Ola. Dia dengan semangat kembali melanjutkan pekerjaannya.
Hanin menggelengkan kepalanya melihat gelagat besannya itu. Sepertinya Ola memang benar-benar tidak ingin menjalin hubungan dengan siapapun. Melihat Ola yang tenang dan penuh senyum, Hanin malah ikut membantunya mengolah jamu.
“Gimana sih ini Akhyar. Tadi pagi curhat kayak orang putus asa. Lah, disuruh ngomong sama kamu, malah kabur,” rutuk Hanin.
Ola mesem-mesem mendengar rutukannya.
Jadilah sore itu Hanin dan besannya mengolah jamu bersama sambil berbincang-bincang mengenai cucuk mereka yang sedang rewel-rewelnya, Bagas. Sudah dua malam ini Bagas tidak mau tidur sendirian di kamarnya dan ingin ditemani keduaorangtuanya.
“Mungkin kepingin punya adik lagi,” gumam Hanin mesem-mesem. Dan Ola mengaminkannya.
***
Selang beberapa saat setelah Hanin pulang, Ola kembali ke dapurnya, melanjutkan pekerjaannya, mengolah jamu dan membersihkan dapur. Ola juga seperti biasa mencuci bajunya yang tak seberapa, juga membersihkan rumahnya. Setelah semua selesai, Ola dengan santai memperhatikan tanaman-tanamannya di luar juga membereskan teras depan. Dan ada saja yang menyapanya dengan hangat di akhir pekan itu. Ada juga anak-anak kecil menyalaminya, duduk-duduk di depan rumahnya sambil menikmati hasil jajanan mereka. Kadang Ola suka memberi mereka uang jajan kepada anak-anak tersebut dan menyuruh mereka sekadar bermain-main di depan pekarangan rumahnya. Begitulah cara Ola mengusir sepi. Sepertinya para tetangga memahami keadaan Ola, dan mereka sangat senang, karena Ola masih bersikap biasa dan tidak meninggalkan rumahnya meski memiliki besan dan menantu yang berada.
Bagi mereka Ola paket lengkap, dia bisa jadi seorang ibu, jadi teman, sahabat tempat curhat, atau teman bersenda gurau.
Menjelang sore, barulah Ola kembali ke rumahnya. Jika dia merasa sepi, Ola kadang ke rumah sahabatnya, Wak Tima hingga malam. Atau Wak Tima yang terkadang mengunjungi rumahnya. Kalau tidak, dia habiskan waktunya sendiri mencari kesibukan. Menjelang tidur, seperti biasa, Ola menonton sinetron kesukaannya di televisi kecilnya.
Pukul sembilan atau sepuluh malam, Ola membersihkan diri sejenak, sebelum kemudian merebahkan diri di atas kasur.
Baru saja Ola duduk di atas kasurnya, terdengar sayup-sayup bunyi ponselnya. Ola sedikit terkaget, karena memang seharian ini dia tidak menyentuh ponselnya sama sekali karena kesibukannya di akhir pekan.
Ola bangkit dari duduknya sembari meraih ponselnya yang berada di dalam laci meja riasnya.
Dahi Ola mengernyit. Sebuah nomor ponsel asing yang menghubunginya. Belum sempat dia angkat, nada dering ponsel berhenti.
Mata Ola terbelalak melihat layar ponselnya. Ada ratusan missed call yang dia terima dari nomor yang sama. Juga beberapa pesan.
Bu. Saya mohon, hubungi nomor ini segera. Akhyar.
Ola menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dia baru mengingat kejadian siang tadi, ketika dia mencoba menghubungi Akhyar melalui ponsel Hanin. Lalu Akhyar menghubungi Hanin, akan tetapi hanya sebentar dan malah terputus begitu saja. Ternyata, Akhyar mencoba menghubunginya langsung sedari siang.
Ola menghela napasnya dengan ponsel yang masih berada di pangkuannya. Akhirnya Ola memutuskan menghubungi Akhyar malam itu. Dia tidak ingin memikirkan masalahnya dalam waktu lama.
“Halo...” terdengar suara serak dari sana.
“Halo, Pak Akhyar. Maaf mengganggu. Saya Ola. Aduh, Pak. Maaf. Saya itu jarang liat-liat hape. Maaf ya, Pak Akhyar,” mulai Ola sambil berusaha sesopan mungkin. Padahal hati dan pikirannya sedikit jengah karena merasa hidupnya terganggu.
“Iya, Nggak papa, Bu. Tadi siang memang saya hubungi Ibu berkali-kali. Kata Bu Hanin Ibu mau bicara.”
“Oh. Betul, Pak. Anu, saya mau minta maaf soal kejadian di Bandara tempo hari. Itu memang saya sedang kepingin sendirian. Maklum, Pak eee, yang namanya harus merelakan anak pergi jauh. Saya benar-benar minta maaf kalo sikap saya mengecewakan Bapak,”
“Nggak papa, Bu. Saya cuma heran saja, awalnya Ibu sepertinya senang kita ngobrol-ngobrol. Tapi pas pulang, Ibu nggak hanya menolak ajakan saya, Ibu juga sepertinya tidak menyukai kehadiran saya. Saya hanya ingin tau saja kenapa berubah,”
“Iya, Pak. Maaf.”
Lalu keduanya terdiam. Ola sepertinya ingin segera mengakhiri percakapan yang menurutnya tidak terlalu penting ini. Tapi bingung cara mengakhiri, khawatir pria itu kecewa lagi.
“Hm. Itu saja, Pak. Saya sangat menyesal,” ucap Ola akhirnya.
Tidak ada balasan dari Akhyar sama sekali ketika dia berucap maaf kesekian kali.
Ola semakin bingung.
“Selamat malam, Pak. Itu saja,” tegasnya kemudian. Lalu dia tutup panggilannya tanpa persetujuan Akhyar.
Tapi setelahnya, entah kenapa Bu Ola kembali merasa bersalah karena sama sekali tidak ada sahutan dari seberang sana.
Belum sempat dia membuka laci meja untuk meletakkan ponselnya, kembali berbunyi nada dering.
“Aku maafkan, Ola,” balas Akhyar kemudian.
Ola menelan ludahnya. Nada bicara Akhyar sangat berubah. Yang semula asing, sekarang seakan menginginkan keakraban.
“Bisa aku minta waktu kamu malam ini?” tanya Akhyar.
Ola yang semula berdiri saat menelepon, kali ini dia dudukkan tubuhnya di tepi tempat tidur.
“Maaf, Pak Akhyar,”
“Maaf, Ola. Bisa kamu ubah cara bicara? Panggil aku nama saja atau Mas, Abang, Kakak. Senyaman kamu. Jangan Bapaklah. Kita ini sudah punya hubungan kekerabatan. Kayak orang lain saja aku kamu anggap,”
Ola memejamkan matanya. Ini pria aneh menurutnya. Ola berusaha menguatkan dirinya.
“Baik, Mas Akhyar,” putusnya.
Terdengar helaan lega dari seberang sana. Lalu tawa kecil bahagia.
Bersambung