Rahasia Kehamilan

1117 Words
Ervin bergegas ke dapur diikuti Elina dari belakang. Gadis itu duduk di kursi memperhatikan suaminya masak. “Kamu mau spaghetti?” tanya Ervin. “Boleh, tapi lama nggak?” Merebus spageti memakan waktu kurang lebih enam menit sementara Elina ingin segera makan. “Nggak kok bentar saja. Kamu duduk di sana biar aku yang masak.” Elina menopang dagunya menatap punggung Ervin. Senyum tipis di wajah cantiknya mengembang saat Ervin mencicipi saos yang dibuat. Elina sangat senang meski hidupnya sederhana, tetapi ia bahagia bersama Ervin. Pria itu mandiri, sering membantu pekerjaan rumah. Ervin tidak pernah memintanya untuk mencuci baju, kecuali ia sibuk. “Sudah ready.” Ervin menghidangkan spaghetti buatannya pada Elina. “Maaf agak lama.” Ia pun duduk di samping istrinya. Elina langsung menyantap makanan buatan Ervin. Suaminya memang tidak pernah mengecewakan. “Mister kayaknya salah jurusan,” ucap Elina sambil makan. Ervin menopang dagunya memperhatikan istrinya makan dengan lahap. “Emang kenapa?” tanya Ervin sesekali menguap. Kantuk yang sempat hilang kini kembali menyerang. “Harusnya Mister pilih jurusan boga biar bisa belajar masak terus jadi chef. Aku ingin lihat Mister masak sama Chef Juna,” kata Elina. “Kalau aku jadi chef gak bisa ketemu kamu dong di kampus. Sekolahnya beda,” sahut Ervin. Elina diam sesaat lalu mengangguk. “Benar juga ya,” gumam Elina. Ia menatap Ervin lalu tersenyum. “Berarti Mister gak salah jurursan,” ujarnya. Setelah selesai makan mereka kembali tidur. Kali ini Elina tidak mengganggu Ervin lagi. Gadis itu tidur lelap di sampingnya. Ervin menatap lekat wajah istrinya. Elina yang sejak kecil menjadi putri kini berubah menjadi gadis sederhana. Ervin menggenggam erat tangan Elina. Gadis ini bisa mengobati rasa sepinya. Walau Elina kadang menyebalkan, tapi Ervin lebih tenang gadis itu ada di sisinya. *** Hari Minggu seharusnya menjadi hari yang menyenangkan, tapi tidak bagi Ervin dan Elina. Minggu ini mereka diminta pulang ke rumah Tristan untuk perayaan kepulangan Bagas―kakak kedua Elina. “Aku kira Kak Bagas lupa punya rumah di Indonesia,” kata Elina pada Kaila. Gadis itu sedang membersihkan selada yang cukup banyak untuk nanti malam. “Kamu pasti kangen sama Bagas, ‘kan?” Kaila mencoba menggoda anak bungsunya, tapi wajah tertekuk Elina berkata lain. Ia tidak suka dengan Bagas. Bisa kacau hari-harinya kalau pria itu di rumah. “Nggak. Aku suka dia tinggal di luar negeri selamanya. Lagi pula Kak Bagas masih kuliah, ngapain juga pulang.” Elina terlihat kesal saat membayangkan kakaknya sendiri. “Entar kalau dikasi oleh-oleh baru deh kamu senang.” Kaila membuka kulkas mencari sirup dan s**u cair. Tiba-tiba dua pelayannya datang memberitahu semua makanan sudah tersaji di meja. Kaila memberikan sirup dan s**u itu pada pelayannya meminta agar mereka membuatkan minuman. “El sudah selesai?” tanya Kaila. “Sudah.” Ia pun memberikan selada itu untuk di cuci. Sayang sekali Ervin dan Tristan tidak di rumah. Mereka sedang menjemput Bagas di bandara. Zee Zee dan Bagus pun belum tiba membuat Elina kesepian di rumah besar ini. “Hubungan kamu sama Ervin baik-baik saja, ‘kan?” tanya Kaila tiba-tiba. Elina yang asyik dengan ponselnya seketika mendongkak. “Baik kok, Ma, emang kenapa?” Elina menyimpan ponselnya setelah mengirim pesan pada Ervin. Kaila duduk di sofa samping Elina. “Berumah tangga pasti ada saja masalahnya, mama cuma takut kalau kamu menyimpan masalah sendiri.” Kaila terlihat khawatir dengan putrinya. “Nggak kok, Ma, Ervin baik sama aku. Kalau kami ada masalah dia selalu bisa mencari jalan keluar. Mama nggak perlu khawatir.” Kaila lega mendengar jawaban Elina. Suara mobil terdengar memasuki halaman. Elina bergegas menyambut Ervin dan papanya. Tentu dia tidak akan menyambut Bagas kali ini. Elina berdiri di depan pintu masuk. “Mister,” teriak Elina seraya melambaikan tangan ketika Ervin keluar mobil. Bagas yang melihatnya merasa kesal karena adik satu-satunya lebih menyayangi Ervin. “Elina aku pulang,” teriak Bagas membuat Elina mundur beberapa langkah. Gadis itu berlindung di belakang mamanya saat Bagas ingin memeluk. Kaila beberapa kali meminta mereka berhenti, tetapi tidak ada yang mau mendengar. Rumah besar yang awalnya sepi kini berisik karena ulah Elina dan Bagas. “Elina jangan lari,” kata Ervin memperingati. Elina teringat akan dirinya yang hamil pun membiarkan Bagas memeluknya. Ia hanya pasrah berada dalam dekapan sang kakak. Tepat setelah pelukan mereka terurai Bagus dan istrinya pun datang. Rumah kembali ramai terlebih Zee Zee membawa banyak oleh-oleh untuk Elina dan mertunaya. Mereka baru pulang bulan madu beberapa hari yang lalu. “Elina belum pernah bulan madu,’kan?” tanya Zee Zee saat mereka berada di sebuah kamar. Malam ini Elina dan Ervin akan menginap di rumah Tristan sehingga Elina membersihkan kamarnya yang sudah lama tidak terpakai.Elina menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan ZeeZee. Jangankan bulan madu resepsi pernikahan pun belum digelar. Elina harus bersabar menunggu Ervin selesai kuliah. “Kamu harus coba bulan madu sama Ervin. Biar kalian makin dekat, siapa tahu bisa dapat momongan,” kata Zee Zee sembari barang-barang mahal yang Elina koleksi. Makan malam sebentar lagi, mereka masih punya waktu untuk berbincang berdua. “Kak Zee mau punya anak berapa?” tanya Elina. Dari pada membahas bulan madu lebih baik ia bertanya tentang anak. Elina menunduk menatap perutnya. “Dua saja cukup, aku gak terlalu suka rumah terlalu ramai,” kata Zee Zee sembari mengoles lipstick yang baru diambilnya dari tas. Zee Zee menatap Elina yang sedang mengusap perutnya. “Kamu sepertinya harus bersabar untuk mendapatkan anak,” kata Zee Zee dengan senyum lebar. Elina mengangkat wajahnya dengan senyum merekah. “Sebenarnya aku sedang hamil,” kata Elina sukses membuat Zee Zee terdiam. “APA?” Zee Zee sangat kaget, tanpa sadar ia berteriak. Elina buru-buru meletakkan telunjuknya di depan bibir, memberi isyarat supaya kakak iparnya diam. “Jangan bilang siapa-siapa, Kak. Aku mau buat kejutan.” Zee Zee hanya bisa mengangguk pelan. “Ka-kamu benar hamil?” tanya Zee Zee tak percaya. Baru beberapa minggu lalu saat pernikahannya Elina mengatakan kalau Ervin tidak mau menyentuhnya, tapi sekarang Elina sudah hamil. “Jangan bilang,ya, Kak.” “Kenapa bisa? Maksudnya kenapa Ervin mengingkari ucapannya?” Tampak wajah syok Zee Zee. Ini terlalu cepat, bahkan Zee Zee saja belum hamil. Wajah polos Elina membuat ia semakin tidak percaya. “Itu ….” Wajah Elina seketika memerah mengingat kejadian malam itu. Bukannya menceritakan pada Zee Zee, Elina justru tertawa sambil senyum-senyum sendiri. Perasaannya menghangat saat Ervin ada dalam pikirannya. Zee Zee tersenyum kaku melihat tingkah Elina yang kekanakan. Bagaimana bisa gadis itu menjadi seorang ibu kalau dirinya saja masih bertingkah seperti anak kecil. “El, kamu sehat?” tanya Zee Zee. Elina menatap kakak iparnya lalu mengangguk, tak lama ia menutup wajahnya lagi. Elina merasa salah tingkah setiap kali mengingat Ervin. ‘Jangan-jangan Elina tekanan batin,’ pikir Zee Zee.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD