Erwan, dan Vania masih menikmati makan siang.
"Habis makan kita sholat dzuhur bareng ya Bang."
Erwan hanya menjawab dengan menganggukkan kepala, karena mulutnya penuh makanan.
"Enak, Bang?".
Erwan mengangkat satu jempol, tanda ia memuji masakan Vania.
Vania tersenyum bahagia, karena mendapat pujian dari Erwan.
Setelah selesai makan.
Dengan dibantu Erwan, Vania membereskan bekas makan mereka.
Saat Vania mencuci piring, Erwan tidak bisa menahan keinginan untuk memeluk Vania dari belakang.
Ia sering melihat adegan seperti itu difilm-film yang ditontonnya.
"Nia." Erwan melingkarkan tangan di perut Vania.
Bibirnya mengecup leher Vania lembut.
"Ih, Abang. Nia sedang cuci piring, Bang!" protes Vania.
"Abang cuma ingin peluk kamu kok, sama ingin mengelus dadanya Nia, dan perut juga." Satu tangan Erwan menyentuh dadanya Vania, yang satu lagi mengelus perut Vania.
"Abang!" Nia menggerakkan bahu, karena merasa merinding, saat Erwan mengecup ringan lehernya.
Vania selesai mencuci piring, Erwan memutar tubuh Vania, sehingga Vania berhadapan dengannya.
Kemudian Erwan mengangkat dagu Vania, agar wajah Vania mendongak ke arahnya.
Bibir Erwan mencium bibir Vania.
Tangan Erwan menuntun tangan Vania agar melingkari lehernya.
Erwan meraih pinggang Vania, diangkat Vania, dan didudukan di atas meja dapur.
"Bang, kalau sering ciuman, nanti anak kita kembar berapa ya, Bang?" Tanya Vania dengan polos.
Erwan tersenyum mendengar pertanyaan Vania.
"Sayang, meskipun kita ciuman sejuta kali, anak kita di dalam perutmu tidak akan sampai sejuta kok."
"Oh begitu ya."
"Iya."
Ciuman Erwan turun ke leher Vania.
"Abang sholat dzuhur dulu, baru ciuman lagi," kata Vania lirih, membuat Erwan menghentikan ciuman di leher Vania.
"Oh iya. Ayo kita sholat bareng!" Erwan menurunkan Vania dari atas meja.
"Tapi Nia mau mandi sebentar ya, Bang."
"Iya. Abang juga mau mandi dulu," sahut Erwan.
*
Selesai salat dzuhur di kamar Vania.
"Boleh pinjam paha Abang nggak?" Tanya Vania setelah melepas mukena.
"Buat apa?"
"Biasanya, habis sholat Nia suka tiduran di atas pangkuan bapak," jawab Vania.
"Nia ingin tidur di pangkuan Abang?".
"Abang sudah janji, mau menggantikan pangkuan bapak, dengan pangkuan Abang."
"Sini!" Erwan menarik lengan Vania lembut, Vania mendekat, dan duduk miring di pangkuan Erwan.
"Tidurlah." Erwan mengelus punggung Vania pelan.
"Eh Nia lupa."
"Lupa apa?"
"Tadi waktu di dapur ciuman kita belum selesai Abang masih ingin cium Nia lagi?"
'Ya Allah ....
Istriku ini benar-benar lugu, polos.
Tidak tega rasanya kalau dia terus-terusan aku modusin, aku bohongin, tapi ....'
"Bang! Kok malah melamun, kalau Abang nggak ingin cium Nia lagi, Nia mau tidur." Vania merebahkan kepala di bahu Erwan.
Erwan mengangkat, dan merebahkan Vania di atas ranjang.
"Nia mau tidur dipangkuan Abang!" Nia protes karena Erwan memindahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
"Tidurnya dipeluk Abang saja ya, Abang juga mengantuk, Sayang." Erwan meletakan kepala Vania di atas lengannya, setelah ia ikut berbaring di sisi Vania, tanpa melepas baju koko, dan sarung.
"Lepas dulu baju Abang.".
"Tidak usah."
"Masa tidur pakai baju koko sih, kan buat sholat, Bang."
"Oh iya, sebentar ya." Erwan bangun dari rebah untuk melepaskan baju koko, dan sarung.
Erwan hanya menyisakan celana pendek di tubuhnya.
Erwan kembali berbaring seperti tadi.
"Dadanya, dan perut Abang berotot, sama seperti Kang Timo yang kerja di sawah bapak," kata Vania sambil tertawa, saat jemarinya menyentuh dadanya, dan perut Erwan.
'Ya ampun, Nia. Masa cowok seganteng aku disamakan dengan Kang Timo, yang kulitnya hitam legam, karena kerja di sawah sih!'
Tangan Erwan menahan tangan Vania yang menyentuh dadanya, dan juga perutnya.
'Mending kalau menyentuh bikin berdebar, ini bikin geli,' batin Erwan.
"Katanya tadi mengantuk."
"Iya."
"Ayo tidur!"
"Abang benar nggak mau cium Nia lagi sebelum tidur?"
"Nia ingin Abang cium?".
"Iya." Vania menganggukkan kepala, membuat Erwan tertegun sesaat.
"Abang boleh cium dadanya Nia juga nggak?"
Vania diam sesaat, kemudian kepalanya mengangguk lagi.
"Baju Nia kita lepas dulu ya." Erwan bersorak gembira di dalam hati.
"Iya." Vania membiarkan Erwan melepas baju, dan bra, menyisakan celana pendek tetap melekat di tubuh Vania.
Bibir Erwan mencium lembut bibir Vania, lalu ciumannya turun ke bahu, terus lanjut ke gunung kembar Vania.
"Abang ...."
"Ya, Sayang."
"Nia mengantuk, Bang."
Erwan melepaskan ciuman, ditatap wajah Vania, mata Vania sudah terpejam. Erwan mendekap tubuh Vania lembut.
"Tidurlah, Sayang, Abang juga mengantuk." Erwan merapatkan tubuh Vania, agar menempel di tubuhnya.
Tidak berapa lama, kantuk membuat keduanya tertidur dengan lelap.
*
Erwan terbangun. Saat membuka mata, ia mendapati Vania tidak ada lagi di dalam dekapannya.
"Nia!"
Erwan turun dari atas tempat tidur. Ia mencari Vania di kamar mandi. Kemudian ke luar kamar, mencari Vania di penjuru lantai atas, tapi tidak menemukan Nia dimana-mana.
Erwan menuruni anak tangga, ia mencari Vania dilantai bawah, dan akhirnya menemukan Vania tengah ada di dalam kolam renang.
Mata Erwan terbelalak, saat melihat Vania mengenakan sarung di dalam kolam renang, seakan tengah mandi di sungai saja.
Erwan segera menceburkan diri ke dalam kolam renang, setelah melepaskan celana pendek, dan hanya menyisakan celana dalam saja.
"Abang!" seru Vania riang.
"Nia kok tidak membangunkan Abang?" Erwan berenang mendekati Vania.
"Abang tidurnya lelap sekali, Nia nggak tega membangunkan Abang!"
"Nia kenapa berenang pakai sarung?" Tanya Erwan penasaran..
"Nia kalau mandi di sungai ya pakai sarung begini," jawab Vania.
"Ini kolam renang, Nia, bukan sungai."
"Iya Nia tahu, tapi Nia bingung mau berenang pakai apa. Ya sudah pakai sarung saja, seperti mandi di sungai."
"Ya sudah sekarang lepas saja sarungnya!" Tanpa diduga oleh Vania sebelumnya, Erwan menyelam, dan menarik sarung yang menutupi tubuh Vania.
Erwan menggulung sarung itu, dan melemparkan ke tepi kolam.
"Abang! Aku jadi telanjang!" protes Vania, yang kini hanya tinggal memakai celana dalam saja, persis seperti saat mereka tidur tadi.
Erwan memepet tubuh Vania ke tepi kolam, disandarkan punggung Vania ke dinding kolam.
Dicium bibir Vania, dan disentuh dadanya Vania.
"Nia ...." bibir Erwan memberi tanda merah di dadanya Vania.
"Abang. Dingin, Bang."
Erwan membawa Vania naik dari kolam renang.
Dibopong Vania, dan didudukan di atas kursi panjang, di bawah payung besar.
Erwan berlutut di samping Vania, dengan bibir sibuk merayu bagian dadanya Vania, sementara tangannya mengelus perut Vania lembut.
"Geli, Bang!"
"Eh, geli?"
"Iya, Bang."
Bibir Erwan mencium bibir Vania.
"I love you, Vania," bisik Erwan di telinga Vania.
"Kata ibu Nia masih kecil, belum boleh i love you sama cowok, Bang."
Erwan tersenyum.
"Karena Abang sudah jadi suami Nia, Nia harus i love you juga sama Abang."
"Oh iya, ya. Nia lupa." Vania tertawa pelan.
Suara klakson mobil dari depan mengagetkan mereka berdua.
"Ayah Bunda!" kata Erwan panik.
"Aduh bagaimana, Bang?"
"Ayo cepat kita ke kamar!" Erwan meraih sarung Vania yang tadi dilempar. Digulung sarung basah itu di dalam celana pendeknya, yang tadi ia lepaskan sebelum masuk ke dalam kolam renang.
Mereka berdua berlarian naik tangga dengan, hanya memakai celana dalam saja.
Untungnya tubuh mereka sudah mulai kering, karena sudah cukup lama ke luar dari dalam kolam renang.
Vania berlari dengan kedua tangan menyilang di depan dadanya, untuk menahan buah dadanya agar tidak bergoyang saat berlari.
Sedang Erwan berlari sambil memegangi sarung Vania, dan celana pendeknya.
Erwan masih sempat tersenyum, melihat keadaan mereka berdua.
'Mungkin begini barangkali, pasangan m***m yang terkena razia di penginapan-penginapan,' batin Erwan.
*