“Kamu siapa?” tanya Cinta setelah duduk di dalam mobil. Varen menoleh menatap gadis di depannya lekat.
“Nama aku Varen.” Varen menjulurkan tangannya, tapi Cinta menatap tangan itu sejenak lalu menyambutnya.
“Dari mana kamu tahu namaku?” tanya Cinta teringat beberapa saat lalu Varen menyebut namanya.
“Ada temanku yang tahu kamu, tapi itu tidak penting sekarang,” jawab Varen membuat Cinta mengernyit.
“Terus, kamu mau bicara apa?” Cinta merasa tidak nyaman dengan tatapan Varen. Pikirannya berkelana apa jangan-jangan orang tuanya mengirim pria ini untuk dijodohkan dengannya, sama seperti n****+-n****+ yang pernah ia baca. Sering kali tokoh pria memberi kejutan.
“Kamu kenal dengan Ervin, kan?” tanya Varen. Cinta mengangguk pelan. Varen tersenyum tipis memperlihatkan senyum di wajah tampannya.
“Ada apa dengan Ervin?” tanya Cinta. Varen meraih tangannya membuat gadis itu membeku.
“Apa kamu menyukainya?” Cinta terlihat gugup, tapi ia tetap mengangguk pelan.
“Aku ingin kamu melakukan sesuatu,” kata Varen dengan senyum yang semakin lebar.
***
“Kamu lanjut ke BAB satu,ya,” kata dosen cantik di depannya. Ervin memasukkan kertas dan buku-bukunya ke dalam tas sebelum pamit keluar. Dia sangat lega setelah sharing dengan dosennya prihal skripsi yang akan ia buat. Ervin tidak ingin menunda sidangnya tahun ini. Bagaimana pun ia harus segera bekerja untuk Elina. Entah mengapa ia sangat bersemangat.
“Mister.” Ervin berbalik menatap Elina yang berlari mendekatinya.
“Elina pelan-pelan!” teriak Ervin memperingati. Elina seketika menghentikan langkahnya. Ia mengatur napas sejenak lalu berjalan pelan seperti orang mengendap-endap.
“Mister,” panggil Elina dengan suara rendah seperti orang sedang berbisik.
“Kenapa Elina?” kata Ervin ikut-ikutan berbisik. Elina langsung memeluk lengan Ervin.
“Maaf … aku lupa. Dia … baik-baik … saja … Mister … nggak … perlu khawatir,” kata Elina masih berbisik dengan jeda di setiap kalimat.
“Kamu jangan kayak gitu lagi. Ingat kamu lagi hamil.” Ervin ikut berbisik.
“Iya … Mister,” sahut Elina tanpa mengubah intonasi suara.
“Kok kita jadi bisik-bisik sih? Kamu ngapain bicara terbata-bata?” tanya Ervin yang baru sadar kalau sejak tadi mereka menurunkan intonasi suara.
“Mister sendiri yang nyuruh pelan-pelan,” sahut Elina yang kini sudah bicara normal lagi.
“Maksud aku larinya pelan-pelan.”
“Berarti aku boleh lari dong?” tanya Elina membuat Ervin mengusap wajahnya.
“Bukan lari, tapi jalannya jangan lari.”
Elina menekuk alisnya. “Kok jalannya lari, emangnya dia mau ke mana?”
Ervin mengusap leher belakangnya. Perkara salah bicara membuat percakapan mereka jadi panjang lebar.
“Kita pulang saja, Elina. Kayaknya kita perlu istirahat.”
Ervin menggandeng tangan Elina. Mereka jalan bersisian tanpa melepaskan genggaman tangan. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi menatap iri mengira mereka adalah sepasang kekasih.
Ervin mengeluarkan jaketnya dari tas lalu memakaikannya pada Elina. Kebiasaan Elina tidak suka memakai jaket ketika naik motor membuat Ervin takut istrinya kepanasan atau kulitnya terbakar sinar matahari.
“Nanti aku beliin jaket buat kamu biar nggak masuk angin,” kata Ervin sembari menarik resleting jaket. Elina menerima helm yang Ervin berikan lalu memakainya. Satu lagi hal yang membanggakan dari Elina adalah bisa memakai helm sendiri.
“Mister mau ngasih tahu papa dan mama aku gak?” tanya Elina saat Ervin naik ke motor.
“Kamu mau ngasi tau sekarang?” tanya Ervin seraya menyalakan mesin motor. Elina segera naik lalu memeluk pinggang Ervin.
“Sebentar lagi papa ulang tahun. Sekalian saja aku kasih kejutan.”
Ervin menoleh ke samping. “Boleh sekalian ngundang keluarga mama aku biar semuanya ngumpul,” usul Ervin. Elina mengangguk setuju lalu merebahkan kepalanya di punggung Ervin. Rasanya sangat nyaman berada di dekat suaminya. Elina ingin selalu bersama Ervin entah karena efek bayi atau dia yang semakin cinta.
***
Elina melempar tasnya ke sofa saat sampai di rumah. Wajahnya masih pucat setelah sempat mual-mual di jalan. Ervin meletakkan tasnya di meja lalu pergi ke dapur mengambil air.
“Minum dulu, El.” Elina menerima air yang Ervin berikan. Melihat wajah pucat istrinya membuat Ervin tidak tega. Ia menarik Elina ke dalam dekapannya seraya mengusap punggung gadis itu.
“Masih mual?” tanya Ervin.
“Udah enggak,”sahut Elina lemas. Ervin mengeratkan pelukannya pada Elina membuat gadis itu memejamkan mata.
“Mister jangan tinggalin aku, ya,” gumam Elina. Ervin mencium kening istrinya cukup lama.
“Iya, aku nggak akan pergi.”
Elina melepas pelukan mereka. Keduanya saling bertatapan dalam diam. Perlahan Elina memejamkan matanya, Ervin tahu apa yang diinginkan sang istri. Ia tersenyum sebelum mencium lembut bibir ranum Elina.
Sudah lama Elina tidak bermesraan dengan Ervin, bahkan ciuman mereka bisa dihitung dengan jari. Ervin melepas pagutan bibirnya ketika ponselnya berdering.
“Sebentar, ya.”
Ervin beranjak membuka tasnya untuk mengambil ponsel . Panggilan telepon dari Cinta. Ervin menatap Elina dan ponselnya bergantian. Ia bingung apakah harus menerimanya atau tidak. Terpaksa Ervin menolak panggilan itu. Ia tidak ingin keromantisan rumah tangganya terganggu.
“Siapa yang telepon Miste, gak tahu orang lagi ciuman apa?” kata Elina membuat wajah Ervin memerah. Sudah dua tahun pernikahan mereka Ervin masih canggung menyentuh istrinya, tapi Elina terlihat santai setiap kali mereka bermesraan. Ervin kembali duduk di tempat semula.
“Teman aku. Mungkin tanya kabar.” Elina mengangguk pelan tidak mau ambil pusing. Lagi. Ponsel Ervin berdering membuat Elina menatapnya.
“Angkat saja Mister, mungkin penting.”
Cukup lama Ervin berpikir sampai akhirnya Elina mengangguk sekali lagi. Ervin menggeser tanda hijau di layar ponselnya lalu berjalan menjauhi Elina yang kini sibuk mencari saluran televisi.
“Iya, Cinta, ada apa?” Ervin memelankan suaranya. Terdengar isak tangis dari seberang sana membuat Ervin khawatir.
“Ervin… hiks… hiks….” Suara Cinta bergetar membuat Ervin panik. Sesekali Ervin menatap istrinya yang sibuk menonton.
“Apa yang terjadi, Cinta? Kamu ada di mana sekarang?” tanya Ervin yang berusaha tetap tenang. Suara tangisan itu semakin kencang membuat pikiran Ervin kacau.
“Aku… aku ada di hotel. Ervin tolong aku.”
Cinta menangis tersedu membuat Ervin iba. Tatapan Ervin tertuju pada Elina yang sedang bersantai menikmati kue kering sambil menonton tv.
“Oke, kamu tenang. Kirim alamat lengkapnya, aku akan segera ke sana.”
Ervin memutuskan panggilannya setelah Cinta menjawab. Sekarang ia harus mencari alasan untuk bisa keluar rumah.
“Elina,” panggil Ervin. Gadis itu hanya bergumam sesekali tertawa melihat Spongebob bertingkah aneh.
“Aku keluar dulu, ya, teman aku telepon dia mengalami musibah,” kata Ervin. Elina menegakkan tubuhnya menatap Ervin.
“Musibah apa?” tanya Elina.
“Aku juga nggak tahu tapi sepertinya serius. Dia sampai nangis gak bisa bicara.” Ervin was-was melihat reaksi Elina.
“Mister pergi saja aku nggak apa kok di rumah sendiri,” ujar Elina membuat Ervin lega.
“Aku pergi dulu, ya.” Ervin segera mengambil jaketnya yang tersampir di sofa lalu menyambar kunci motor yang ada di meja.
“Mister hati-hati!” teriak Elina saat melihat Ervin buru-buru. Ervin bergegas menuju ke tempat Cinta. Beberapa saat sebelum memacu motornya Ervin sudah mengaktifkan maps di ponsel lalu menyambungkannya dengan headset Bluetooth yang ia punya. Ia tidak perlu melihat ponselnya untuk tahu alamat hotel tempat Cinta berada.