***
Emang, ya, orang kalo dibaikin terus-terusan malah ngelunjak.
***
"Ponsel lo bunyi, tuh, dari tadi." Fika mengingatkan.
Kay melirik malas. Tidak ada niat mengangkat telepon itu. Tidak penting.
"Lo serius sama perkataan lo, Kay?" tanya Lolita serius.
"Hm. Gue serius," tegas Kay.
"Lo enggak ada maksud terselubung, 'kan? Gue udah nggak mau ribut lagi. Gue udah mau lulus, males ngeributin eskul modelling."
"Makanya, gue mau kita damai. Lo sebenernya baik, mau bantuin anggota ekskul yang belum bisa apa-apa. Itu membantu, makasih. Gue juga masih butuh bimbingan lo. Gue juga sadar, selama ini permusuhan kita enggak jelas. Cuma gara-gara jabatan ketua ekskul, kita musuhan. Jadi, mau damai?" Kay mengulurkan tangannya.
Lolita tampak menimbang. Raut wajah Kay terlihat serius. Baiklah, apa salahnya?
Kay tersenyum saat Lolita menyalami tangannya.
"Kita damai," kata Lolita.
"Jadi, kita temen sekarang?" tanya Kay memastikan.
"Iya," jawab Lolita yakin.
"Oke, mulai sekarang gue ikut lo," ucap Kay.
"Maksudnya?" Lolita mengernyit tak mengerti.
"Gue bakal nongkrong bareng lo. Layaknya temen pada umumnya."
"Terus Atha?"
Dering ponsel kembali meramaikan suasana ruangan itu.
"Angkat dulu," kata Lolita.
Kay menurut. Ia mengangkat telepon itu.
"Kak Kay, ini Vita. Kak Atha lagi di ruang OSIS ini. Dia teriak-teriak. Gue sama kak Merry bingung harus apa. Kakak ke sini, ya?"
Kay tidak menjawab. Ia tersenyum miring. Lolita langsung paham. Ia menyeringai lebar. Ia bisa membalas Atha tanpa harus turun tangan langsung. Menyenangkan.
"Kak, denger gue, kan?"
"Iya."
"Bisa ke sini, Kak?"
"Sepuluh menit lagi."
"Oke, cepet ya, Kak!"
"Hm. Atha baik-baik aja?"
"Kak Atha nggak papa kok. Kak Kay enggak usah kha—"
Kay memutuskan telepon. Lalu bergumam lirih. "Sialan, rencana gue gagal."
"Rencana lo?" tanya Lolita bingung.
"Ah, males gue nyeritain, udah gagal juga." Kay mendengus.
Lolita juga sadar bahwa Kay sama dengan Karina—cantik dan licik.
***
UKS SMA Permata ada dua lantai. Lantai bawah untuk pasien dengan luka ringan, seperti jatuh, tergores pisau, atau yang lain.
Sedangkan lantai atas untuk pasien yang butuh perawatan khusus. Seperti pasien yang punya penyakit khusus atau pasien dengan keadaan darurat.
Di lantai atas itulah, Elang, Agra, dan Atlan terbaring. Ada Heru, Cakra, Kevin, Radit, dan Bu Wita yang sedang memeriksa keadaan keduanya, dibantu beberapa petugas UKS lain—termasuk anak PMR.
"Mereka bertiga berkelahi?" tanya Bu Wita.
Lantai atas UKS itu lengang. Hanya terdengar suara denting jam.
"Kevin?" panggil bu Wita memastikan kejadian sebenarnya.
"Saya juga enggak tahu, Bu. Cuma Atha yang tahu. Tapi ... kondisinya juga buruk, walau nggak ada luka di tubuhnya, Atha sepertinya punya trauma. Kejadian ini mungkin membuat traumanya bertambah," lirih Kevin.
"Apa pun itu, jangan sampai kejadian ini bocor. Bisa rusak semua acara," ucap Bu Wita serius.
Semuanya mengangguk.
"Kondisi mereka tidak terlalu baik. Jika selama sejam tidak ada perubahan, terpaksa kami harus membawa mereka ke rumah sakit dan menghubungi orang tua masing-masing."
Kevin meraup wajahnya. Semuanya jadi rumit.
"Kalian bisa keluar. Biar mereka istirahat, nanti Ibu kabari satu jam lagi," kata bu Wita akhirnya.
"Bu, saya boleh di sini, 'kan?" tanya Heru meminta izin.
"Mereka—"
"Mereka sahabat saya, Bu," kata Heru tegas.
"Asal jangan menganggu." Heru mengangguk.
Sisanya keluar. Kevin, Cakra, dan Radit harus bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
"Udah jam satu. Dit, tolong acara selanjutnya handle, ya. Minta tolong ke anggota kelas sepuluh juga nggak papa. Cakra, lo ke ruang OSIS. Liat keadaan Atha. Gue laporan tentang event dulu ke kepsek, abis itu mau patroli, keliling sekolah sama seksi keamanan. Tolong kerja samanya, ya."
"Siap Bos!" Radit menghormat.
"Semangat dong, Vin! Lo udah ngelakuin yang terbaik. Semoga masalahnya nggak sebesar yang kita kira." Cakra menepuk pundak Kevin.
Kevin mengangguk, tersenyum. "Gue ke ruang kepsek dulu."
***
"Udah lima belas menit ini, Vit. Untung Atha udah nggak teriak lagi. Tapi dia ngelamun terus," lirih Merry.
"Kak Kay enggak bakal dateng," ujar Vita akhirnya.
"Maksud lo gimana?" tanya Merry tak mengerti.
"Setelah Kak Kay mutusin sepihak teleponnya, sebenernya gue udah nebak bahwa dia enggak bakal dateng," jelas Vita.
"'Kan Kay sahabatnya Atha. Pasti datang lah, ada urusan mungkin."
"Kita enggak bawa Kak Atha ke UKS aja? Kasian, loh, dari tadi kayak gitu," usul Vita.
"Jangan ambil keputusan sendiri. Kita butuh Kay, mungkin dia tau tentang traumanya Atha," ucap Merry.
"Merry, gimana Atha?" tanya Cakra yang baru saja masuk ke ruang OSIS.
"Tadi teriak-teriak, sekarang diem terus. Gimana ini Cak?"
"Bawa UKS aja," usul Cakra.
"Tapi gue lagi nunggu Kay juga sih, barangkali dia tau tentang traumanya Atha," kata Merry.
"Kay? Ya udah, gue cari dia dulu. Lo sini aja, ada apa-apa, langsung telepon, ya." Cakra segera berlari keluar.
***
Cakra menyusuri lorong, di mana Kay? Di kelas tidak ada, di kantin juga nihil.
"Eh, lo liat Kay?" tanya Cakra pada salah satu siswi.
"Oh dia di depan kelasnya kak Lolita tadi."
"Makasih ya."
Meski heran, Cakra menuju ke kelas Lolita. Kening Cakra terlipat. Kay sedang tertawa dengan Lolita?
"Kay!" seru Cakra. Ia mendekat. Kay nampak terkejut.
"Cakra? Ngapain?" tanya Kay heran.
"Lo juga ngapain di sini?"
"Lagi nongkrong. Kenalin Cak, ini temen baru gue, Lolita. Lol, ini mantan gue, Cakra," kata Kay riang.
"Udah tau kali!" ujar Lolita malas.
Kay terkekeh. "Hehe, iya, iya."
"Kay?" Cakra tak paham. Kay kenapa begini? Dia sakit?
"Hm? Kenapa Cak?"
"Gue enggak tau apa yang terjadi, tapi Atha butuh lo." Cakra menarik tangan Kay.
Kay langsung menahan tangannya. Melepasnya keras.
"Tapi gue enggak butuh dia," ketus Kay.
Cakra berbalik. Kay benar-benar sakit!
"Lo sakit? Ayo ke UKS," ajak Cakra.
"Gue sehat," sahut Kay.
"Kenapa lo—"
"Kenapa? Lo khawatir sama Atha? Gue enggak tau apa-apa tentang traumanya." Kay tersenyum. "Eh, mungkin gue tau. Tapi gue nggak bakal kasih tau."
Cakra terdiam.
"Yuk ah, beli makanan, laper," ajak Kay pada teman barunya. Lolita, Fika, dan antek-anteknya.
Cakra menatap Kay yang menjauh. Ada apa ini?
***
Flashback on.
"Radi, ayo main," rengek gadis kecil itu, Diska.
"Diska, Radi, 'kan lagi sakit. Nih, kamu enggak liat di tangan Radi ada selangngnya?" Si lelaki kecil, Radi, menunjukkan tangannya yang terpasang beberapa alat.
"Ini sakit pasti, 'kan? Soalnya Diska juga ikut sakit tangannya," kata Diska.
"Iya, makanya kamu jangan minta main dulu, ya." Radi menepuk kepala Diska.
"Tapi Diska mau main sama Radi!" Diska terus merengek. Ia menangis.
Radi tak tega melihat Diska menangis, lalu ia menyetujui permintaan gadis lucu itu. "Ya udah, ayo main."
Radi pelan-pelan melepas alat yang menempel di tubuhnya. Padahal, kondisinya masih kurang sehat, masih lemas. Tapi demi Diska, apa pun akan ia lakukan.
Flashback off.
***
Atha memejamkan matanya. Sial, kenangan itu kembali teringat. Ia semakin dirundung rasa bersalah.
"Radi ...." Atha mulai bergumam.
Merry dan Vita saling pandang. Siapa Radi?
"Gue mau ketemu Radi, Mer," kata Atha.
"E-eh? Radi? Siapa?" tanya Merry kelabakan.
"Kembaran gue," sahut Atha cepat.
Merry dan Vita terkejut.
"Kak Atha punya kembaran?" pekik Vita.
"Serius, Tha?"
Tanpa menghiraukan Merry dan Vita yang terkejut, Atha berdiri, lalu berjalan keluar.
Merry dan Vita segera mengikuti Atha, dan semakin terkejut ketika Atha masuk ke UKS, menuju lantai dua.
***