"Apa lo harus bertindak sejauh ini sama Giska, Rei?"
"Kalo lenyapin dia gak bikin gue masuk penjara, udah gue lenyapin dia dari awal, Gan."
Giska terbangun dari tidurnya. Giska terbangun dengan tubuh penuh keringat karena mimpi buruknya barusan. Lagi-lagi kilasan mengenai masa lalunya muncul dalam tidurnya. Giska memang sering memimpikan mengenai kilasan masa lalunya, hari dimana ia mengetahui mengenai rencana Reiner untuk dirinya. Giska sempat takut untuk terpejam. Ia takut mengingat masa lalunya bahkan harus berkonsultasi dengan psikolog karena hal ini. Giska melalui banyak sesi konsultasi hingga ia bisa sedikit berdamai dengan apa yang terjadi di masa lalunya dengan Reiner.
Sudah lama ia tidak bermimpi mengenai potongan-potongan kejadian hari itu namun kini setelah bertemu kembali dengan Reiner, ini adalah kali kedua Giska bermimpi mengenai potongan kejadiannya di masa lalu. Giska melihat jam yang kini sudah menunjukan pukul dua pagi. Giska mendesah kesal. Biasanya setelah bermimpi buruk, ia tidak bisa tidur sampai pagi datang. Efeknya ia harus meminum kopi dengan ekstra kafein agar matanya tetap segar. Giska sungguh berharap kalau tidak ada pasien yang membutuhkannya untuk masuk ke ruang operasi secara mendadak hari ini.
Giska pun memutuskan mengambil baju hangatnya dan keluar dari unit apartemennya. Sepertinya berjalan-jalan diluar jauh lebih baik dibanding ia hanya berdiam diri di dalam kamar, siapa tau ia kelelahan dan mengantuk. Menikmati malam sambil berjalan mengelilingi taman nampaknya bukan ide yang buruk. Giska keluar dari unit apartemennya perlahan. Ia turun ke lantai bawah dan mulai mengelilingi taman.
"Malam, Bu Dokter. Belum istirahat Bu Dokter?" Salah seorang petugas yang bertugas jaga malam itu bertanya ketika berpapasan dengan Giska.
Giska memang cukup dikenal oleh para pekerja di apartemen towernya tinggal karena ia pernah membantu menyelamatkan seorang petugas keamanan yang mengalami serangan jantung. Kebetulan pagi itu saat kerjadian terjadi ia baru hendak berangkat ke rumah sakit.
"Kebangun, Pak. Susah tidur lagi jadi saya mau jalan-jalan disini dulu.. Siapa tau saya kecapekan terus ngantuk."
"Jangan terlalu lama di luar Bu Dokter nanti malah sakit. Udara malam gak bagus buat kesehatan."
Giska tersenyum hangat dan mengangguk. Giska berpisah dengan petugas keamanan itu dan melanjutkan langkahnya. Giska berjalan mengelilingi taman sambil menatap langit malam. Malam ini langit cukup cerah dan banyak bintang yang terlihat di atas sana. Giska pun memilih duduk di kursi terdekat dan memandangi langit malam.
Tanpa sadar ingatan Giska melayang. Ia kembali mengingat mimpinya tadi. Ia ingat betul kalau saat itu ia adalah wanita yang menjadi bahan pembicaraan dua pria yang saat itu tidak menyadari keberadaannya.
Siang itu, Giska masuk ke apartemen milik Reiner, Giska memang sudah terbiasa keluar masuk apartemen Reiner karena ia tau password apartemen kekasihnya itu. Apartemen ini menjadi saksi bisu bagaimana Giska menyerahkan hati dan dirinya untuk Reiner. Giska sangat mencintai pria itu dan memang hubungannya dan Reiner sudah sejauh itu. Reiner menunjukan keseriusannya pada Giska dengan mengenalkan Giska pada keluarganya dan Giska pun akan melakukan hal yang sama saat mereka pulang ke Indonesia nanti. Reiner adalah pria yang mengajarkannya banyak hal mengenai romansa antara seorang wanita dan pria yang selama ini tidak pernah ia pikirkan karena terlalu sibuk berkutat dengan pendidikan kedokterannya.
Giska memang sengaja datang tanpa memberikan kabar. Yang Reiner tau, hari ini Giska ada jadwal jaga padahal sebenarnya ia tidak memiliki jadwal jaga karena ia bertukar jadwal dengan temannya beberapa hari yang lalu. Rencananya hari ini Giska datang ke apartemen Reiner untuk memasak steak karena ia baru saja bisa memasak steak sehingga ia sangat ingin memberikan kejutan pada Reiner dengan memasak untuk pria itu.
Giska masuk ke dalam kamar Reiner hendak mengganti pakaiannya namun suara pintu terbuka membuat ia berdiam diri di dalam kamar. Giska mencoba menajamkan telinganya dari dalam kamar dan terdengar suara Reiner. Giska hendak keluar dari dalam kamar namun ucapan Reiner menghentikan langkahnya.
"Gue udah muak sebenernya ama dia. Cuman gak mungkin gue udahin gitu aja. Rencana gue belom selesai."
Giska mengerutkan alisnya. 'Dia'? Siapa dia yang Reiner maksud? Rencana apa? Berbagai pertanyaan muncul dalam benak Giska.
"Anda akan melanjutkan rencana anda, Pak? Bapak akan benar-benar membuatnya hamil?"
"Kalau pun Giska mengandung maka tujuan saya tercapai. Saya akan membuat Giska merasakan apa yang Eliza rasakan."
Giska mematung sesaat Reiner menyebutkan namanya. Giska spontan menutup mulutnya sendiri karena ucapan Reiner yang terdengar begitu penuh kebencian. Siapa Eliza? Apa hubungan Eliza dengannya hingga Reiner melakukan semua ini padanya?
"Anda akan meminta Giska menggugurkan kandungannya?"
"Tentu tidak. Saya akan membuat orang lain yang menggugurkan kandungannya. Gugur dengan cara yang sama dengan yang ia lakukan pada Eliza."
Giska mendengar suara dengusan kesal kekasihnya itu. Pria itu mengumpat berkali-kali dengan kata-kata kasar nampak berbeda dengan kekasihnya yang lemah-lembut dan sopan. "Wanita itu berusia dua puluh lima tahun tapi pola pikirnya seperti gadis remaja. Ia sangat naif dan bodoh. Kini tinggal menunggu gadis bodoh itu hamil dan semua rencana saya sempurna. Si bodoh itu menerima pembalasan yang setimpal. Mata untuk mata."
"Apa lo harus bertindak sejauh ini sama Giska, Rei?" Gandhi sahabat Reiner bertanya dengan nada tidak yakin dengan apa yang dilakukan Reiner.
"Kalo lenyapin dia gak bikin gue masuk penjara, udah gue lenyapin dia dari awal, Gan."
Tubuh Giska menegang sempurna mendengar ucapan terakhir Reiner. Pria yang berbagi kehangatan dengannya ternyata menyimpan kebencian yang begitu besar untuk dirinya. Giska memilih masuk ke dalam kamar mandi secara perlahan. Ia tidak ingin Reiner dan Gandhi sampai tau kalau ia mendengar percakapan mereka barusan. Apa yang ia dengar saat ini sungguh membuatnya kaget bukan main. Pria yang ada di depan adalah Reiner, pria yang berusia lima tahun lebih tua darinya. Pria itu sudah menjadi kekasihnya selama enam bulan terakhir ini. Pria itu yang gencar mendekatinya dan ia hanya seorang wanita biasa yang mudah luluh dengan segala bujuk rayu. Giska jatuh dalam pelukan Reiner dan menyerahkan segalanya pada pria yang mengaku mencintainya itu.
Setelah menunggu beberapa saat, Giska perlahan keluar dari kamar mandi. Giska memperhatikan sekelilingnya sebelum keluar. Apartemen Reiner sudah kembali kosong. Ponsel Giska bergetar, sebuah pesan masuk dari Reiner. Pria itu menanyakan keberadaan Giska karena pria itu sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit untuk menjemputnya. Tangis Giska pun spontan pecah. Bagaimana ia harus menghadapi pria itu setelah ini?
Sebuah tangisan bayi yang kencang menyadarkan Giska. Seorang wanita sedang berusaha menenangkan bayinya yang menangis. Posisi mereka cukup jauh namun tangisan bayi itu cukup kencang hingga terdengar sampai ke tempatnya duduk. Giska memandang sendu pemandangan itu. Ingatannya pun melayang pada awal-awal kelahiran Reika. Semua ia lalui sorang diri. Giska menghela nafas panjang. Jika saja ia memiliki kesempatan untuk meminta maka ia akan meminta Tuhan menghapus ingatannya. Giska tidak akan meminta Tuhan tidak mempertemukannya dengan Reiner karena tanpa bertemu dengan Reiner, Giska tidak akan memiliki Reika. Kini Reika adalah poros hidupnya dan sumber kebahagiaannya. Kini tanpa Reika, Giska bisa mati.
Giska pernah berpikir, bagaimana bisa ia tertipu dengan mudahnya. Suara Reiner yang dulu selalu terdengar hangat di telinga Giska bisa berubah terdengar begitu dingin dan menyeramkan ditelinganya. Padahal hari itu Giska berencana menyampaikan kabar gembira untuk Reiner. Ia baru saja mengetahui bahwa dirinya tengah hamil dan ia tau betul Reiner adalah ayah dari janin yang ia kandung. Namun Tuhan masih berbaik hati padanya. Giska mengetahui semua rencana Reiner sebelum semuanya terlambat. Hari itu adalah hari yang tidak akan pernah hilang dari ingatan Giska. Hari dimana kehancuran seluruh hidupnya dimulai.
Giska menghela nafas panjang entah sudah keberapa kalinya. Banyak hal yang Giska rasakan. Efek perbuatan Reiner tidak main-main dalam hidupnya. Giska menutup seluruh akses bagi pria mana pun masuk ke dalam hatinya selain karena tidak mau disakiti lagi, Giska juga tidak lagi percaya dengan cinta. Romansa antara pria dan wanita membuatnya trauma dan ia tidak berani berharap karena ketakutannya merasakan kecewa yang sama.
Luka yang Reiner tinggalkan memang sangat dalam. Reiner adalah alasan Giska tidak lagi mempercayai cinta, romansa pria dan wanita, Reiner juga alasan Giska merasa nyaman dengan segala perasaan kecewa yang ia rasakan karena Reiner. Giska tidak mau lagi berharap para hubungan antara seorang pria dan wanita. Bukan berarti ia menjadi menyimpang namun Giska merasa sendiri jauh lebih baik untuknya. Ia pun sudah memiliki Reika. Giska merasa fokus dengan Reika sudah cukup baginya.
***
Reiner baru saja selesai bertemu dengan developer pemilik sekaligus pengelola apartemen tempatnya tinggal dan melakukan proses transaksi jual beli. Reiner tidak main-main dengan rencananya. Reiner benar-benar membeli apartemen itu dan menjadikannya aset Reins Company. Reiner bisa mengawasi Giska sekaligus memiliki lini usaha baru.
Kini Reiner harus mencari tau mengenai rumah tangga Giska. Reno sudah cukup membuatnya kesal karena belum berhasil juga mendapatkan foto anak Giska. Untungnya Reno berhasil membuat pihak developer mau menjual gedung apartemen ini padanya. Reiner berpikir kali ini ia bisa mengetahuinya karena ia memiliki akses seluruh gedung. Walau ia tidak bisa masuk ke unit apartemen karena masing-masing unit memiliki password yang hanya diketahui oleh si pemilik unit tapi Reiner bebas untuk pergi ke lantai mana pun yang ia mau tanpa harus khawatir karena ia adalah pemilik gedung itu.
Reiner akan merahasiakan ini dari Giska karena jika wanita itu tau maka bisa dipastikan wanita itu akan ketakutan dan melarikan diri lagi. Reiner tidak mau hal ini terjadi. Reiner pulang cukup larut hari ini karena selesai transaksi jual beli, Reiner pergi bersama dengan pihak developer untuk makan malam bersama dan selesai acara itu Reiner merasa ia perlu sedikit alkohol untuk menghangatkan tubuhnya. Suasana hati Reiner sangat baik sehingga ia tidak perlu distraksi apapun namun ia butuh alkohol hanya untuk menghangatkan tubuhnya.
Reiner pulang saat apartemen sudah sangat sepi. Jelas sepi karena jam sudah menunjukan pukul dua pagi. Reiner pun melangkah masuk menuju lobby langkahnya terhenti saat ia melihat Giska keluar dari dalam lift dan berjalan menuju arah taman. Reiner pun spontan mengikuti Giska sambil bertanya-tanya untuk apa wanita itu ketaman di jam seperti ini.
Mata Reiner tidak melepaskan Giska. Dari jarak jauh Reiner memperhatikan wanita itu. Wanita itu berbincang dengan petugas keamanan. Wanita itu masih tetap sama seperti Giska yang ia kenal dulu. Giska selalu baik dan ramah pada siapapun. Hal itu kadang membuatnya kesal karena wanita ini seakan tidak bisa membedakan mana orang yang harus ia tanggapi dan mana yang tidak.
Reiner terdiam ketika melihat Giska duduk di sebuah kursi. Wanita itu nampak memandang langit lalu menunduk dan menghela nafas panjang. Wanita itu lalu menatap lurus kedepan dan nampak melamun. Orang gila mana yang melamun di malam gelap seperti ini. Yang lebih tidak bisa ia mengerti, bagaimanan suaminya membiarkan istrinya keluar seorang diri di jam-jam seperti ini. Apakah wanita itu baru saja bertengkar dengan suaminya?
Reiner tidak melepaskan pandangannya dari Giska hingga pandangan Giska menatap seorang Ibu yang menggendong bayinya yang sedang menangis. Pandangan Giska nampak sendu. Reiner jadi semakin penasaran memangnya bagaimana kehidupan wanita itu selama ini?