***
Luka bukan hanya soal sakit. Bisa jadi luka itu adalah cara Tuhan mendewasakan kita.
***
"KAKAK!"
Tubuh Agra sempurna menegang. Seperti aliran listrik mengaliri seluruh badannya.
Dan lagi, ia gagal menjadi kakak yang baik.
Perlahan, dengan gemetar, Agra berjalan masuk ke gudang. Menimbulkan gesekan pada lantai gudang yang kotor penuh debu.
Dua sosok yang baru sadar kehadiran seseorang menoleh.
"Ber ... henti," lirih Agra.
Air mata Atha mulai kembali membanjiri pipinya. Keyakinannya selalu benar. Agra akan menolongnya. Lagi, seperti hari itu. Sepuluh tahun lalu.
Agra berjalan gontai. Menatap tajam seseorang yang sedang menatapnya kesal, karena Agra menganggu kegiatannya.
"Lepasin dia," kecam Agra saat melihat sosok itu mendekat ke arah Atha.
"Dia cewek lo?" tanya laki-laki itu sarkas. Ia tersenyum miring. Menyenangkan sekali.
Niatnya mampir ke SMA Permata memang karena siswi Permata terkenal cantik dan bening. Dan ia membuktikannya sendiri, dengan Atha sebagai targetnya. Apalagi saat ada siswi yang memberitahunya bahwa Atha itu gadis yang menggemaskan. Siswi itu benar, perempuan di depannya ini sepertinya lugu dan tidak tahu apa-apa.
Agra semakin mendekat dengan mereka. Agra menggeram saat sadar dua kancing teratas seragamnya yang dikenakan Atha sudah terlepas.
"Jangan sentuh dia!" bentak Agra.
"Kenapa emang? Nggak boleh? Dia aja diem aja, ya nggak, Cantik?" Laki-laki itu mencolek dagu Atha yang menangis ketakutan.
Agra melirik badge name laki-laki itu. Elang Fernando Julian. Agra kenal dia. Ketua geng Cakrawala, musuh bebuyutan geng Bimasakti dan Thunderbolt.
Agra tidak peduli setinggi apa jabatannya. Yang ia tahu, laki-laki b******n di depannya ini sudah menyentuh Atha dan mencoba melecehkannya. Agra menggeram lagi. b*****t!
"Singkirin tangan busuk lo, berengsek!" Agra mendorong tubuh Elang. Elang terpental beberapa meter.
Agra segera menghampiri Atha, memeluknya. Seperti sepuluh tahun lalu. Tapi tak lama ia bangkit, melayangkan tinjunya ke arah Agra. Tinjuan keras itu mengenai tepat ke punggung Agra.
Napas Agra tercekat beberapa saat. Atha semakin gemetar. Ia turut merasakan sakit yang Agra rasakan.
"Beraninya lo dorong gue! Lo nggak tau siapa gue, hah?" teriak Elang marah.
Agra melepas pelukannya.
"Gue nggak peduli siapa lo. Lo udah nyentuh Atha, b******n!" Agra melayangkan pukulan, Elang yang lebih terlatih dengan mudah menghindar.
Ia tertawa. "Pukulan lo mirip tabokan anak bayi."
Agra diam tak menanggapi. Ia menoleh ke belakang, melihat Atha. Atha sepertinya masih shock.
"Ini yang namanya pukulan!" teriak Elang sambil meninju pelipis Agra.
Atha memekik kecil. Ia semakin gemetar. Kepalanya sakit, tepat di pelipis kiri, seperti Agra.
Seketika Agra terhuyung ke belakang. Darah mengalir segar dari pelipisnya. Elang memakai cincin. Sialan.
"Bacot." Agra kembali meninju perut Elang. Berhasil. Elang menggeram.
"Oh lo mulai serius ya, oke."
Elang kembali melayangkan pukulan keras bertubi-tubi. Agra yang minim bela diri keteteran. Ia hanya bisa menangkis dua pukulan, sisanya tidak bisa.
Agra mendapat dua luka baru. Di bagian hidung dan rahang.
Baru saja Agra hendak bangun, Elang sudah duduk di atas Agra. Ia melayangkan satu pukulan terakhir.
"Enyahlah."
BUGH!
"Kyaaa! Radiiiiiii!" Atha meraung.
Pukulan itu keras. Tepat mengenai kepala belakangnya. Kepala Agra berdenyut keras. Ia tidak peduli. Yang ia pedulikan hanya Atha.
Karena Atha juga ikut merasakan sakitnya. Ah, Atha, semoga ia bisa menjaga dirinya.
"Gimana? Puas liat cewek lo nangis kayak gitu? Mending dari tadi lo biarin gue ngelakuin apa yang gue mau biar semuanya gampang. Tapi yah, lo emang keras kepala, nggak sadar diri pula. Harusnya lo diem aja di pintu, nonton gue main sama cewek lugu ini. Lumayan kan, bokep gratis." Elang terkekeh ringan.
Agra masih sadar. Ia ingin sekali menghajar mulut busuk Elang yang sembarangan bicara itu. Tapi ia tak berdaya. Tubuhnya lemah. Darah terus mengalir.
"Oke, siapa nama lo? Radiska Agatha M.? Oh, mungkin panggilan lo Agatha. Oke Agatha, ayo kita selesaikan permainan tadi." Elang melangkah mendekat.
Atha semakin kencang memeluk tubuhnya sendiri yang sudah banjir keringat.
"Lo berkeringat. Gue suka. Itu bikin lo jadi keliatan seksi," bisik Elang.
Atha ingin sekali melawan Elang, namun tubuhnya tidak bisa diandalkan. Ia terlalu lemah. Ia menatap Agra. Ia harus menolong Agra.
Atha merangkak menuju Agra. Baru satu meter, Elang sudah mendorong tubuhnya. Atha telentang di atas lantai.
"Jangan ngarep cowok lo yang udah sekarat itu bakal bantuin lo. Liat? Dia bahkan diem aja dari tadi. Mungkin emang pengin liat kita main. Jadi, ayo kita mulai." Elang menyeringai.
Atha memejamkan matanya kuat-kuat. Ia merapalkan doa. Atha sangat takut.
Dan tepat saat Elang hampir menyentuh kancing kemeja Atha, seseorang menendang kepala Elang keras-keras.
"b*****t!"
Atha terkejut. Ia membuka kelopak matanya. Atlan berseru marah. Wajahnya memerah.
"Maju lo sini!" Atlan kembali menghajar Elang habis-habisan.
Elang yang masih sibuk terkejut dengan serangan tiba-tiba tadi tidak dapat menghindar. Serangan Atlan cepat dan tegas walau tidak terlalu keras. Tapi itu cukup untuk membuat Elang kewalahan.
"Beraninya lo sentuh Atha!" Atlan meninju rahang Elang.
Atha menggunakan kesempatan ini untuk mendekat ke arah Agra yang sudah tak sadarkan diri.
Elang menendang perut Atlan. Atlan jatuh telentang. Elang segera memburunya.
Keadaan berbalik dalam sekejap. Elang dengan beringas membalas setiap pukulan yang ia terima. Bahkan lebih. Ia ketua geng besar. Ia dilatih oleh pelatih bela diri kepercayaan papanya.
Atha menatap ngeri kejadian itu. Lalu ia memberanikan diri. Ia mengambil sebuah tongkat besi yang berada di dekatnya.
Lalu pelan-pelan, ia arahkan ke kepala belakang Elang.
Pelan namun pasti, tongkat itu dengan sempurna menghantam kepala Elang.
Elang pingsan seketika.
Tongkat besi itu terjatuh begitu saja. Tangan Atha gemetar. Ya Tuhan apa yang ia lakukan? Elang tidak mati, bukan?
"Pukulan yang hebat," lirih Atlan seraya tersenyum tipis. Lalu, ia memejamkan matanya.
"L-lo ng-nggak pingsan kan?" tanya Atha terbata.
"Nggak. Cuma capek. Tha, bisa tolong cari bantuan? Agra lebih butuh pertolongan sekarang," ucap Atlan.
Atha mengangguk. Ia berjalan gontai ke luar gudang.
Kejadian barusan, sangat tidak bisa ia percaya. Hampir saja ia celaka.
Agra menolongnya lagi. Apa setelah ini ... Agra kembali membencinya seperti dulu?
Pusing memikirkan hal rumit yang terjadi, Atha mempercepat langkah. Menuju ruang OSIS. Setidaknya kejadian ini tidak perlu dibesar-besarkan lagi. Cukup beberapa orang yang tahu. Semoga begitu.
***
"Cakra, Kevin, tolongin gue," mohon Atha. Untung saja ruang OSIS hanya ada beberapa anak. Kevin, Cakra, Merry, Radit, dan satu anak kelas sepuluh, Vita.
"Tha, baju lo! Lo kenapa? Lo berantakan banget ya ampun." Merry mendekat, menyampirkan jas OSIS ke tubuh Atha.
"Nggak penting. Plis bantuin gue. Agra sama Atlan butuh bantuan." Mata Atha memerah.
"Mereka kenapa?" tanya Cakra.
"Tolongin mereka dulu, mereka darurat," ucap Atha terburu.
"Di mana mereka?" tanya Kevin.
"Gudang. Tapi tolong, jangan kasih tau siapa pun soal ini."
"Hm, kita ke sana dulu. Lo sini aja," kata Kevin.
Selepas itu, Cakra, Kevin, dan Radit berjalan cepat ke arah gudang.
"Mau minum, Tha?" tanya Merry.
Atha menggeleng. Ia masih gemetar. Kejadian itu mengingatkannya lagi tentang sepuluh tahun silam.
Merry semakin khawatir saat Atha mulai memejamkan mata, menutup telinga, lantas menjerit.
Vita, anggota OSIS kelas sepuluh mendekat.
"Mama psikolog. Gue sering liat pasien-pasiennya. Dan yang Kak Atha alami ini ... sejenis trauma mungkin? Dia inget sama masa lalu yang bikin dia bener-bener takut." Vita menyeletuk.
Merry diam mendengarkan. Lantas bertanya, "Nggak berbahaya, kan?"
"Trauma itu termasuk salah satu penyakit kejiwaan. Orang yang punya trauma itu hidupnya penuh ketakutan, keraguan, dan tekanan. Itu bisa merusak mental mereka. Emang nggak merugikan banyak orang, tapi ... mereka merugikan diri mereka sendiri."
Merry menghela napas. Menatap melas ke arah Atha yang duduk meringkuk sambil bergumam "kakak".
Lalu, ia menghubungi Kay. Kay sahabatnya Atha. Ia pantas mengetahui kondisi Atha sekarang.
Setidaknya, itu yang ia percayai.
***