***
Ini hati bukan mainan, jadi tolong jangan seenaknya.
***
"Cakra, gue bantu apa?" tanya Atha pada Cakra yang tengah break.
"Eh? Ngapain lo di sini? Lo di UKS aja sana!" usir Cakra.
"Hih jahat. Kan kasian lo kerja sendiri terus dari kemarin."
"Hm ya udah lo duduk aja di sini. Itu udah bantu gue," jawab Cakra.
"Kok bisa?" Kening Atha mengerut.
Cakra menatap Atha intens. Mata Atha indah, bulu matanya lentik. Apalagi sekarang mata itu sedang terkena pantulan sinar matahari. Menjadikan pupil mata itu berwarna cokelat terang.
"Karena keberadaan lo udah cukup buat jadi penyemangat gue," lirih Cakra, nyaris berbisik namun Atha mendengarnya.
Atha merasakan pipinya memanas. Ia membuang wajah, kemana pun, asal jangan menghadap Cakra.
Saat matanya menatap ke kanan, ia melihatnya. Seseorang di bawah pohon rindang itu sedang memperhatikannya.
Atha menunduk. Hari ini mereka sama sekali belum bertegur sapa. Tidak apa-apa. Lagi pula untuk apa dia menyapanya kan? Hahaha.
Tanpa sadar helaan napas Atha terdengar ke telinga Cakra. Cakra mencoba mencari apa yang membuat Atha menghela napas.
Matanya sibuk mencari. Dan tiba di satu titik. Oh, jadi itu ... Cakra tersenyum miris. Beginikah rasanya duduk bersama dengan seseorang yang hatinya sedang bersama orang lain?
Cakra melihat Atlan mengambil ponsel di saku, lalu mengetik sesuatu di sana. Tak lama setelah itu, ponselnya sendiri berbunyi. Pesan masuk.
081843xxxxxx
Jaga Atha.
Cakra mengernyit tak suka. Dari kata-katanya seperti menyiratkan bahwa ia adalah suruhannya. Ia mendengus. Tanpa disuruh pun ia akan melakukannya. Memangnya siapa Atlan sampai berani memerintahnya seenaknya.
Eh tunggu. Jika Atlan yang baru saja mengiriminya pesan, berarti pesan tadi saat di UKS....
081843xxxxxx
Jangan kasih tau Atha. Bukannya itu malah menguntungkan buat lo?
Cakra menyeringai. Benar juga. Jika ia dapat kesempatan, kenapa harus ia lewatkan?
"Tha, jadi MC yuk, nanti jam 1," ajak Cakra. Atha mendongak, tersenyum, lantas mengangguk.
Cakra mengacak rambut Atha, sengaja.
"Ayo," kata Cakra langsung menarik tangan Atha. Sengaja ia memilih jalan yang melewati Atlan dan Kay.
"Kita ngadem di ruang OSIS, kayaknya sekarang lagi panas banget, Tha," ucap Cakra saat tepat di hadapan Atlan dan Kay yang duduk berdua. Ia menyindir Atlan.
Malah Kay yang nyinyir.
"Gue nggak panas ya, enak aja! Gue udah pacaran sama Atlan! Gue udah move on dari lo, wlee." Kay menjulurkan lidahnya. Cakra tertawa kecil.
"Kay, duluan," kata Atha sopan.
"Oke!" Kay mengangkat jempol, kemudian menoleh pada pacar barunya itu. "Aku udah move on kok dari Cakra, beneran!"
"Hm." Atlan mengacak singkat rambut halus Kay. Kay tersenyum malu.
Harusnya Kay saja sudah cukup untuknya. Dia cantik, menggemaskan, lucu. Kurang apa lagi?
Atlan diam. Jelas tadi Cakra menyindirnya, bukan Kay. Argh, kenapa ia begini?
***
Pukul tiga tadi, murid SMA Permata sudah diperbolehkan pulang. Mereka diminta untuk menyiapkan bazar dan hal lain menyangkut acara besok. Besok SMA Permata dibuka untuk umum.
Setelah membersihkan lapangan, anak OSIS dibolehkan untuk pulang.
"Tha, ayo pulang, gue anter," kata Cakra.
"Nggak usah, gue bisa sendiri," tolak Atha.
"Lo pasti capek—"
"Ayo Tha." Sebuah suara mengagetkan Atha dan Cakra. Di depannya ada Agra yang sedang duduk di jok motornya.
Mata Atha berbinar. Ini kesempatan langka! Ia mengangguk senang.
"Cakra, gue ikut Agra aja. Makasih, duluan."
Cakra mengangguk lemah. Setelah Atlan, ada Agra? Napasnya keluar perlahan. Berat.
***
"Gra, makasih," ucap Atha sebelum masuk ke kamarnya sendiri.
"Hm." Agra menjawab Atha.
"Eh tumben kalian pulang bareng," seru Ani riang.
Atha langsung menyalami tangan ibunya itu. "Iya, tadi—"
"Kebetulan bareng," jawab Agra datar. Ia berjalan menuju kamarnya.
Atha melihat Ani tersenyum sendu. "Bu, Radi cuma lagi kecapekan."
"Iya, Ibu tahu. Ya sudah, Ibu ke dapur lagi, ya." Atha mengangguk.
Atha masuk ke kamarnya, untuk berganti pakaian. Tak lama, ia kembali keluar kamar, menuju kamar kembarannya.
"Agra," panggil Atha.
Agra menghentikan permainan gitarnya. Menoleh ke arah Atha. "Apa?"
"Lo nggak pernah main gitar buat gue," sungut Atha.
Kening Agra mengerut. "Buat apa?"
"Ya gue juga pengin kayak orang-orang."
"Nggak jelas," hardik Agra.
Atha merengut. Agra kembali dingin. "Gra, lo nggak boleh bersikap kayak tadi ke ibu."
Agra kembali memetik gitarnya seolah tak mendengar ucapan Atha.
"Sampe kapan lo mau nerima kenyataan, Gra? Kalo kita cuma numpang di rumahnya Kay?"
Tepat sasaran. Pertanyaan Atha menusuk tepat di hati Agra. Kenyataan itu ingin sekali ia lupakan.
Ia mentap gitar hitamnya, kemudian kunci motornya, lalu pandangannya menelisik ruang kamarnya.
Semua itu bukan miliknya. Semua itu hanya sekedar 'pinjaman'. Walaupun mama Kay mengatakan bahwa ia ikhlas memberinya, namun Atha dan Agra tahu, ada maksud terselubung di dalamnya.
Karena seorang pengacara seperti Karin, memiliki otak yang selalu memikirkan untung dan rugi. Timbal balik.
Agra menggeram. Kenapa takdir begitu tega membiarkannya seperti ini? Kenapa ibunya harus bekerja sebagai pembantu di sini? Kenapa kemalangan selalu membuntuti hidupnya?
Agra gengsi mengakui bahwa Ani adalah ibunya. Rasa itu muncul saat ia masuk ke jenjang SMP. Banyak teman yang mengejeknya karena ibunya adalah seorang pembantu. Agra malu.
Jadi mulai saat itu hingga sekarang, mama Kay yang mengambil rapor Kay, Agra, dan Atha sekaligus.
Agra pernah menjadi korban bully di SMP. Ia tak siap jika di masa-masa indahnya di SMA akan diisi dengan kejadian seperti itu. Ia tidak siap. Ia tidak mau. Ia ingin seperti teman-temannya yang lain. Agra memiliki ego, harga diri, dan gengsi yang tinggi, ia akui itu.
Agra sering mengeluh kepada Tuhan, kenapa ia diperlakukan tidak adil seperti ini. Tak jarang, ia menyalahkan Tuhan atas semuanya.
Seakan tahu apa yang dipikirkan kembarannya, Atha menepuk pelan pundak Agra. "Jangan salahin Allah, Agra, nggak baik. Allah udah punya rencana sendiri bagi hamba-Nya."
Keterdiaman Agra membuat Atha menghela napas. Ia tak sengaja memegang punggung Agra.
Sontak punggungnya sendiri bereaksi. "Ahhh."
Agra menoleh saat Atha merintih. Agra menyadarinya. Tadi setelah Atha menyenggol punggungnya, Atha langsung merintih.
Agra menoleh. "Punggung lo...."
"Gue nggak apa-apa, Gra." Atha mencoba tersenyum walau rasa sakit kembali menghujam punggungnya.
"Iya, lo nggak papa," jawab Agra tenang. Agra sengaja melepas kaosnya. Agar Atha melihat bekas itu.
"Gu-gue ke kamar du-dulu," ucap Atha terburu.
Dengan cepat, Atha keluar dari kamarnya. Agra membaringkan tubuhnya ke kasur. Ia memang mengusir Atha tadi. Ia ingin sendirian.
***
Atlan
Hai.
Atha mengernyit. Mau apa lagi?
Iya.
Kenapa tadi nggak bilang kalo lo sakit?
Nggak papa.
Padahal kita udah latihan.
Kay juga udah.
Tapi rasanya beda. Gue maunya duet sama lo.
Sama aja. Kay pacar lo, pasti lebih asyik.
Nggak gitu maksudnya.
Atha meletakkan ponselnya. Ia segera menghapus histori chatnya dengan Atlan karena Kay sudah mengetuk pintu.
"Tha, gue masuk ya?" seru Kay.
"Iya."
"Gimana tadi penampilan gue sama Atlan?" tanya Kay pada Atha yang duduk. Atha menenguk saliva.
"Keren. Cocok kok," puji Atha.
Kay tersenyum malu. "Tadi itu romantis banget. Makasih ya, Tha."
Atha tersenyum tipis. "Sama-sama."
"Oh iya, lo jangan sampe nikung gue ya, Tha. Awas aja kalo lo sampe ngerebut Atlan dari gue," kekeh Kay.
Atha menegang di tempatnya. Kay....
"Bercanda Tha, bawa hati banget. Tapi lo nggak ada niatan nikung gue kan?" tanya Kay serius.
Atha diam.
"Tha?"
"Iya, enggak. Gue nggak bakal nikung lo."
Kay tersenyum. "Gue tau dan gue percaya ke lo. Kalo lo sampe nikung, lo bakal tau akibatnya," kata Kay sambil memeluk Atha.
Kay tahu apa yang terjadi sebenarnya. Ia hanya pura-pura tidak tahu. Lagipula, Atha memang selalu dan harus berada di pihaknya. Apa yang ia inginkan harus ia dapatkan.
Dan Atha sadar. Kay sedang mengancamnya. Secara lembut dan halus. Karena permainan Kay selalu tenang dan hati-hati. Persis seperti Karin, mamanya yang seorang pengacara. Rupanya Kay lebih berbakat menjadi pengacara dibanding menjadi model.
***