PART. 9 TEMAN BARU

1205 Words
Vania sudah rapi dengan seragam sekolah, Ia ke luar dari kamar berbarengan dengan Erwan yang juga baru ke luar dari kamar. "Abang kuliah hari ini?" Tanya Vania. "Enggak. Abang diminta bunda buat nganterin Nia ke sekolah," jawab Erwan. "Oh ...." Vania ingin melangkah lebih dulu, tapi Erwan menahan tangannya. "Ada apa?" Tanya Vania.. Ervan mengecup pipi Vania sekilas. Mata Vania melotot gusar. "Abang!" sengit Vania sambil memukul lengan Erwan. "Cuma cium sebentar kok," sahut Erwan diiringi tawa pelan. Vania memanyunkan bibirnya. "Kalau manyun begitu, Abang cium lagi nih!" Ancam Erwan. "Enggak mau!" Vania merajuk. "Kalau enggak mau senyum dong!" Erwan mengusap bibir Vania dengan jarinya. Terpaksa Vania mengukir senyum di bibirnya. "Nah gitu dong kan cantik jadinya." Erwan mengecup sekali lagi pipi Vania. "Ih kok dicium lagi!" Vania memukul lengan Erwan kesal. "Habisnya Nia cantik sih," puji Erwan melambungkan hati Vania. "Ayo turun!" Erwan menggandeng lengan Vania untuk turun ke lantai bawah. "Eh mana ponselmu, biar Abang tahu nomer kamu." Vania mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Erwan mengernyitkan alis, melihat ponsel yang diserahkan Vania ke tangannya. "Ini ponsel yang baru dibelikan bunda?" Tanya Erwan dengan tatapan tidak percaya pada ponsel di tangannya. "Iya." Kepala Vania mengangguk. Erwan memasukkan nomer kontaknya di ponsel Vania, dan nomer kontak Vania di ponselnya. "Nia senang punya ponsel ini?" Erwan tidak menyerahkan ponsel ke tangan Vania. Dipegang ponsel Vania. "Iya." Mereka sampai di lantai bawah. Di ruang makan sudah ada kedua orang tua Erwan. "Bunda, kenapa Nia dibelikan ponsel jadul begini sih, inikan cuma bisa buat telpon, dan SMS," kata Erwan, sambil mengacungkan ponsel ditangannya. "Bukan cuma bisa buat SMS, dan telpon, tapi bisa buat mainan ular-ularan juga kok, Bang," sahut Vania. "Kamu harus tahu, Wan. Buat beli ponsel Vania saja, Bunda harus meyakinkan ibunya Nia dulu, kalau Nia memang sangat butuh ponsel itu untuk komunikasi kita dengan dia," jawab Bu Elma. "Kamu belum pernah punya ponsel, Nia?" Tanya Erwan, Vania menggelengkan kepala . 'Pantas saja polosnya minta ampun, ternyata benar-benar suci murni, tanpa tambahan apapun,' batin Erwan. "Ayo sarapan dulu." Bu Elma, dan Bibik sudah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka. Saat sarapan, terjadi percakapan ringan diantara mereka berempat. Bu Elma kembali mengulangi pesan yang diucapkannya kepada Vania. Vania menganggukkan kepala, sebagai tanda ia akan mematuhi pesan ibu mertuanya. * Erwan memarkir mobil di depan gerbang sekolah Vania, sekolah ini juga dulu adalah sekolahnya. "Sudah sampai, ayo ke luar." "Nia takut, Bang." "Takut?" "Iya." Vania mengangguk dengan wajah cemas. "Nia tidak usah takut, bulatkan tekad kalau Nia ada di sini untuk masa depan Nia, oke!" Erwan menggenggam tangan Vania erat. "Tapi Nia nggak punya teman di sini, Bang.". "Bukan tidak punya, tapi belum punya. Cewek semanis Nia, sebaik Nia, pasti bisa cepat punya teman, asal Nia mau menyapa, dan memperkenalkan diri lebih dulu. Tapi ingat pesan bunda tadi ya, hati-hati memilih teman." Erwan membesarkan hati Vania. "Iya." Vania menganggukkan kepala, berusaha yakin dengan dirinya. "Sekarang ke luar dari mobil ya,sudah hampir waktunya masuk," bujuk Erwan. "Iya." Vania meraih tangan Erwan, lalu dicium punggung tangan Erwan. Erwan membalas dengan mengecup pipi Vania. "Abang! Kalau ada yang lihat malu!" rungut Vania dengan wajah cemberut. "Enggak ada yang lihat kecuali yang di atas." Telunjuk Erwan mengarah ke atas mobil. "Hah! Di atas ada siapa?" Seru Vania panik sambil mendongakkan kepala ke atas. Erwan langsung tergelak mendengar pertanyaan, dan sikap polos istri imutnya. "Maksud Abang, yang di atas itu Allah, Sayang!" Erwan mencubit kedua pipi Vania dengan gemas. "Sakit, Bang! Abang sih tadi bilangnya yang di atas, Nia pikir di atas mobil." Vania mengusap bekas cubitan Erwan di pipinya. "Sudah, ke luar mobil sana! Belajar yang rajin, dan ingat jangan terlalu dekat sama cowok, karena Nia istri Abang, oke!" "Iya. Abang nggak ingin ke luar mobil. Inikan pernah jadi sekolah Abang." Erwan menggelengkan kepala. "Abang masih ada yang harus dikerjakan, kalau waktunya Nia pulang, nanti telepon Abang ya, biar Abang jemput kamu." "Iya. Assalamualaikum, Bang." "Wa'alaikum salam." Vania ke luar dari mobil, dan melangkah dengan ragu untuk melewati pintu gerbang sekolah. "Hay!" seorang siswi melangkah di samping Vania.. "Hay juga," sahut Vania. Senyum mengembang di bibir Vania. "Murid baru juga ya?" Tanya cewek yang tubuhnya lebih tinggi, dan lebih besar sedikit dari Vania. "Iya. Kamu?" "Sama. Kenalkan namaku Ami." Siswi bernama Ami itu menyodorkan telapak tangan pada Vania. "Vania, panggil saja Nia." Vania menyambut uluran tangan Ami. "Semoga kita ditempatkan disatu kelas ya, Nia." "Iya," sahut Vania. Vania merasa senang, karena langsung mendapatkan teman baru di sekolahnya. Bukan cuma Ami teman yang mulai dekat dengan Vania, tapi ada Kiki, dan Yani. Mereka di tempatkan dalam satu kelas, dan duduk saling berdekatan. * Vania sudah duduk di mobil bersama Erwan yang menjemputnya. Tiga teman barunya sudah pulang lebih dulu. "Bagaimana hari pertama sekolah, Sayang?" Tanya Erwan. "Nia sudah punya tiga teman dekat, Bang," jawab Vania riang. "Oh ya. cewek?" Tanya Erwan menyelidik. "Iya dong cewek, masa cowok sih. Namanya Ami, Kiki, dan Yani. Kita satu kelas, duduknya juga dekatan, Bang." Erwan tersenyum melihat cara bicara Vania yang sangat kekanak-kanakan. "Nia mau langsung pulang, atau makan siang dulu?" Tanya Erwan. "Langsung pulang, atau makan siang dulu?" Tanya Vania bingung. Erwan menganggukkan kepala. "Kita kan makan siangnya di rumah, berarti ya harus pulang dulu, Bang.". "Kita makan siangnya di luar saja. Ayah, dan bunda tadi mendadak pergi ke Bandung. Tante Yanti, kakaknya ayah sakit." "Oh. Ayah, dan bunda menginap di Bandung, Bang?" "Belum tahu, mungkin ya, mungkin juga tidak. Melihat kondisi Tante Yanti dulu." "Oh begitu ya, jadi kita cuma berduaan di rumah, Bang? Tadi pagi kan si bibi, dan suaminya si Mamang ijin pulang tiga hari." "Iya, kita cuma berdua, tapi ada Pak Satpam kok." "Oh iya ya." Vania tertawa pelan. "Nia ingin makan siang apa, Sayang?". "Nia ingin ...." Vania terdiam, matanya berkaca-kaca, lalu terdengar isakan. Erwan menghentikan mobil di tepi jalan saat melihat Vania menangis. "Kenapa Nia menangis?" Erwan meraih bahu Vania. "Nia kangen ibu, kangen masakan ibu," jawab Vania sambil terisak. "Nia kangen masakan ibu, masakan apa? Biar kita cari rumah makan yang menyediakan masakan yang seperti dimasak ibu," bujuk Erwan, sambil menghapus air mata di pipi Vania. Vania menggelengkan kepala. "Kita pulang sekarang saja, Bang." "Kok pulang, kita makan siang dulu.". "Kita masak sendiri saja makan siangnya." "Memangnya Nia bisa masak?" "Bisa," sahut Vania sembari menganggukkan kepala. "Ya sudah, kita langsung pulang sekarang." Erwan menyalakan mobil. Tiba di rumah, Vania langsung mengganti baju seragam di dalam kamar tidur. Setelah itu Vania menuju dapur. Erwan sendiri sudah menunggunya di dalam dapur. Vania membuka kulkas untuk melihat apa yang ada di dalam kulkas, yang bisa dimasak untuk makan siang. "Cuma ada ayam ungkep, kangkung, tomat, dan cabe, Bang." Vania mengeluarkan apa yang disebutkannya dari dalam kulkas. "Mau dimasak apa?" "Ayam goreng, dan tumis kangkung." "Abang bantu ya." "Iya " Vania memanaskan penggorengan, dan mulai menggoreng ayam. "Abang tungguin ayam gorengnya, sementara Nia menyiapkan bumbu tumisan dulu. Abang suka pedas nggak?" "Iya Abang suka pedas," jawab Erwan. Erwan memperhatikan Vania yang mengupas bawang, dan kemudian mengulek bawang bersama cabe, plus terasi. Vania terlihat cekatan dalam memasak. Dibalik kekurangan Vania yang bisa dikata agak lambat dalam berpikir, ternyata cukup cekatan dalam urusan memasak. Tak harus menunggu lama. Semua masakan sudah siap untuk disantap. Erwan harus mengakui, masakan Vania ternyata enak, tidak kalah dengan masakan bundanya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD