Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang IGD setelah mendapatkan keterangan dari seorang perawat. Kaki ini melangkah dengan tergesa bersama rasa cemas yang menyelimuti hati. Mendengar kabar Farel kecelakaan, membuatku sontak menyalahkan diri sendiri. Sebagai seorang Ayah, aku tidak becus menjaga putra sulungku. Apa yang harus aku katakan pada Hana andai dia berada di sini. Mantan istriku pasti merasa kecewa karena aku yang meminta Farel ikut denganku, tetapi kenyataannya akulah penyebab segala kesakitan anak itu.
Tiba di depan ruang IGD, salah satu teman Farel yang sering datang ke rumah sedang berdiri bersama seorang Dokter. Gegas kupercepat langkah menghampiri mereka yang sedang terlibat pembicaraan.
"Bagaimana keadaan Farel?" tanyaku disertai napas yang tersengal.
"Anda ayahnya?"
"Iya."
"Farel mengalami retak di tulang lengannya. Untuk bagian tubuh yang lain bisa dikatakan baik-baik saja, hanya terdapat luka ringan. Tapi tetap dia harus menjalani perawatan di sini untuk beberapa hari sampai keadaannya pulih," terang Dokter yang usianya sedikit lebih muda dariku.
"Baik, Dok. Lakukan yang terbaik untuk putra saya. Apa sekarang saya boleh menemui dia?"
"Tentu. Setelah itu bapak bisa ke bagian administrasi sebelum Farel dipindahkan ke ruang rawat. Kalau begitu saya permisi dulu."
"Silahkan, Dok. Terima kasih."
Setelah kepergian Dokter tersebut, aku beralih pada teman Farel yang kini menundukkan kepala, mungkin karena takut aku akan memarahinya.
"Bilang sama, Om. Bagaimana ceritanya sampai Farel bisa kecelakaan?" tanyaku selembut mungkin agar anak itu tidak lagi merasa takut padaku.
"I-itu, Om. Sebenarnya kami belum ada tujuan mau ke mana. Tapi, Farel meminta kami untuk--"
Dia menghentikan ucapan.
"Untuk?"
"Membantu mencari bundanya," jawabnya lirih.
Hatiku seketika mencelos mendengarnya. Farel ingin mencari Hana? Bukankah kemarin aku sudah bercerita tentang orang suruhan yang sedang aku tugaskan untuk mencari bundanya? Kenapa dia tidak bisa bersabar sedikit saja.
Perasaan kesal seketika hadir mengingat anak itu yang selalu saja berbuat sesukanya. Ini tidak bisa dibiarkan karena aku takut akan membahayakan Farel ke depannya jika anak itu terus berbuat semaunya.
"Ya sudah, Om masuk dulu menemui Farel. Orang tuamu sudah tahu kamu di sini?"
"Sudah, Om. Sebentar lagi mereka datang."
Aku mengangguk sembari menepuk pundak anak itu, kemudian masuk ke ruang IGD menemui Farel yang ternyata sudah siuman. Melihatku datang, anak itu langsung membuang muka ke arah dinding.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah lebih baik? Mana saja yang sakit?" tanyaku selembut mungkin meskipun rasa kesal masih menyelimuti hati.
Farel tidak menjawab. Dia tetap pada posisinya tanpa mau menatapku.
"Apa benar apa yang dikatakan temanmu? Kamu mengajak dia mencari Bunda Hana? Mau cari ke mana?" cecarku lagi.
"Ke mana saja yang penting aku bisa secepatnya bisa bertemu Bunda." Akhirnya ia menjawab meskipun dengan wajah yang masih menghadap dinding.
"Farel, Ayah tidak tahu lagi bagaimana caranya menghadapi kamu. Memberi pengertian padamu kalau Ayah juga sedang mencari keberadaan Bunda Hana. Tolong bersabarlah sedikit saja. Tidak mudah mencari seseorang yang keberadaannya entah di mana, apa lagi ini sudah bertahun-tahun," ujarku seraya menghela napas kasar. Aku tidak pernah menyangka jika mendidik Farel akan sesulit ini. Anak itu selalu saja berhasil memancing emosiku.
"Bilang sama Ayah. Kenapa kamu sampai nekad mencari Bunda Hana sendiri? Apa hanya karena kangen?"
"Ayah mau aku berkata jujur?" tanyanya. Kini wajahnya beralih menghadapku. Bisa kulihat sorot terluka dari manik matanya yang kini sudah berkaca.
"Ya."
Farel menerawang ke langit-langit rumah sakit sebelum akhirnya berbicara. "Aku tidak betah tinggal serumah bersama Ayah dan Tante Rani. Aku tersiksa, Yah. Setiap melihat kemesraan Ayah bersama dia, aku teringat Bunda. Aku teringat tangis kesakitan Bunda waktu melihat Ayah bersama Tante Rani memasuki kamar Hotel, waktu Ayah menggandeng mesra Tante Rani masuk ke ruangan Dokter Kandungan. Bunda melihat semuanya, Yah. Bunda menangis. Hampir setiap malam Bunda menangisi pengkhianatan Ayah."
Aku terpaku. Mulut ini bungkam seolah terkunci rapat. Satu lagi kenyataan yang baru aku ketahui. Kenyataan yang menambaha sesal dalam diri bertambah berkali lipat.
Hana menyaksikan semuanya, tetapi dia selalu berusaha menyembunyikannya di hadapanku. Ia telan luka dan kesakitan itu sendirian. Bahkan di saat aku dengan lihainya berbohong, ia masih bisa tersenyum dan mempersiapkan semua keperluanku dengan ikhlas.
Ya Tuhan, betapa jahatnya diri ini pada dia yang begitu tulus mencintaiku.
"Maafkan Ayah, Nak." Hanya itu ... dan lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulutku.
"Ayah tidak ingat ini hari apa?" Farel bertanya seraya menyunggingkan senyum sinis. Rasa cemas bercampur gugup kembali menyergap. Aku takut telah melakukan kesalahan lagi yang membuat Farel merasa kecewa untuk yang kesekian kalinya padaku.
"Hari apa? Ayah tidak tahu maksud pertanyaan kamu, Nak."
"Sudah kuduga," ujarnya sinis.
"Farel, jangan membuat Ayah bingung dan menebak-nebak. Katakan saja apa yang sebenarnya ingin kamu ucapkan?" kataku yang sudah didera rasa penasaran. Mencoba mengingat ini hari apa dan tanggal berapa, sampai akhirnya ....
"Nak--"
"Aku ingin bertemu Bunda karena dia tidak pernah lupa hari ulang tahunku. Bunda selalu memberiku hadiah yang terselip doa di dalamnya. Bunda ... hanya dia yang bisa mengerti aku. Tapi kenapa Bunda tega meninggalkanku tinggal bersama Ayah. Kenapa Bunda tidak mengajakku pergi bersamanya dan juga Kia." Farel terisak. Tangisnya terdengar memilukan di indera pendengaranku. Aku benar-benar tidak kuat dan tidak punya muka lagi menghadapinya.
Dengan menahan rasa malu, aku keluar dari ruang IGD menuju taman rumah sakit. Di sini aku menumpahkan tangis dan segala sesal yang semakin merajai hati.
Suami macam apa aku ini? Ayah macam apa yang bahkan tidak ingat hari lahir anaknya sendiri? Hanya karena telah memiliki keluarga baru, aku sampai mengabaikan hal-hal kecil yang bisa saja menjadi sumber kebahagiaan Farel.
Bersimpuh kaki ini di atas hamparan rumput. Kutengadahkan kepala menatap langit malam yang pekat. Tidak ada bintang di sana. Seakan mewakili hati ini yang tengah diselimuti kegelapan akibat rasa bersalah dan sesal yang tak berkesudahan.
Hampir satu jam aku meninggalkan Farel sendirian. Setelah puas menumpahkan tangis penyesalan, aku kembali menuju ruang IGD untuk menemani Farel di sana. Kukesampingkan rasa malu demi dia agar tidak merasa diabaikan.
Langkah kaki ini masih terasa goyah, lutut pun rasanya lemas. Aku berjalan lunglai di sepanjang koridor rumah sakit, sampai mata ini tak sengaja menangkap siluet seseorang yang sangat kukenal. Rasa tak percaya seketika menyergap. Namun, rasa penasaran lebih mendominasi hingga kaki ini berlari mengejar dia yang semakin menjauh.
"Hana!"
*
*
Bersambung.