Bab 5

802 Words
Demi mendapat maaf dari Farel, akhirnya aku menyewa orang suruhan untuk mencari Hana dan juga Kia. Putraku mulai bisa tersenyum ketika aku memberitahunya tentang hal ini. Perlahan sikap Farel mulai melunak, bahkan sudah mau makan satu meja dengan kami, hal yang tidak pernah ia lakukan semenjak Rani tinggal di rumah ini. "Makan yang banyak, Nak," ucapku sambil mengusap rambutnya. Farel tidak menolak, membuat senyum bahagia terbit dari bibir ini. "Bunda ambilkan lauknya, ya. Farel mau apa? Ayam?" Rani pun ikut menawarkan diri, tetapi sayang respon yang diberikan Farel terhadapnya berbeda. "Tidak usah, aku bisa sendiri," ketusnya. Riak sendu tercetak dari wajah cantik itu. Kuusap tangannya dengan lembut, memberi kekuatan padanya agar tidak bersedih atas sikap putraku. Aku tahu kerasnya usaha Rani untuk mendekatkan diri kepada Farel. Akan tetapi, anak itu membangun dinding kokoh yang tidak bisa Rani tembus. Bagi Farel, bundanya hanya satu yaitu Hana, meskipun kini Rani sudah menjadi ibu sambungnya. "Farel mau ikut Ayah ke kantor, gak? Dari pada jenuh di rumah," tawarku. "Boleh. Aku juga tidak betah kalau harus di rumah terus," jawabnya seraya melirik sekilas ke arah Rani. Aku tahu Farel sengaja menyindir Rani untuk membuat istriku itu kembali bersedih. "Kalau begitu cepat habiskan makanan kamu. Kita langsung berangkat." Farel menganggukkan kepala. Dengan lahap ia menghabiskan sarapan hingga piring berisi makanan itu tandas tak bersisa. "Nasi goreng buatan Mbok Tuti enak. Hampir mirip sama buatan Bunda," ujarnya seraya mengelap mulut dengan tisu. "Aku tunggu di depan, Yah. Jangan lama-lama. Tadi, kan Ayah yang memintaku menghabiskan sarapan dengan cepat." Farel berdiri kemudian berjalan keluar rumah. Setelah tubuhnya menghilang di balik tembok, aku berdiri untuk memberi pelukan hangat kepada Rani. Mata bening itu sudah mengembun. Aku tahu ia tersinggung atas ucapan Farel. "Yang sabar, ya. Abang yakin sebentar lagi sikapnya akan berubah. Buktinya sekarang dia sudah mau sarapan bareng kita," ujarku seraya mengecup pucuk kepalanya berkali-kali. Rani terisak. Kudekap tubuhnya lebih erat untuk memberinya kekuatan. "Sampai kapan aku harus bersabar, Bang? Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Aku sudah lelah menghadapi sikap anakmu yang semakin keterlaluan," keluhnya. "Abang mengerti. Abang mohon bersabarlah sebentar lagi." Kuurai pelukan, kubingkai wajahnya yang sudah bersimbah air mata. "Abang berangkat dulu, ya. Kamu baik-baik di rumah." Rani mengangguk. Satu kecupan aku daratkan di keningnya cukup lama. "Yaelah, ternyata malah bermesraan. Pantesan gak nongol-nongol. Niat kerja gak, sih!" Farel tiba-tiba muncul dengan wajah yang ditekuk. Aku dan Rani gelagapan karena malu kepergok olehnya. "Nana, Ayah berangkat dulu. Baik-baik sama Bunda di rumah, jangan nakal." Gadis kecilku mengangguk lucu. Kuberikan satu kecupan di pipi gembilnya karena gemas. "Ayok, Nak, kita berangkat." "Ini juga sudah siap dari tadi," ketusnya sambil berjalan mendahuluiku. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil mengikutinya. ??? "Tuan!" Ketukan di pintu disertai teriakan Mbok Tuti menghentikan aktifitasku dan Rani yang mulai memanas. Gegas kupunguti pakaian yang sudah berserakan dengan cepat. Rasa khawatir tiba-tiba menyergap mendengar suara Mbok Tuti yang terdengar panik. "Ada apa, Mbok?" tanyaku ketika sudah membuka pintu. Benar saja, wajah Mbok Tuti terlihat pias. Wanita paruh baya itu meremas ujung daster yang ia kenakan sambil sesekali melirik ke arah kamar Farel. "Itu, Tuan. Den Farel, tadi Mbok lihat dia keluar rumah sambil ngendap-ngendap," terangnya dengan gugup. "Mbok yakin? Gak salah lihat?" "Yakin, Tuan." Kuhela napas dengan kasar. Anak itu pasti membuat ulah lagi dengan sengaja keluyuran di luar sana. "Ya sudah. Mbok boleh pergi." Mbok Tuti mengangguk. Aku pun kembali masuk menghampiri Rani yang duduk di ranjang dengan selimut yang menutupi tubuh polosnya. "Ada apa sih, Bang? Mengganggu saja," keluhnya jengkel. "Farel pergi. Dia pasti keluyuran lagi sama teman-temannya," terangku. "Sudah biarkan saja. Memang sudah biasa, kan dia seperti itu." "Kamu benar. Tapi perasaan Abang tiba-tiba cemas. Takut terjadi sesuatu yang buruk padanya." Rani mencebik. Ia baringkan tubuhnya dengan posisi membelakangiku. "Mau bermesraan saja susah. Selalu saja gagal," gerutunya. "Maaf ya, Sayang. Abang menghubungi Farel dulu. Nanti kita lanjutkan yang sempat tertunda tadi," bisikku. Kaki ini melangkah keluar kamar seraya mengotak ngatik ponsel menghubungi nomor Farel. Aktif tetapi tidak diangkat. Sepertinya anak itu sengaja mengabaikan panggilanku. Kamar Farel menjadi tujuanku saat pikiran buruk terlintas begitu saja. Kubuka lemari pakaiannya yang ternyata masih utuh. Kuhela napas lega karena ternyata apa yang aku takutkan tidak terjadi. Aku takut anak itu kabur dari rumah karena sudah tidak betah tinggal di sini. Kuputuskan kembali ke kamar saja untuk membujuk Rani yang sedang merajuk. Biarlah nanti kucoba menghubungi Farel lagi jika urusan dengan Rani sudah selesai. Namun, dering ponsel yang kupegang menghentikan kembali langkah ini. Nomor Farel. Akhirnya anak itu menghubungiku juga. "Hallo, Nak? Kamu di mana?" [Hallo, apa benar ini dengan ayahnya Farel?] "Betul. Ini siapa, ya? Kenapa ponsel anak saya bisa ada di Anda?" tanyaku mulai was-was. [Maaf saya menggunakan ponsel Farel untuk menghubungi keluarganya. Saat ini Farel berada di Rumah Sakit Sastra Medika, dia mengalami kecelakaan.] "Apa? Oke, saya segera ke sana!" * * Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD