bc

Rindu Untuk Farhana

book_age16+
2.9K
FOLLOW
14.5K
READ
drama
tragedy
like
intro-logo
Blurb

Ketika pasangan mulai mendua, bertahan bukan satu-satunya pilihan bagi Farhana. Ia memilih pergi demi mencari kebahagiaannya di luar sana. Namun, syarat dari sang mantan suami untuk tidak membawa salah satu dari anak mereka membuatnya dilema. Dengan terpaksa, Farhana harus meninggalkan si Sulung Farel untuk tetap tinggal dengan Ibra, mantan suaminya.

Penyesalannya selalu datang di akhir, itu yang dirasakan Ibra. Kehilangan sosok Farhana membuat sebagian hatinya terasa kosong meski sang istri kedua selalu berada di sampingnya. Ditambah sikap Farel yang menjadi pembangkit, membuat Ibra sadar bahwa ia sangat membutuhkan sosok Farhana.

Lantas, ke manakah Farhana bersama putri bungsunya pergi? Mengapa setelah dua tahun semenjak perpisahan mereka, Ibra belum juga bisa menemukan sang mantan istri?

chap-preview
Free preview
Bab 1
Rindu untuk Farhana "Hallo." [Benar ini dengan Bapak Ibra Hardiansyah, orang tua dari Farel Hardiansyah?] "Betul, dengan saya sendiri. Ada apa ya, Bu?" [Farel membuat ulah lagi, Pak. Dia berkelahi dengan murid lain di sini. Saya harap Bapak bisa meluangkan waktu untuk datang ke sekolah. Karena kondisi murid yang dipukuli Farel cukup parah.] "Baik, Bu. Saya akan segera ke sana." [Terima kasih, Pak. Selamat siang.] Kuhela napas dengan kasar. Kupijat kening yang terasa pening setelah mendengar laporan dan panggilan dari sekolah untuk yang kesekian kalinya. Farel Hardiansyah. Putra sulungku bersama Farhana, wanita yang sudah membersamai selama tujuh belas tahun. Wanita yang sudah memberiku dua orang anak, Farel si sulung yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP dan Azkia si bungsu yang saat ini berusia tujuh tahun. Hana, wanita shaliha berwajah ayu nan teduh. Selalu menjadi penenang dikala gundah menyapa. Usapan tangan lembutnya mampu membiusku hingga diri ini kembali tenang. Hana, seorang istri yang sempurna. Bidadari yang Allah beri untuk menjadi pendamping hidup, tetapi sayang telah aku sia-siakan. Kehadiran cinta masa lalu telah membutakan hati ini. Nafsu berbalut kenangan telah menenggelamkan diri dalam kubangan dosa yang tak akan termaafkan. Rani, wanita dari masa lalu yang kini menggantikan posisi Hana. Wanita yang dulu begitu aku inginkan, sehingga dengan bodohnya diri ini mengambil jalan pintas untuk menikahinya tanpa sepengetahuan Hana. Seketika ingatanku menerawang pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Dua tahun menjalani rumah tangga poligami diam-diam, nyatanya telah membuatku berada dalam posisi sulit. Kehamilan Rani yang bermasalah membuatku harus ekstra menjaganya. Dua hari dalam seminggu yang biasa aku berikan untuk Rani, berubah menjadi lima hari sehingga kebersamaanku bersama Hana dan anak-anak makin berkurang. Namun, Hana tak pernah mengeluh. Alasan tugas di luar kota untuk mengurus proyek baru di sana ia percayai begitu saja. Pun saat aku menolak dengan halus ketika ia memberi kode untuk mengajakku bermesraan dengan alasan cape. Hana hanya tersenyum maklum meskipun bisa aku lihat gurat kekecewaan tampak jelas dari wajahnya. Kebohongan demi kebohongan terus aku lakukan demi menutupi bangkai yang aku sembunyikan. Sampai akhirnya, tiba saatnya bangkai itu harus tercium tepat di hari ulang tahun putri kami yang ke lima. Hana terus menghubungiku ketika aku tengah menemani Rani periksa ke Dokter Kandungan. Terpaksa kuabaikan panggilan itu karena sedang fokus mendengarkan penjelasan Dokter. Rani merajuk saat melihatku duduk dengan gelisah. Ia tahu diri ini tengah bimbang antara mengangkat telepon itu atau tidak. Terpaksa ku non aktifkan ponsel demi dia yang tidak ingin waktu kebersamaan kami terganggu. Sampai ... deretan pesan dari Hana yang aku baca ketika waktu sudah hampir pagi, membuat diri ini mengumpat karena kembali telah mengecewakan dan mengabaikan mereka. 10.00 WIB. [Abang benar-benar sibuk? Hari ini ulang tahun Kia. Dia ingin merayakannya bersama Abang. Kalau bisa, Abang luangkan waktu sedikit demi putri kita.] 17.00 WIB. [Bang, Kia demam. Dia terus-terusan manggil Ayah. Pulanglah sebentar saja, Bang.] 21.00 WIB [Kia dibawa ke Rumah Sakit Sastra Medika. Kalau Abang sudah membaca pesan ini, Hana harap Abang langsung menyusul ke sini.] Deretan pesan itu membuatku terperanjat. Gegas kukenakan pakaian kemudian pergi dari apartemen tanpa sepengetahuan Rani yang sedang terlelap. Biarlah nanti saja aku jelaskan padanya. Untuk saat ini, keadaan Kia lebih penting dari segalanya. Kubuka pintu ruang rawat dengan sedikit kasar. Napasku terengah karena berlari dari parkiran sampai ke ruang rawat Kia. Di sana, Hana tengah duduk di samping putri kami seraya membaca mushaf yang selalu ia bawa, sedangkan Farel masih terlelap di sofa yang berada tidak jauh dari ranjang rawat Kia. "Hana--" Wanitaku masih berusaha tersenyum meskipun luka itu terlihat jelas dari manik matanya. Tangan ini diciumnya dengan takzim. Namun, saat diri ini mendekat ingin mengecup keningnya, Hana bergerak mundur seraya membuang muka ke arah Kia. "Sapalah Kia, Bang. Dari kemarin dia menanyakan Abang terus." Kepala ini mengangguk. Kudekati Kia yang masih terbaring dengan mata yang terpejam. "Kia, Sayang. Ini Ayah, Nak. Maaf Ayah baru datang. Kia bangun, dong. Ayah janji akan ajak Kia jalan-jalan terus membeli apa saja yang Kia mau. Bangun ya, Sayang." Terisak diri ini mendapati dia yang tak merespon. Rasa bersalah semakin mendera setelah mendengar cerita dari Hana kalau Kia merajuk sampai tidak mau makan karena aku tidak datang di hari ulang tahunnya. Dua hari Kia dirawat, sedikit pun diri ini tidak beranjak dari dekatnya. Aku ingin mengganti kesalahan kemarin dan menikmati kebersamaan kami. Kuhubungi Rani untuk memberitahu kondisi Kia yang membuatku tidak bisa meninggalkan gadis kecil itu. Meminta pengertian pada dia untuk memberiku waktu bersama mereka sampai Kia benar-benar sembuh. Beruntung Rani mengerti dan mengizinkanku untuk tidak mengunjunginya beberapa hari ke depan. Namun, ada yang berbeda dari Hana. Dia lebih sering termenung dan menjaga jarak denganku. Aku tahu dia masih memendam kekecewaan karena aku tidak hadir di acara ulang tahun putri kami. Sikap diamnya berlanjut hingga kami telah sampai di rumah. Kudekati dia yang sudah berbaring dengan posisi membelakangiku. Kupeluk tubuh ramping itu seraya mengucapkan kata maaf berkali-kali. Beruntung kali ini tidak ada penolakan darinya. Sampai ... ucapan yang keluar dari mulutnya sontak saja membuatku melepaskan pelukan. "Bang ... mari kita berpisah." * * Bersambung.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
19.2K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
202.7K
bc

My Secret Little Wife

read
115.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook