Sebuah Rencana

1327 Words
Setelah menata semua barang belanja di dapur, Ervin bergegas ke kamar mengambil handuk lalu mandi. Kemarin ia tidak sempat membereskan semua barang yang ia beli bersama Elina. Ia terlalu lelah sehingga memutuskan untuk istirahat. Saat melintasi kamar istri dilihatnya Elina sedang merapikan tempat tidur. Ervin mengulas senyum tipisnya lalu beranjak ke kamar mandi. Baru saja ia membasahi tubuhnya dan mengusapkan sabun ke badan tiba-tiba pintu kamar mandi di gedor. “Mister!” panggil Elina tidak sabaran. Ervin yang sedang mencuci muka segera mengguyur wajahnya dengan air. “Iya, ada apa?” sahutnya dari dalam. Ervin melanjutkan mandinya sembari mendekatkan telinganya pada daun pintu. “Cepat keluar, perut aku sakit.” Ketukan pintu kamar mandi menganggu Ervin. Ia segera mengguyur tubuh dengan air lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk. “Ia, sebentar.” Ervin menyampirkan bajunya ke bahu. Ia lalu membuka pintu kamar mandi sebelum istrinya membobol masuk. Elina yang sudah tidak sabar segera menarik Ervin keluar lalu menutup keras pintu toilet. “Elina, ingat biaya penyusutan,” kata Ervin memberi isyarat supaya Elina berhati-hati ketika menutup pintu. “Aku sudah tidak tahan Mister!” teriaknya dari dalam. Ervin segera pergi dari kamar mandi. Sebentar lagi ia harus ke kampus untuk bertemu dosen. Setelah selesai berpakaian rapi ia pun keluar sembari menenteng tas. Elina sudah di dapur terlihat sibuk membuat makanan untuk makan siang mereka. “Mister makan dulu.” Elina menyiapkan makanan yang sempat mereka beli sepulang dari mall. Ervin menarik kursinya sementara Elina masih sibuk membuat s**u. “Mister mau?” Elina menyodorkan s**u yang baru ia seduh pada Ervin. Jelas pria itu menolaknya. Ia tidak mau minum s**u ibu hamil, mau taruh di mana harga dirinya sebagai pria. “Mau s**u yang alami,” goda Ervin. Elina menarik kursi untuk duduk di depan suaminya. “Idih, gak baik tahu. Itu tetangga ujung jalan punya sapi. Mister mau nyusu di sana?” Ervin menopang dagunya mendengar ucapan Elina. Padahal ia ingin menggoda istrinya, tapi pikiran mereka tidak sejalan. “Nggak jadi. Aku minum air putih saja.” Ervin mulai menikmati sarapannya sementara Elina masih berkutat dengan s**u panasnya. “Mister ngapain ke kampus? Katanya tinggal buat skripsi?” Elina mencium wangi parfum Ervin yang harumnya lebih soft. “Mister beli parfum baru ya?” tebak Elina. Ervin mengangguk. Penciuman dan ingatan seorang istri tidak pernah meleset. “Ada perbaikan judul, terus ada beberapa buku yang perlu aku pinjam di perpus. Kamu nggak ke kampus?” Ervin meminum airnya setelah selesai makan. Elina juga meletakkan gelas susunya yang sudah kosong. Kini ia beralih pada roti yang sudah diolesi selai coklat. “Ke kampus, tapi malas. Rasanya ingin tidur seharian,”ujar Elina. Ervin sudah paham bagaimana perubahan perasaan istrinya. Elina yang aslinya memang malas, ditambah hamil jadi makin malas. Di sinilah Ervin merasa dibutuhkan. “Nggak boleh malas. Kamu harus tetap ke kampus kecuali memang sakit. Sekarang mualnya nggak mengganggu, kan? Dokter juga sudah ngasi obat mual,” kata Ervin. Elina tidak menjawabnya, ia asyik menikmati santap siangnya. “Mister kenapa bisa ganti judul? Emang yang lama judulnya apa?” tanya Elina. Ia coba mengalihkan topik pembicaraan. Ervin menuangkan air putih ke gelas kosong lalu meletakkannya di depan Elina. “Mau tahu?” Elina mengangguk sembari meminum air yang Ervin berikan. “Judulnya Cara Menghitung Besar Cinta Pasangan Dengan Logika Matematika,” kata Ervin membuat Elina speechless. Ervin ingin tertawa melihat wajah bingung istrinya. Ia tidak menyangka Elina akan berpikir sekeras itu. “Emang bisa?” Elina masih penasaran. “Bisa dong. Biar pasangan bisa menghitung cinta mereka dan semua itu harus dibuktikan dengan logika,” kata Ervin. Elina mengusap dagunya sambil berpikir. Ervin tidak tahan melihat wajah lugu istrinya. Ia tertawa membuat Elina kesal. Gadis itu sadar kalau dia telah dibohongi oleh Ervin. “Mister aku tahu kalau aku itu bodoh, tapi jangan dibodoh-bodohin.” Elina merajuk membuat Ervin menghentikan tawanya. Sudah lama dia tidak mengerjai Elina, karena tugas kuliah yang menumpuk mereka jadi jarang bergurau. “Iya, maaf. Kamu sudah selesai makan? Aku tunggu di depan ya, kita berangkat bareng.” Ervin membawa piring kotornya dan milik Elina ke tempat pencucian. Sementara Ervin mencuci piring Elina bergegas ke kamarnya untuk bersiap. *** “Elina.” Naura melambaikan tangannya saat Elina dan Ervin berjalan di koridor. Di samping Naura ada Gina yang tidak kalah senangnya melihat sahabat mereka datang. “Mister aku pergi sama mereka, ya.” Ervin mengangguk membiarkan Elina pergi bersama temannya. “Jangan lari,” kata Ervin memperingati. Elina berjalan cepat ke tempat temannya. Ia berbalik untuk melambaikan tangan pada Ervin. Setelah Elina menjauh Ervin bergegas ke ruang kelas. Lima belas menit lagi dosen pembimbing mereka akan datang. Beruntung Ervin tidak merasakan main petak umpet dengan dosen seperti temannya yang lain. Ia dan lima temannya yang lain sangat beruntung mendapatkan seorang dosen yang disiplin dan tidak suka membuang waktu. Bahkan sering kali sang dosen bertanya pada mereka di group chat kapan mereka bisa bertemu untuk bimbingan. Dunia Ervin sudah terbalik,tapi ia sangat menghargai dosen pembimbingnya yang terkenal sibuk dengan bisnisnya. Ervin bersiul-siul sembari memainkan kunci motornya di tangan. Ponselnya bergetar membuat ia menghentikan langkah. Sebuah pesan dari Cinta. Ervin tidak membuka pesan itu, ia memlih untuk mengabaikannya. Setelah menghilang selama sebulan tiba-tiba Cinta kembali menghubunginya. Ervin tidak mau ambil pusing, lagi pula ia tidak punya hubungan khusus dengan Cinta. *** Elina mengaduk teh hangat tawarnya sejak tadi. Gina dan Naura sedang menikmati makanan dengan lahap. Sesuatu mengganjal di pikiran gadis itu. Apakah harus memberitahu temannya prihal kehamilan atau justru merahasiakannya. “Kamu kenapa, El? Dari tadi diem aja. Ada masalah sama Kak Ervin?” tanya Naura. Sejak tadi ia memperhatikan Elina yang melamun. “Eh? Enggak. Aku sehat kok cuma tadi pagi sempat masuk rumah sakit,” kata Elina. Naura dan Gina menghentikan makannya. Ia menatap Elina khawatir. “Kamu sakit?” tanya Gina. Elina menggeleng. Naura dan Gina saling berpandangan. “Terus siapa yang sakit?” tanya Naura. Elina meminum teh hangat sebelum cerita dengan dua sahabatnya. “Tadi pagi aku sempat mual terus Mister nganter ke rumah sakit. Dokter bilang kalau aku―” Elina mencondongkan tubuhnya membuat kedua sahabatnya melakukan hal yang sama. “―hamil,” lanjutnya. Naura dan Gina terdiam dengan mulut terbuka lebar. Mereka sangat kaget mendengar kabar kehamilan itu. Elina meletakkan telunjuknya di depan bibir. “Jangan bilang-bilang,” bisik Elina. Naura dan Gina kompak mengangguk tanpa berucap sedikit pun. Mereka kembali menegakkan tubuhnya. Naura dan Gina saling bertatapan, tanpa Elina duga kedua temannya berteriak histeris. “AAAA!” Elina kaget, terlebih semua mata kini mengarah ke meja mereka. Ia merasa malu dengan tingkah dua sahabatnya. Elina menutup wajahnya dengan selembar menu yang dilaminasi. “Selamat Elina,” ucap Naura dan Gina bahagia. Mereka pindah duduk di samping Elina lalu memeluknya. Naura sangat bahagia mendengar kehamilan sahabatnya. Ia pikir dengan kabar ini Varen bisa melepas Elina. Pria itu bisa lebih cepat move on dan mencari pengganti Elina. *** Varen menghentikan mobilnya di halaman kampus yang cukup luas. Mobil mewah berwarna hitam miliknya berhasil mencuri perhatian para mahasiswa. Kaca mata hitam bertengger di hidungnya. Paras yang tampan ditunjang dengan tubuh jangkung membuat Varen seketika menjadi magnet para gadis. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana ketika berjalan memasuki gedung universitas. Tidak ada yang berkedip ketika ia berjalan melintas di depan mereka. Varen mampu membius semua mata yang menatapnya. Varen menurunkan kaca matanya untuk melihat ruangan mana yang ia masuki. Ia kembali memperbaiki letak kacamatanya setelah memastikan ruangan yang ia masuki benar sesuai informasi yang ia dapatkan. Semua orang yang ada di kelas itu menatap ke arahnya kecuali satu gadis yang duduk memunggungi Varen. “Kamu yang bernama Cinta?” tanya Varen. Gadis itu menoleh dengan alis tertekuk. Varen membuka kaca matanya membuat para gadis di sana memekik kaget. Pria tampan seperti pangeran di negeri dongeng ada di depan mereka. “I-iya?” “Bisa kita bicara?” Cinta menatap teman-temannya sebelum mengangguk menerima ajakan Varen. Semua orang kini memandang Cinta iri saat mengikuti Varen masuk ke dalam mobil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD