Giska Hartawan
Boston, America.
Giska berjalan dengan merintih, perutnya kembali kontraksi. kandungannya memang sudah berusia sembilan bulan lebih dua minggu. Giska sudah merasakan cycle kontraksi ini sejak beberapa jam yang lalu dan dengan segera pergi ke rumah sakit ditemani Elea dan Jake. Tepat sampai di ruang bersalin, air ketuban Giska pecah. Giska pun langsung ditangani oleh para petugas medis.
"Bayi lo ini cantik banget, Gis. Kulitnya merah kayak buah cherry. She's so adorable."
Giska tersenyum dengan wajah lelah. Ia baru saja melahirkan secara normal. Giska memandangi bayi mungil itu dengan pandangan lembut. Ia membenarkan ucapan itu. Ia tidak menyangka bahwa ia mampu bertahan sejauh ini. Kini bayi yang ia pertahankan dengan seluruh tenaga dan kemampuannya pun menggeliat. Gerakan kecil itu sungguh menggemaskan. Bayi mungil itu beberapa jam yang lalu masih ada dalam rahimnya namun kini ia sudah bisa melihat bagaimana cantiknya wajah bayi mungil itu.
"Lo udah punya nama buat bayi cantik ini, Gis?"
Giska mengangguk, "Reika..."
"Nama yang cantik.. Sekarang mending lo istirahat.. Biar gue sama Jake yang jaga Reika."
Giska mengangguk pelan. "Terima kasih, Lea."
Giska memejamkan matanya. Ia merasa lelah namun ia bahagia. Setidaknya putrinya sudah lahir kedunia ini. Giska bersumpah akan menjaga putrinya dari orang-orang jahat yang tidak menginginkan kehadirannya didunia ini. Giska akan terus berjuang untuk menghidupi putrinya. Ia akan berjuang untuk membesarkan putrinya. Walau ia sendiri tapi sejauh ini ia membuktikan bahwa ia bisa berjuang sendiri. Ia bisa melewati sembilan bulan mengandung seorang diri. Ia bisa memenuhi keinginannya selama hamil seorang diri. Ia bisa merawat dirinya selama hamil seorang diri. Selama sembilan bulan ini ia membuktikan bahwa ternyata dia sekuat itu melewati banyak hal.
Kini Giska harus memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk melanjutkan hidupnya. Ia harus bekerja lebih giat demi masa depan Reika. Beruntung ada Elea dan Jake yang selalu membantunya selama ini. Elea adalah salah satu temannya semasa menempuh pendidikan kedokteran dulu.
Setelah beberapa lama terpejam, Giska gagal untuk tertidur. Giska akhirnya membuka matanya memandangi bayi yang tengah tertidur nyenyak. Giska memperhatikan Reika. Bayi mungil itu memiliki kulit yang merah, pipinya begitu chubby, bayi Reika juga jelas akan tumbuh tinggi karena bayi itu terlihat cukup panjang. Bibir mungil itu sangat mirip dengan bibir milik seseorang yang ia ingat betul. Bentuk wajah, bentuk alis, hidung, semua mengingatkan Giska pada pria itu. Secara garis besar bayinya itu adalah jiplakan dari pria itu.
Tanpa sadar Giska menangis. Menangisi kebodohannya yang dengan mudah mempercayakan hati dan cintanya pada seseorang yang mengatakan mencintainya padahal cinta itu hanya ada dalam ucapannya saja. Wanita itu menangisi kebodohannya mau melemparkan dirinya pada seorang pria yang ternyata hanya menyimpan dendam padanya. Dendam yang Giska sendiri tidak ketahui apa penyebabnya. Wanita itu kembali menangisi kehancuran hidupnya. Giska menangis dalam diam dan berusaha keras untuk tidak terisak agar bayi mungil itu tidak terganggu tidurnya. Namun tangisan yang ditahan itu malah menjadi sebuah tangisan yang terdengar pilu yang menyayat hati.
Elea yang sudah kembali semenjak Giska memandangi Reika pun diam ditempatnya memandangi Giska. Ketika Giska menagis, Elea pun ikut menangis. Ketika tangis Giska terdengar semakin menyayat hati, Elea tidak bisa menahan dirinya untuk bergerak mendekati Giska dan memeluk teman semasa kuliahnya dulu itu. "Semua akan baik-baik aja, Gis. Lo dan Reika masih punya gue. Lo bisa bertahan sejauh ini jadi lo pasti bisa bertahan juga nantinya. Elo kuat dan elo punya gue."
Giska mengangguk membenarkan ucapan Elea. Ia kuat, ia berhasil bertahan sejauh ini. Ia bisa. Ia pasti bisa. Ada Reika yang akan menjadi kekuatan tambahan untuknya. Ia pasti bisa menjadi ibu yang hebat untuk Reika.
***
10 Tahun kemudian - Jakarta, Indonesia.
Giska Hartawan - Dokter Spesialis Jantung.
Giska Hartawan, wanita berusia tiga puluh lima tahun berprofesi sebagai seorang dokter spesialis jantung disebuah rumah sakit swasta. Wanita berambut panjang berwarna hitam legam yang diikat model ekor kuda itu masih memakai jas dokter ketika ia berlari keluar dari ruang praktiknya setelah mendapat panggilan dari pihak sekolah. Reika Putri, anak perempuan satu-satunya Giska terjatuh dari tangga karena didorong oleh temannya. Giska bahkan tidak ingat untuk melepas jas dokternya atau mengganti sendal yang ia gunakan karena dengan secepat kilat wanita itu berlari menuju mobilnya menuju sekolah Reika.
Setelah setengah jam ia menempuh perjalanan karena macet, Giska sampai di sekolah Reika. SD Pemata Harapan. Giska pun langsung menuju ruang guru dan langsung diantar menuju ruang UKS oleh wali kelas Reika.
"Rei... Kenapa bisa jatuh?" Giska memeluk Reika dengan erat. Kaki Reika diperban dan dipasangi penyangga.
Reika menatap Giska namun gadis itu hanya diam dan menangis. Melihat Reika yang hanya diam dan menangis pun membuat Giska menatap wali kelas Reika menuntut penjelasan. Wali kelas Reika sendiri nampak merasa bersalah.
"Maaf, Bu. Reika didorong sama temannya, Brenda hingga jatuh ditangga. Mereka berdebat dan Reika menjadi korban. Dari cctv jelas Brenda yang memulai dan Orang tua Brenda ingin bertemu untuk minta maaf dan berkata akan menanggung biaya pengobatan Reika. Saya sebagai wali kelas juga minta maaf karena teledor sehingga kejadian ini terjadi," Wali kelas Reika berucap dengan nada merasa bersalah.
Giska menghela nafas panjang dan menatap wajah Reika yang kini sembab. Giska tau pasti rasanya sakit.
"Saya tidak akan memperpanjang soal ini tapi sebagai efek jera saya minta tolong agar Miss Mira memberi tugas pada Brenda sebagai bentuk konsekuensi atas perbuatannya."
Wajah Miss Mira nampak lega. "Untuk bagian itu sudah saya lakukan, Bu. Terima kasih untuk pengertian Ibu. Saya benar-benar mohon maaf atas keteledoran ini."
Giska mengangguk dan membawa Reika pulang dengan berjalan sambil memapah Reika, membantu gadis kecilnya itu berjalan. Reika kini sudah berusia sepuluh tahun namun postur tubuh Reika lebih tinggi dari anak berusia sepuluh tahun lainnya.
"Rei..." Giska menunggu Reika bercerita sambil ia fokus mengemudi mengantarkan Reika kembali ke apartemen tempat mereka tinggal.
Reika memang baru berusia sepuluh tahun namun anak itu jauh lebih dewasa dari anak-anak seusianya. Hidup berdua dengan mamanya dan mendengarkan cibiran mengenai dirinya dan mamanya dari keluarga mamanya sendiri membuat Reika lebih cepat dewasa dibanding anak-anak seusianya.
"Brenda tadi ngejek Rei lagi, Ma. Rei kesel dan mau bales Brenda tapi posisi Rei salah. Brenda dorong Rei dan Rei jatoh."
Giska menghela nafas panjang. "Rei..."
"Rei gak marah pas Brenda bilang Rei ini bule nyasar tapi Rei marah dan gak suka kalau Brenda ngejek mama. Rei akan diam kalo Rei salah tapi kalo Rei gak salah Rei gak bisa diem aja, Ma. Apa lagi Brenda ngejek mama. Rei gak bisa terima," Reika mengungkapkan kekesalannya.
Giska tau. Mengenai prinsip Reika yang satu ini adalah hasil didikannya. Giska selalu mengajarkan Reika untuk bertahan pada pendiriannya saat ia yakin pendiriannya benar. Ia harus memperjuangkannya dan Reika benar-benar menerapkannya. Giska pun melajukan kendaraannya memasuki parkiran apartemen yang sudah satu tahun ini ia tempati dan memarkirkan mobilnya. "Rei, mama ngerti Rei marah. Tapi gak semua kita balas dengan emosi. Kalau kamu gak suka sama sikap Brenda, Rei bisa abaikan Brenda dan lapor ke Miss Mira."
Reika menghela nafas panjang. "Rei udah marah banget jadi Rei balas langsung Brenda tapi posisi Rei ditangga jadi Rei jatoh."
Giska menghela nafas panjang. "Tadi udah di cek dokter sekolah? Ada yang sakit? Kita coba cek ke dokter tulang ya, Mama takut ada apa-apa."
Reika mengangguk. "Kaki Rei sakit."
Giska yang niatnya mengajak Reika pulang pun kembali menyalakan mobilnya, "Kita ke rumah sakit kalau gitu. Kita cek lebih lanjut."
Reika mengangguk pasrah. Reika spontan melihat mamanya yang masih menggunakan jas dokternya. Reika sadar bahwa mamanya langsung mendatanginya begitu mendapat kabar dari wali kelasnya. Reika jadi merasa bersalah. Mamanya pasti sangat kaget mendengar kabarnya dan pastinya khawatir.
"Maafin Rei, Ma..."
Giska menghela nafas panjang dan menatap Reika tepat saat mobil berhenti karena lampu merah. "Mama khawatir Rei. Mama takut denger kamu jatuh dari tangga."
Reika menunduk. Reika merasa bersalah. Reika teringat bagaimana wajah khawatir mamanya. Mamanya bahkan belum melepas jas kerjanya dan memakai sendal yang berbeda. Reika merasa bersalah karena membuat mamanya khawatir. Itu alasannya mengapa tadi Reika menangis saat melihat mamanya sampai di sekolah.
***
"Kalau pun Giska mengandung maka tujuan saya tercapai. Saya akan membuat Giska merasakan apa yang Eliza rasakan."
"Anda akan meminta Giska menggugurkan kandungannya?"
"Tentu tidak. Saya akan membuat orang lain yang menggugurkan kandungannya. Gugur dengan cara yang sama dengan yang ia lakukan pada Eliza."
Giska terbangun dengan dahi penuh keringat. Giska kembali bermimpi mengenai malam itu. Malam awal keruntuhan dunianya. Untungnya ia saat itu ia sudah berada selesai dengan pendidikan dokternya di Amerika. Ia kembali ke Indonesia dalam keadaan mengandung. Penolakan keluarganya disertai kondisi mamanya yang jadi sakit-sakitan sejak mengetahui kehamilannya membuat Giska semakin dibenci. Puncak kebencian keluarganya saat mamanya meninggal karena papa serta kakak-kakaknya menganggapnya sebagai penyebab kematian mamanya.
Keluarganya sendiri menganggap bayi dalam kandungannya adalah musibah. Mereka semua bahkan pernah memaksa Giska untuk menggugurkan kandungannya. Namun Giska kabur dengan bantuan asisten rumah tangganya yang sudah bekerja sejak ia kecil. Giska membawa barang-barang pribadinya dan dokumen pribadinya. Giska pindah kembali ke Amerika dengan uang tabungan yang ia miliki. Menjauh dari Surabaya.
Kini sudah sebelas tahun Giska berjuang hidup sendiri. Sepuluh tahun berada di Amerika dan baru tahun ini Giska kembali ke tanah air dan menetap di Jakarta. Giska berhasil melanjutkan pendidikan spesialisnya di Amerika dengan bantuan beasiswa dan hidup dari uang tabungan hasil bekerja paruh waktunya selama ini serta sambil bekerja paruh waktu lainnya. Giska hidup bersama Elea dan Jake selama di Amerika. Orang-orang baik yang membantunya selama di Amerika.
Satu tahun sudah Giska dan Reika kembali ke tanah air. Keduanya sudah mulai bisa menyesuaikan diri. Dengan uang yang ia miliki. Giska memiliki satu apartemen dua kamar sederhana untuknya dan Reika tinggal. Sebuah apartemen kecil yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja. Giska membeli sebuah mobil bekas sederhana yang bisa ia gunakan untuk bekerja dan mengantar Reika sekolah. Giska bekerja keras memenuhi kebutuhannya dan Reika.
Giska memandang ke sekelilingnya. Kamarnya gelap dan dari jendela terlihat jelas kalau langit pun masih gelap. Giska spontan melihat jam yang ternyata menunjukan jam empat pagi. Giska menghela nafas panjang, ia berusaha untuk kembali tidur namun ia gagal. Giska beranjak dari tempat tidurnya menuju dapur kecilnya. Ia memilih menyiapkan sarapan dan bekal untuk Reika.
Giska pun memasak menu nasi goreng untuk sarapan sekaligus memasak bekal Reika. Tepat jam setengah enam pagi aktivitas Giska di dapur selesai. Giska membangunkan Reika dan mereka masing-masing bersiap dan jam enam pagi keduanya sudah siap di meja makan dan memakan sarapan mereka.
"Kita ke rumah sakit. Kamu cek kaki ke dokter tulang habis itu kamu mau mama anter pulang atau mau ke ruang dokter?"
Reika nampak berfikir sesaat. "Kalo Rei di ruang dokter aja tapi pinjem ipad mama boleh?"
Giska mengangguk. "Boleh tapi jangan pergi keluar ruang dokter ya, Rei."
"Kalo diajak Suster Rini jajan ke kantin boleh?" Reika bertanya dengan wajah serius.
Giska mengangguk. "Boleh."
Giska dan Reika berangkat menuju rumah sakit. Giska dan Reika memang sudah dikenal oleh seisi rumah sakit. Reika yang pintar dan cantik membuat siapapun akan terpesona pada gadis kecil itu. Wajah Reika berbeda dengan Giska. Wajah Reika adalah jiplakan dari pria itu. Pria yang sialnya tidak pernah hilang dari ingatan Giska walau sudah sebelas tahun berlalu.
Giska tidak pernah bersinggungan lagi dengan pria itu. Entah bagaimana kehidupannya sekarang, Giska tidak peduli lagi. Giska pun tidak berusaha mencari tau karena ia tau bahwa dirinya dan Reika tidak benar-benar diinginkan oleh pria itu. Giska merasa hidup berdua dengan Reika seperti ini sudah cukup. Ia bisa menempatkan diri menjadi berbagai peran dalam kehidupan Reika. Giska berharap hingga akhir usianya nanti ia dan pria itu tidak akan pernah bersinggungan lagi. Ia pun berharap Reika tidak bertemu dengan pria itu.
Sejujurnya Giska tidak pernah bisa membayangkan bagaimana kalau sampai keduanya bertemu. Reika sendiri tidak pernah melihat seperti apa wajah ayah kandungnya. Giska pikir lebih baik Reika tidak tau. Giska beralasan tidak memiliki foto pria itu. Namun demikian Giska tidak pernah menjelekkan pria itu dihadapan Reika. Yang putrinya tau, ayahnya sudah meninggal dan setiap ditanya orang lain Reika pun mengatakan bahwa ayahnya sudah meninggal. Sejak Reika mengerti soal ayahnya yang sudah meninggal hingga saat ini, topik yang tidak pernah Reika bahas adalah mengenai ayahnya. Mungkin karena Reika sudah terbiasa dengan kehadiran Giska dibandingkan ayahnya. Bagi Giska kehidupannya dan Reika saat ini sudah ideal. Mereka berdua hidup bahagia.