Bab 3

846 Words
Hari itu adalah hari terakhir di mana aku bertemu dan bercakap dengan Hana. Sempat kuberi ancaman supaya dia mengurungkan niat, tetapi sama sekali tidak mempan. Aku meminta hak asuh Farel dan Kia jatuh ke tanganku. Namun lagi-lagi, wajah Hana yang memelas membuat diri ini tidak tega untuk memisahkan dia dengan anak-anak kami. Akhirnya kesepakatan kami ambil. Hana aku perbolehkan membawa Kia sedangkan Farel tetap tinggal denganku dan juga Rani. Dengan berat hati ia pun menyetujui. Aku tahu diri ini terlalu jahat dan egois. Namun mau bagaimana lagi? Sama halnya dengan Hana, aku pun tidak sanggup jika harus berpisah dengan Farel mau pun Kia. Kini dua tahun telah berlalu semenjak kepergian Hana. Rumah tangga bersama Rani yang kukira akan dipenuhi kebahagiaan nyatanya malah terasa hambar. Ditambah sikap Farel yang semakin menjadi pembangkang, menambah penyesalan diri atas kehilangan sosok Farhana. Aku sadar anak itu hanya ingin meluapkan rasa kecewanya padaku. Ia pun kecewa dengan Hana yang meninggalkan dia begitu saja tanpa membawanya serta. Farel menjadi cuek dan pendiam jika di rumah dan akan membuat ulah jika diluaran sana. Ketukan di pintu membuyarkan lamunan ini. Sosok cantik yang sudah membersamai selama empat tahun muncul sambil membawa paper bag di tangannya. Kuulas senyum tipis untuk menyambutnya. Kecupan di pipi ia daratkan sebelum duduk di meja dengan posisi menghadapku. "Kok enggak bilang dulu mau ke sini?" "Sengaja mau bikin kejutan. Aku sudah masak. Ini semua makanan kesukaan Abang," ujarnya seraya mengangkat paper bag berisi makanan. "Sebenarnya Abang sedang tidak nafsu makan. Tapi karena kamu sudah mau repot-repot datang ke sini cuma buat bawain Abang makan siang, Abang tidak bisa menolak," keluhku. Wajahnya yang semringah berubah sendu. Ia pasti tahu penyebab diri ini kehilangan nafsu makan. "Farel buat ulah lagi?" "Ya. Sekarang Abang diminta datang ke sekolah," terangku sembari memijat kening. Rani bangkit dari duduk, kemudian berjalan memutariku. Tangan halusnya memijat punggung ini supaya lebih rileks. Namun, entah mengapa pijatan ini tidak bisa memberiku ketenangan seperti saat Hana yang melakukannya. "Kita makan dulu saja. Setelah itu kita ke sekolah sama-sama. Aku akan temani Abang." "Boleh. Terima kasih, ya. Kamu selalu mengerti Abang dan bisa bersabar menghadapi sikap Farel." "Itu sudah menjadi tugasku, kan, Bang. Walau bagaimanapun Farel itu anakku juga. Aku harus memberinya kasih sayang yang sama seperti pada Nana," ujarnya. Senyum penuh kelegaan terbit dari bibir ini. Sikap Rani yang seperti ini telah membuatku semakin mengaguminya. Aku tahu dia pun sering merasa bersalah karena ikut andil dalam perubahan sikap Farel. Namun, Rani selalu mencoba sabar menghadapi setiap tingkah laku anak itu. Makan siang kami lakukan dalam suasana hening. Makanan kesukaan yang dibawa Rani memang enak, tetapi tidak seenak masakan Farhana. Selalu ada ciri khas dari masakan mantan istriku itu yang membuat lidah ini ketagihan. Bukan bermaksud membandingkan, tetapi memang Farhana selalu juara dalam hal mengurus rumah tangga. ??? "Silahkan masuk, Pak, Bu. Silahkan duduk." Wali kelas Farel langsung menyambut kami begitu tiba di ruang guru. Putraku berdiri tidak jauh dari meja wali kelas. Kepalanya tertunduk, tidak berani menatap ke arahku. "Seperti yang sudah saya ceritakan di telepon tadi, kali ini Farel membuat ulah lagi. Dia berkelahi dengan temannya sampai hidung Akbar mengeluarkan darah. Ini bukan pertama kalinya Farel berbuat ulah, Pak. Untuk itu kami akan mengambil tindakan tegas dengan memberinya skorsing satu minggu." "Kenapa seperti ini lagi, Nak? Bukankah Ayah sudah sering bilang jangan pernah berkelahi lagi?" Netra ini beralih menatapnya yang kini mengangkat kepala. Pandangan kami beradu, bisa kulihat sorot kebencian dari manik mata itu. Apa lagi setelah melihat Rani yang duduk di sampingku. Tangannya mengepal seakan ingin melampiaskan amarahnya padaku. "Bu, saya minta maaf atas kelakuan anak saya yang lagi-lagi membuat onar. Tolong sampaikan permintaan maaf saya pada Akbar beserta orang tuanya. Biar saya yang akan menanggung biaya pengobatan anak mereka," tuturku. "Baik, Pak nanti akan saya sampaikan. Sekali lagi mohon maaf jika dari kami pihak sekolah harus mengambil tindakan tegas seperti ini. Semoga ke depannya Farel bisa lebih memperbaiki diri dan menjadi murid yang baik." "Aamiin. Kalau begitu kami permisi dulu." "Silahkan, Pak." Setelah berjabat tangan dengan wali kelas tersebut, aku menghampiri Farel dan merangkul pundaknya untuk dibawa keluar ruangan, tetapi tangan ini ditepisnya. Ia berjalan lebih dulu meninggalkan aku dan Rani yang tergopoh mengejarnya. "Farel, tunggu, Nak!" Dia tak menggubris teriakanku. "Farel!" "Ckk, apa?" Dia berhenti dan berbalik. Tatapan matanya begitu nyalang. "Kamu pulang sama Ayah dan Bunda Rani." "Enggak. Aku bisa pulang sendiri," ketusnya. "Jangan buat Ayah marah, Nak. Kita pulang, selesaikan di rumah," bujukku seraya mendekatinya. "Rumah? Rumah yang mana maksud Ayah? Tempat itu bukan lagi seperti rumah untukku. Semenjak kehadiran dia dan anaknya, rumah itu menjadi neraka bagiku!" Farel menunjuk Rani yang matanya sudah berkaca. Istriku itu membekap mulut, mungkin terlalu shock atas apa yang diucapkan putraku. "Jaga omongan kamu, Farel! Dia juga Bundamu! Hormati dia!" bentakku. "Bukan! Bundaku hanya satu, Bunda Hana. Wanita perusak seperti dia tidak pantas disebut Bunda!" teriaknya yang membuatku semakin terpancing emosi. Plak! Tanganku gemetar setelah mendarat di pipi sebelah kirinya. Farel menyeringai sambil menyeka sudut bibir yang berdarah. Tatapannya yang menyiratkan luka membuat diri ini menyesal karena tidak bisa lebih bersabar menghadapinya. "Aku benci Ayah!" * * Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD