Bab 4

1115 Words
"Farel, buka pintunya. Ayah mau bicara!" "Farel!" Tetap tak ada sahutan. Sudah hampir satu jam tubuh ini berdiri di depan kamarnya. Dia tetap bergeming meskipun aku mengetuk pintu dan memanggil namanya beberapa kali. Setelah insiden penamparan itu, Farel terpaksa ikut denganku berkat bujukan dari wali kelas yang kebetulan berpapasan dengan kami. Tanpa sepatah kata pun, putraku keluar dari mobil dan langsung mengurung diri di kamar sejak kami sampai di rumah hingga kini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. "Farel, Ayah minta maaf, Nak. Ayah janji tidak akan mengulanginya lagi. Bilang sama Ayah, apa yang harus Ayah lakukan supaya kamu mau memaafkan?" "Farel." "Sudah, Bang. Biarkan dia menenangkan diri dulu." Usapan lembut di bahu aku rasakan ketika diri ini mulai lelah membujuk dia. Rani menuntunku ke ruang keluarga, mengajakku duduk di sana. "Dia belum makan dari siang, Ran. Abang khawatir nanti dia sakit," keluhku seraya meremas rambut dengan kasar. Merasa menjadi Ayah yang tidak berguna, itu lah yang aku rasakan saat ini. Seharusnya aku bisa lebih bersabar menghadapi sikap Farel. "Biar aku coba bujuk. Nanti sekalian aku bawakan makanan ke kamarnya." "Kamu yakin? Abang saja dari tadi berteriak tidak dia gubris, apa lagi kamu," ujarku ragu. "Namanya juga mau nyoba, siapa tahu berhasil. Abang duduk saja di sini, aku bawain makanan buat dia." Aku menahan lengan Rani ketika ia sudah berdiri. "Nana mana? Sudah tidur?" "Sudah. Aku ke atas dulu, ya." Aku mengangguk. Kepala terasa pening memikirkan sikap Farel dari tadi siang. Menyandarkan tubuh pada sofa, mata ini kupejamkan untuk sekedar mengurangi rasa pusing yang mendera. Sekelebat bayang Farhana hadir dalam ingatan. Biasanya dia yang akan menenangkan Farel jika putra kami sedang merajuk. Hanya dia yang bisa melakukannya. Namun, saat ini keadaan sudah berbeda. Hana telah pergi dan keberadaannya pun entah di mana. Dua tahun lamanya dia menghilang, belum pernah satu kabar pun aku terima. Dia seakan hilang ditelan bumi bersama putri bungsu kami, Azkia. Kia ... entah bagaimana keadaan putri kecilku itu. Kini usianya sudah menginjak angka tujuh tahun. Pasti semakin cantik mirip dengan bundanya. Air mata menetes tanpa bisa aku tahan. Betapa diri ini merindukan keduanya. Andai waktu bisa diulang, tidak akan pernah kesalahan fatal itu aku lakukan terhadap mereka. Suara benda pecah membuatku terperanjat. Gegas kaki ini berlari ke lantai atas tempat suara itu berasal. "Farel, apa-apaan kamu!" seruku saat melihat nampan berisi makanan yang dibawa Rani berserakan di lantai. Emosiku kembali naik melihat Rani yang kini tengah tergugu akibat ulah putraku yang pasti telah menyakitinya. "Jangan membuat kesabaran Ayah habis, Farel. Bunda Rani sudah bersikap baik membawakan kamu makanan. Dia khawatir padamu. Kenapa kamu malah menyakitinya?" geramku. "Siapa suruh. Aku tidak meminta dia membawakan makanan itu. Aku tidak akan luluh hanya karena sikapnya yang sok perhatian!" bantahnya. Tangan ini mengepal. Kuredam emosi yang mulai naik agar tidak kembali menamparnya. Farel tidak takut sama sekali akan tatapan mataku yang tajam. Dia menyeringai kemudian menutup pintu dengan kasar. Blam! ??? Dini hari, rasa haus membuatku terpaksa bangun untuk mengambil air minum. Karena tidak ingin mengganggu Rani, kuputuskan turun ke dapur sendiri. Tepat saat melewati kamar Farel, pintunya sedikit terbuka. Kaki ini perlahan melangkah mendekat dan mengintip dari celah. Putraku tengah duduk termenung seraya memegang segelas air putih di tangan kiri, sedang tangan yang satunya memegang bingkai foto yang begitu aku hafal. Hatiku mencelos ketika menyaksikan Farel menciumi foto itu seraya menggumamkan kata Bunda. Kaca-kaca di mataku pun mulai luruh. Akibat dari keegoisan diri, putraku harus tersiksa karena berpisah dengan bundanya. Perlahan kubuka pintu kamar, kemudian masuk dan duduk tepat di sampingnya yang masih bergeming meskipun menyadari keberadaanku. Kuusap pundaknya dengan lembut hingga dia menoleh sesaat, tetapi kembali fokus pada foto itu. "Apa Ayah tidak rindu pada Bunda juga Kia?" tanyanya lirih. "Tentu. Tentu saja Ayah sangat merindukan mereka." jawabku sembari mengusap titik bening yang mengalir di pipi. "Kalau memang rindu, kenapa Ayah tidak mencari mereka? Apakah karena kehadiran Tante Rani dan juga Nana membuat Ayah enggan melakukannya? Apa Ayah tidak pernah berpikir bagaimana keadaan Bunda sekarang? Sudah makan kah mereka? Tinggal di tempat layak kah mereka? Pernahkah Ayah berpikir sampai ke sana?" cecarnya yang membuatku bungkam, tak mampu memberi jawaban. Tentu saja pemikiran seperti itu sering terlintas dalam benak. Kepergian Hana tanpa membawa apa pun dari rumah ini membuatku sering kali dilanda rasa cemas akan kehidupan yang ia hadapi sekarang. Bukan aku tega, tetapi ego dalam diri ini memerintah untuk mengikuti setiap keinginan Hana karena aku yakin, dia akan kembali setelah merasakan kerasnya hidup di luar sana apa lagi tanpa membawa bekal apa pun. Akan tetapi perkiraanku salah. Hana tidak pernah kembali jangankan untuk meminta rujuk, sekedar menengok Farel pun ia enggan. Separah itu kah luka yang aku torehkan sampai dia mengabaikan putra yang ditinggalkannya? "Kenapa Ayah diam? Beri aku alasan kenapa sampai saat ini Ayah tidak pernah mencari keberadaan mereka? Apa benar karena posisi mereka telah terganti oleh Tante Rani dan juga Nana?" Farel terus mendesakku dengan pertanyaan yang sangat sulit aku jawab. Haruskah aku jujur dan mengatakan yang sebenarnya? "Salah satunya karena itu," jawabku akhirnya. Rahang Farel terlihat mengeras. Tangan ini yang masih berada di pundaknya ia hempaskan dengan kasar. "Ayah benar-benar pria tidak berperasaan. Tidak salah kalau saat ini aku begitu membenci Ayah," desisnya. "Maafkan Ayah, Nak. Katakan apa yang harus Ayah lakukan untuk menebus setiap kesalahan Ayah pada kalian. Katakan ... Ayah pasti akan melakukannya," ujarku penuh keyakinan. Kali ini aku bersungguh-sungguh. Apa pun permintaan Farel akan aku lakukan demi mendapat maaf darinya. "Sungguh? Ayah akan melakukan apa pun yang aku mau?" tanyanya seraya menyeringai. "Ayah bersungguh-sungguh." Wajah Farel begitu serius. Hati ini seketika dilanda rasa cemas, takut ia akan meminta sesuatu yang akan sulit aku kabulkan. "Kalau aku meminta Ayah meninggalkan Tante Rani dan juga Nana, apa Ayah bersedia?" "Permintaan macam apa itu?" Tubuh ini sontak berdiri setelah mendengar permintaan konyolnya. Tidak habis pikir pada dia yang mempunyai pikiran sampai ke sana. Meninggalkan Rani? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan. Selain karena mencintainya, aku tidak ingin mengulang kesalahan dengan membuat Rani menderita setelah apa yang aku lakukan pada Hana. "Tenang, Yah. Aku hanya becanda. Aku tahu kok, Ayah sangat mencintai Tante Rani. Kalau tidak, mana mungkin Ayah sampai tega mengkhianati Bunda demi bisa bersamanya." Farel terkekeh. Ia merebahkan diri ke atas ranjang seraya menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. "Tolong tutup pintunya. Aku mau tidur." "Farel, kita belum selesai bicara," kataku sembari kembali duduk di sisi ranjang. "Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan. Semuanya sudah jelas." "Mintalah hal yang lain asal jangan itu," lirihku yang masih bisa ia dengar. Terbukti Farel kembali bangun dan duduk menghadapku. "Baik. Kalau begitu aku minta Ayah mencari keberadaan Bunda. Bawa dia ke sini dan pertemukan aku dengannya. Setelah itu izinkan aku ikut Bunda, barulah Ayah akan aku maafkan." * * Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD