PART. 1 VANIA AULIA
Vania melompat turun, dari boncengan motor yang dikendarai ibunya, yang biasa dipanggil orang di kampungnya dengan sebutan Bu Tia.
Setiawati, itulah nama beliau, Bu Tia masih terlihat cantik dan energik diusia 60 tahun. Beliau hanya memiliki seorang anak perempuan, yaitu Vania Aulia. Usia Vania kini 19 tahun. Namun karena memiliki kekurangan, Vania baru lulus SMP. Vania masuk TK diusia 7 tahun, lulus SD saat usianya 16 tahun, karena pernah tinggal kelas.
Vania adalah anugerah yang tidak terduga, karena saat Bu Tia mengandung Vania, usia Beliau sudah 40 tahun.
Vania adalah anugerah terindah dalam hidup beliau. Bu Tia hamil saat usia pernikahan sudah menginjak 20 tahun.
Vania yang tubuhnya mungil berlari masuk ke dalam rumah, seraya mengacungkan map yang ada di tangannya, sembari berteriak memanggil bapaknya.
Rambut kuncir kudanya bergoyang seirama dengan langkah kakinya.
"Bapaaaakkk!" Teriaknya dengan suara riang.
Vania masuk ke dalam ruang tamu, lalu duduk di atas pangkuan bapaknya, tanpa melihat kalau sedang ada tamu yang duduk di hadapan bapaknya.
"Nia lulus, Pak, Nia lulus!" serunya manja, seraya membuka map yang ada di atas pangkuannya.
Pak Hari tersenyum melihat nilai kelulusan putri bungsunya. Nilai pas-pasan sejujurnya, tapi itu sudah membuatnya cukup bahagia, bila mengingat seperti apa putri tunggalnya itu.
Hariyawan Rivaldi seorang pria berusia 65 tahun.
Beliau seorang petani sukses yang disegani karena kebijaksanaannya.
Kewibawaan yang ada pada diri beliau bukan karena beliau memiliki banyak harta, atau berpendidikan tinggi.
Tapi, karena pembawaan beliau yang sangat supel, dan suka menolong.
Berkata-katapun, beliau selalu sopan, meski tak jarang bisa bercanda juga.
Kepada yang lebih tua, beliau sangat hormat, bisa merangkul yang seumuran, dan bisa mengayomi kepada yang lebih muda.
Sehingga rasa segan, dan hormat orang lain pada beliau hadir dengan sendirinya.
Pak Hari mengusap lembut kepala Vania.
"Bagus, Nia memang pintar seperti teman-teman Nia,"puji Pak Hari untuk menyenangkan hati putrinya.
"Enghh ... kalau Nia seperti teman Nia, berarti Nia boleh sekolah di kota juga kan, Pak? Teman Nia banyak yang melanjutkan sekolah ke kota, Pak," rayu Vania, masih dengan suara manja.
"Itu kita bicarakan nanti ya, Sayang. Sekarang Bapak sedang ada tamu," jawab Pak Hari, sambil menunjuk tiga orang yang duduk ke kursi di seberangnya.
"Tamu?" Vania baru menyadari ada orang lain di ruang tamu rumah mereka.
Vania segera berdiri dari pangkuan bapaknya, lalu mengulurkan tangan kepada ketiga tamu bapaknya.
"Assalamualaikum, Om ... saya Vania, putri tunggal Bapak, tapi itu kalau Ibu tidak hamil lagi hehehe." Vania menyeringai lucu, memperlihatkan gigi kelincinya yang menggemaskan.
"Nia," sergah Ibunya yang baru masuk.
"Waalaikum salam, nama Om, Hariyanto Sofyan, panggil saja Om Yanto, kalau kamu panggil Om Hari nanti sama dengan nama Bapakmu," sahut tamu Pak Hari.
"Iih Om suka bercanda juga ternyata, hehehe ... Assalamuallaikum Tante," Vania mengulurkan tangan, kepada tamu wanita yang sepertinya usianya tidak jauh beda dari Yanto.
"Waalaikum salam Vania, kenalkan nama Tante, Elma Priatna, harusnya kamu jangan panggil om, dan tante, tapi mas, dan mbak, karena Kakekmu dengan Kakek saya sahabat dekat," sahut Elma.
"Ooooh begitu ya. Iya deh, Nia panggilnya Mas Yanto, dan Mbak Elma, ehmmm ini siapa?" Tanya Vania polos, ia menunjuk tamu terakhir yang belum disapa.
Seorang lelaki yang wajahnya sama ganteng, dan gagahnya dengan Yanto, tapi dia jauh lebih muda.
"Hallo, Tante Nia, namamu Tante Nia kan? Kenalkan, saya Erwanto, anak Beliau berdua," lelaki itu mengulurkan tangannya pada Vania.
"Hallo!? Assalamuallaikum gitu! Kok hallo, seenaknya lagi manggil Tante, aku baru 19 tahun!"
Wajah Vania langsung cemberut. '
"Loh, kamu kan memanggil orang tuaku, mas, dan mbak, itu artinya kamu adik mereka, jadi tidak salahkan kalau aku memanggil kamu Tante?" Erwan menaik turunkan kedua alisnya, untuk menggoda Vania.
"Enggak mau dipanggil Tante! Bapak, Nia nggak mau dipanggil Tante!" Vania mengadu kepada bapaknya, dan kembali tubuh mungilnya didudukan di pangkuan kedua paha bapaknya yang besar.
"Erwan!" tegur Elma dengan mata melotot ke arah Erwan.
"Maaf ya, Pak Hari, putra kami ini memang suka sekali bercanda," kata Yanto, merasa tidak enak, karena putranya, Nia jadi ngambek.
"Tidak apa-apa, ini cuma Nia nya saja yang kolokan," sahut Bu Tia yang sudah biasa dengan kemanjaan putrinya itu.
"Enghh ... Ibu, Nia tidak kolokan, dia tuh yang songong!" Nia menunjuk Erwan dengan wajah cemberut. Meski usianya sudah sembilan belas tahun, tapi wajah, dan penampilan Vania sangat imut. Benar masih cocok sebagai siswi SMP.
"Nia jaga bicaramu, Sayang," tegur Ibunya. Wajah Vania semakin cemberut saja, karena diomeli ibunya, padahal tidak merasa salah.
"Maaf ya, Elma, maklum anak tunggal, jadi manja," kata Bu Tia kepada Elma.
Elma tersenyum, maklum dengan tingkah Vania yang manja. Elma sangat tahu betapa sabar Bu Tia, dan Pak Hari menunggu untuk bisa memiliki buah hati.
"Tidak apa-apa, Bu. Nia katanya mau sekolah di kota ya?" Tanya Elma kepada Nia. Nia kemudian turun dari pangkuan bapaknya, lalu ia duduk di antara kedua orang tuanya.
"Iya." Vania menganggukan kepala, wajah cemberutnya langsung kembali berubah ceria.
"Boleh ya, Pak, boleh ya, Bu. Nia boleh kan ya sekolah di kota?" harap Nia, sambil nendongakan wajahnya ke arah kedua orang tuanya.
"Kita bicarakan nanti ya, Sayang. Sekarang ajak Bang Erwan jalan-jalan di kebun buah, di belakang sana, Ibu sama Bapak ada yang mau dibicarakan dengan orang tua Bang Erwan," kata Pak Hari.
"Iih, tidak mau Pak!" Nia mencibir ke arah Erwan, yang menggoda dengan menaik turunkan alisnya.
"Tidak boleh begitu, Sayang, Bang Erwan tamu kita, jadi harus diperlakukan dengan baik," kata Pak Hari membujuk putrinya.
"Heenghh ... ya sudah, eh ikutin aku ke belakang," Vania bangkit dari duduk, ia menatap Erwan dengan wajah cemberut.
"Siap, Tante!" sahut Erwan seraya berdiri dari duduknya. Wajah Nia semakin cemberut saja dipanggil tante.
'kalau tidak ada orang mungkin sudah kena sosor bibirku mulut manyunmu yang menggemaskan itu, Vania' batin Erwan, sambil menatap gemas ke arah Vania.
Setelah Vania, dan Erwan ke luar dari ruang tamu rumah Vania.
"Jadi kalian sudah yakin untuk menjodohkan Erwan, dan Vania?" Tanya Pak Hari.
"Iya, Pak Hari. Dulu kakek saya ingin menjodohkan Bapak dengan tante saya, tapi tidak berjodoh, karena tante saya meninggal setelah sakit cukup lama. Kemudian kakek saya, dan orang tua Bapak ingin menjodohkan saya dengan almarhum Mas Heri, adik bungsu Pak Hari, tapi tidak jodoh juga. Karena kami memiliki pilihan kami sendiri."
Elma menarik nafas sebentar.
"Terus terang, itu jadi beban buat bapak saya, karena tidak bisa meluluskan keinginan kakek, dan orang tua Pak Hari. Karena itulah, sebelum beliau meninggal beliau berpesan, kalau bisa lanjutkan perjodohan, di antara kedua keluarga yang selama ini selalu gagal dilakukan." Elma panjang lebar menjelaskan.
"Tapi, mereka masih terlalu muda Elma, lagi pula kita juga harus menanyakan hal ini kepada mereka berdua. Dan satu hal lagi, kamu bisa melihat sendiri, seperti apa putri kami," sahut Bu Tia.
"Aku tahu, Bu, kita tidak perlu menikahkan mereka sekarang, tapi setidaknya mereka harus tahu, kalau mereka sudah dijodohkan. Kami juga belum memberitahu Erwan, karena takut Pak Hari, dan Bu Tia tidak setuju dengan hal ini," jawab Elma.
"Hhhh ... aku juga merasa tidak tenang, kalau belum meluluskan keinginan almarhum bapakku. Aku tidak keberatan perjodohan ini dilakukan, asal Vania juga tidak menolak. ya kan, Bu?" Tanya Pak Hari kepada istrinya.
"Iya Pak, aku juga begitu. Karena kami juga butuh orang untuk menjaga putri kami. Kamu tahu sendiri, Elma. Kami di kampung ini tidak lagi memiliki keluarga. Yang tua sudah pada meninggal, yang muda merantau entah ke mana," ucap Bu Tia.
Pak Hari menatap istrinya.
"Kami harus mempersiapkan Vania, agar tidak lagi bergantung pada kami. Karena kematian itu pasti datangnya, meski tak tahu kapan tiba waktunya." Pak Hari menimpali ucapan istrinya.
"Kami siap merawat, dan mendidik Vania, jika nanti kami diijinkan membawanya ke Jakarta," tutur Yanto.
"Terima kasih. Dengan begitu kami tidak perlu cemas, kalau dia akan sendirian saat kami berpulang. Kami percaya pada kalian. Hubungan kita sudah seperti keluarga dari jaman nenek moyang kita."
"Terima kasih atas kepercayaan tang diberikan kepada kami. Kalau begitu, malam ini juga kami akan bicara pada Erwan soal ini," kata Yanto.
"Kami akan bicara pada Vania, setelah mendengar jawaban Erwan dulu, kalau Erwan menolak, kami tidak akan bicara pada Vania. Aku harap, kita tidak memaksa mereka untuk menerima perjodohan ini " Pak Hari menatap Yanto, dan Elma.
"Tentu, Pak," angguk Yanto setuju.
*