His World Has Broken ... Again

1124 Words
*** Egois bukan hanya tentang keras kepala. Tapi juga keras hati. *** "Gue mau beli minum dulu, Cak," kata Atha. "Oke, abis itu ke ruang OSIS ya." Atha belok kanan, menuju ke kelasnya. Setelah mengambil sesuatu, Atha kembali berjalan. Ia berhenti di depan tong sampah. Sekali lagi ia menatap gelangnya yang kali ini sudah dibungkus paper bag kecil yang berisi kertas, gelang, dan sebotol minuman. Atha mengembuskan napasnya pelan, lantas tersenyum miris. Bodoh. Atha membuang paper bag itu. Dan tanpa lama, segera menyusul Cakra ke ruang OSIS. *** Atlan sudah mengikuti Atha. Ia melihatnya masuk kelas, lalu keluar dengan sebuah paper bag kecil. Atlan mengernyit ketika Atha justru membuang benda itu. Setelah kiranya Atha sudah jauh, Atlan mendekati tong sampah tadi. Bodo amat dengan pandangan murid SMA lain yang sedang melihatnya. Atlan mengambil kembali paper bag yang Atha buang. Mengabaikan bisikan yang mulai muncul mengenai dirinya. Ia tidak peduli. Atlan membawa paper bag itu ke taman, lalu membukanya pelan. Ada satu gelang berwarna hitam, secarik kertas yang berisi beberapa kata, dan sebotol air mineral. Sederhana. Tapi mampu membuat Atlan tersenyum. Pelan, Atlan membuka lipatan kertas tadi. Maaf dan selamat :) —Agatha. Senyum Atlan merekah sempurna. Padahal, Atha memberinya barang sepele, tapi kenapa ia sesenang ini? Kenapa saat Kay—yang notabenenya adalah pacarnya sendiri—memberinya kaos, ia biasa saja? Atlan diam. Tangannya memilin gelang dengan gelisah. Ada yang salah. Tidak pernah Atlan sepusing ini dalam hal percintaan. Apa ia harus bertanya pada Agra dan Heru? Ah, iya, benar. Ia masih punya sahabat yang siap menerima segala keluh kesahnya. *** "Gimana, Tha? Keberatan nggak?" tanya Kevin. Atha mengerjap. Ia habis melamun. "E-eh? Kenapa Vin?" Kevin menghela napas. "Mending tenangin pikiran lo dulu daripada rapat nggak fokus, Tha." "Maaf. Gue nggak ngulang lagi. Tadi lo tanya apa?" "Lo yang jadi MC pas hari terakhir. Keberatan nggak?" ulang Kevin. "Ya udah, nggak papa." Atha mengangguk. "Oke, berarti lo sama Atlan yang jadi MC," ujar Merry. "Loh?" Atha cengo. "Kenapa?" tanya Cakra. "Kok jadi sama Atlan?" tanya Atha bingung. "Disuruh pembina sih. Katanya biar lebih banyak yang nonton gitu," jawab Kevin. "Ya udah ganti, jangan gue." "Tapi pembina minta ada perwakilan OSISnya juga," sahut Radit. "Kan ada banyak, nggak cuma gue kan OSIS di sini?" Atha masih menyanggah. "Tapi kan—" "Gue nggak mau. Titik," ucap Atha final. Kevin menarik napas. Tak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti saat duet menyanyi kemarin yang berujung cekcok. "Ya udah, Dit, tolong ya?" Radit mengangguk. "Gue emang punya cita-cita jadi pembawa acara." "Oke deh, yang lain, inget tugas yang udah dibagi ya?" tanya Kevin. Yang lain setuju. Lalu rapat bubar. Atha keluar ruangan. "Atha," panggil Cakra. Atha menoleh. "Ya?" "Lo kenapa?" tanya Cakra khawatir. "Cuma laper. Mau ikut cari makan?" tawar Atha. Senyum Cakra mengembang. "Yuk." *** "Oi! Kalian gue cariin ternyata lagi mojok di perpus. Ngapain lo pada? Nggak liatin cewek cantik? Tumben amat," ujar Atlan sembari duduk di hadapan Heru dan Agra. Perpustakaan sepi. Hanya ada mereka bertiga. Mungkin efek class meeting. Padahal jika hari biasa, perpustakaan akan cukup ramai. Karena di perpustakaan tersedia buku bacaan yang bebas dibaca siapa pun. Bahkan ada banyak n****+ remaja yang digemari anak muda zaman sekarang. Heru dan Agra tampak menoleh. "Ini lagi liat cewek cantik kok," sahut Heru. "Hm." Agra ikut bicara, lalu keduanya kembali fokus ke ponsel Heru yang sedang menampilkan sebuah video. "Jangan-jangan, lo pada nonton anu ya? Anjir woy nggak ngajakin!" Atlan merapat ke Heru. Heru segera mengusir. "Minggir lo. Kita lagi nonton Lisa ini! Aye aye!" Atlan melongo. Menatap jijik ke arah Heru dan Agra. Atlan anti dengan yang seperti itu. Jika teman-temannya menganggap artis Korea itu cantik-cantik, Atlan tidak berpikir demikian. Ia lebih suka produk lokal. "Buset deh, lo fanboy?" Atlan memicing heran. "Cuma Heru ya, gue nggak ikutan," kata Agra sambil mengangkat kedua tangannya. "Iya, iya! Gue terus." Heru mencebik kesal. "Matiin nggak videonya," ancam Atlan. "Iya bawel lo!" Heru memasukkan ponselnya ke saku, lalu merengut. "Najis mulut lo." Agra menggeplak mulut Heru dengan KBBI yang berada tak jauh darinya. "Sakit g****k!" umpat Heru. "Bro, gue mau nanya," ucap Atlan. "Kalo soal cewek, gue nggak mau ya. Gue udah pusing dengerin curhatan lo." Agra memutar mata jengah. Sebenarnya bukan itu. Agra tentu saja siap mendengar cerita apapun dari Atlan, tapi tidak dalam hal ini. Karena pasti ini menyangkut Atha. Dan kalau memang benar, Agra takut amarahnya tidak terkontrol dan justru malah memukul Atlan seperti tempo hari. "Ah nggak asik lo!" "Eh Lan, Gra, dedeq emesh gue ngajak ketemuan! Gila sehhh! Ya udah, gue pergi dulu ya, babay, jangan kangen, muach." Heru kiss bye dengan Agra dan Atlan yang bergidik ngeri. "See? Tinggal lo yang di sini. Dasar nggak inget temen tuh orang." Atlan menggerutu. Agra menghela napas. "Ya udah, cepatan cerita." "Gue bingung." Atlan mengangkat kakinya ke atas meja. Tidak peduli dengan peraturan di perpustakaan, toh guru-guru sedang sibuk mengurus event. "Terus?" "Di satu sisi, gue emang seneng bisa pacaran sama Kay yang, ya lo tau sendiri gimana." Atlan menjeda. "Tapi di lain sisi, gue mau deket sama Atha juga. Atha itu polos, gue suka ngegodain dia." Rahang Agra mengeras. Sabar, sabar, sabar. "Lo nggak boleh egois. Pilih salah satu sekarang, atau kalian bakal sama-sama sakit hati. Bukan hanya lo yang bakal sakit hati, Lan. Kay dan Atha juga. Gue nggak mau ya, sepupu gue lo sakitin," ucap Agra tegas. Sial, hampir saja ia mengucap nama Atha dalam kalimat terakhirnya. Atlan menatap Agra sendu. "Terus gue harus gimana?" "Atha atau Kay. Cuma lo yang bisa jawab itu." Agra beranjak, pergi sebelum ia benar-benar memukul Atlan yang seenaknya berkata seperti itu. Setelah keluar dari perpustakaan, Agra berjalan mencari Heru. Ruang perpustakaan terletak tak jauh dari gudang penyimpanan barang-barang yang tidak terpakai—tempat di mana Agra memeluk Atha. Letaknya berada di tempat yang jarang dikunjungi siswa. Saat Agra iseng membuka pintu gudang itu, bukan Heru yang ia lihat, tapi malah.... Agra mundur perlahan. Tubuhnya gemetar. Seketika ia berkeringat dingin. Wajahnya pucat pasi. Kejadian ini terulang lagi. Hampir mirip. Dan kini, ia hanya bisa ... diam dan melihat. Ia tidak berani mendekat. Luka dulu terlalu sakit untuk di tambah lagi. Dua orang di dalam gudang itu masih belum tahu kalau Agra sudah melihat mereka. Agra menutup telinganya rapat kala ia mendengar lagi teriakan itu. Rintihan itu. Tangisan itu. Kenapa tubuhnya justru membatu di depan pintu melihat pemandangan di depannya? Otaknya menyuruhnya untuk berlari ke dalam gudang, tapi hatinya tidak. Hatinya menyuruhnya tetap diam. Di hatinya masih ada dendam. Agra memegang area dadanya. Meremasnya sekuat tenaga, sampai kaos yang dipakainya kusut. Dadanya sakit, melebihi yang kemarin. "KAKAK!" Tepat setelah teriakan nyaring itu terdengar oleh telinga Agra, detik itu juga, Agra merasa.... .... Dunianya hancur. Lagi. Untuk yang kedua kalinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD