Selama makan malam tatapan Zee Zee tidak pernah lepas dari Elina. Ia belum percaya bahwa adik iparnya sedang mengandung, terlebih ia tahu bagaimana sifat Ervin yang tegas dan berpegang teguh pada prinsipnya. Zee Zee pikir Elina belum memberitahu Ervin tentang kehamilannya atau adik iparnya sedang berbohong. Zee Zee coba berpikir positif tentang Elina.
“Sayang kamu lagi mikir apa kok melamun?” bisik Bagus. Zee Zee menampilkan senyum lebarnya agar Bagus tidak curiga.
“Nggak kok, aku cuma senang saja kita ngumpul apa lagi kalau nanti ada anak kecil,” kata Zee Zee. Bagus tahu maksud istrinya, sudah dua bulan mereka menikah tapi belum ada tanda-tanda istrinya hamil. Bagus merasa bersalah karena setelah menikah ia sibuk dengan pekerjaannya.
“Ervin kamu sebentar lagi lulus apa yang akan kamu lakukan setelah itu?” tanya Tristan. Daging panggang yang ada di atas meja mengepulkan asap ketika dibalik. Kaila menambahkan potongan daging mentah dan udang pada grill pan. Ada tiga grill pan di atas meja untuk memudahkan mereka memanggang daging.
“Aku akan cari kerja, Pa,” jawab Ervin membuat semua orang menatapnya. Pria itu pintar dan mendapat beasiswa penuh di kampus. Mereka pikir Ervin akan melanjutkan pendidikannya.
“Kamu yakin? Kamu punya waktu untuk belajar lagi kalau kamu mau,” kata Tristan.
“Nilai kamu juga bagus, Vin. Sayang kalau kamu nggak lanjut,” ujar Kaila menimpali. Bagus dan Bagas ikut angkat bicara.
“Bukannya universitas kamu ada program study aboard? Kamu nggak mau coba?” tanya Bagas. Ervin menggeleg pelan. “Aku sudah menolakknya.”
Lagi. Semua orang di ruangan itu kaget mendengar jawaban Ervin. Mereka tidak menyangka kalau Ervin yang mementingkan pendidikan bisa menolak tawaran yang diimpikan banyak mahasiswa.
“Kapan Mister menolaknya?” tanya Elina. Ervin tidak menjawab. Ada rasa sedih setiap kali mengingatnya. Ervin makan daging panggang dengan lahap untuk meredam rasa kecewanya.
“Saat semester lima. Kita sudah nikah mana mungkin aku pergi. Sebagai suami aku harus bertanggung jawab sama kamu,” kata Ervin. Tristan bisa memaklumi keputusan Ervin. Walau menantunya menomor satukan pendidikan, tapi ada hal yang jauh lebih penting yaitu keluarga. Ervin pria yang bertanggung jawab.Ia tidak akan melepas tanggung jawabnya begitu saja.
“Kamu bisa mendapatkan fully-funded dengan nilai kamu yang bagus kalau kuliah di luar. Seperti Bagas,” ujar Bagus. Ervin sangat kagum dengan Bagas. Dia adalah anak orang kaya yag memiliki harta berlimpah, tapi Bagas tidak menjadikan kekayaan orang tuanya sebagai alat untuk bermalas-malasan. Ervin mendapat fakta bahwa Bagas kuliah di luar negeri dengan beasiswa penuh dari Universitas. Tidak heran Elina mengatakan kakak keduanya adalah sultan. Uang saku yang diberikan Tristan disimpannya. Bukan hanya itu, Bagas pernah meminta uang untuk membeli barang bermerek yang nialinya ratusan juta padahal uang itu ia gunakan untuk membuka usaha.
Sekarang Bagas memiliki restaurant di London, tentu restaurant itu bukan hanya miliknya seorang melainkan milik bersama teman-temannya. Tristan baru mengetahui bisnis Bagas hari ini saat mereka bicara di mobil. Ervin yang mendengar cerita Bagas jadi semakin minder. Ia merasa tidak berguna menjadi suami Elina. Usia mereka sama, tapi Bagas sudah sukses sementara Ervin masih tergantung dari uang bulanan yang diberikan mertuanya. Sebagai lelaki jelas Ervin merasa kalah.
Ervin bisa saja mengikuti langkah iparnya, tapi Elina sedang hamil. Sebentar lagi mereka memiliki anak dan Ervin tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menggendong bayi kecilnya saat ia lahir nanti.
“Kakak benar, mungkin aku akan melanjutkan kuliah di dalam negeri. Aku masih memikirkannya,” jawab Ervin. Elina yang memperhatikan Ervin sejak tadi kini tertunduk. Ia yakin alasan Ervin tidak kuliah di luar negeri adalah karena dirinya hamil.
Setelah makan malam selesai Elina memutuskan untuk pulang. Bagas beberapa kali memintanya untuk tinggal, tapi Elina bersikeras tidak mau. Ervin juga sudah membujuknya, tapi Elina masih kukuh ingin pulang.
“Kamu nggak mau tidur di kamar yang mewah itu?” tanya Ervin saat mereka ada di halaman. Ervin sudah memakai jaketnya begitu juga dengan Elina yang kini sudah memasang helm.
“Aku mau di rumah saja meski kecil, tapi hangat. Kalau aku nginep Kak Bagas bakalan ganggu kita,” jawab Elina. Ia segera naik ke motor setelah Ervin menyalakan mesin. Dekapan hangat Elina di punggungnya membuat Ervin nyaman. Mereka menikmati perjalanan pulang dalam diam. Ervin menikmati pelukan Elina sepanjang perjalanan.
Elina segera turun dari motor saat Ervin mematikan mesin.
“Mister mau langsung tidur?” tanya Elina. Ia menunggu Ervin turun dari motor lalu melepas helm-nya.
“Sudah jam sepuluh aku tidur saja. Besok mau ke kampus ketemu teman, mau bahas tugas,” kata Ervin. Elina mengangguk pelan lalu menggandeng lengan suaminya masuk. Saat Ervin akan berbelok ke kamarnya Elina justru menahannya. Ervin menatap istrinya lekat.
“Mister gak sedih waktu nolak beasiswa itu?” tanya Elina. Ervin memegang pundak istrinya membuat tatapan keduanya bertemu.
“Elina kamu masih memikirkan beasiswanya?” tanya Ervin. Elina mengangguk. Kepala gadis itu tertunduk, tangannya mengusap perut yang masih rata.
“Apa karena aku hamil jadi Mister nggak mau lanjut kuliah?” Elina merasa bersalah telah menghambat mimpi Ervin. Pria itu sudah berbaik hati memberikan Elina kesempatan kuliah walau mereka sudah menikah. Tidak adil rasanya kalau Elina menghambat mimpi Ervin untuk kuliah di luar negeri.
“Tidak Elina. Itu tidak ada hubungannya. Kuliah di luar negeri bukan hanya masalah uang, jarak dan keluarga, tapi juga mental. Aku belum siap untuk itu. Kamu jangan menyalahkan diri sendiri, ini keputusanku tidak ada hubungannya dengan kamu apa lagi dengan baby.”
Ervin berusaha membuat Elina nyaman. Mendengar jawaban Ervin membuat senyum istrinya mekar. Suasana hati gadis itu mulai membaik . Ervin bergegas mengganti pakaiannya lalu menyusul Elina ke kamar. Gadis itu belum tidur, ia menunggu kedatangan Ervin.
“Kamu sudah minum s**u?” tanya Ervin seraya duduk di pinggir kasur.
“Sudah,” jawab Elina singkat.
“Sudah minum obat?”
“Sudah.”
Ervin berbaring di samping Elina. Gadis itu merapatkan tubuhnya membuat Ervin memeluk istrinya dari samping.
“Mister mau anak cewek atau cowok?” tanya Elina. Tangannya tidak berhenti memainkan kancing baju Ervin.
“Apa saja boleh asal dia sehat dan ibunya juga sehat,” sahut Ervin. Elina menyamankan posisinya dalam dekapan Ervin.
“Mister mau punya berapa anak?” Elina mendongkak agar bisa melihat wajah Ervin.
“Hhmm, kamu maunya berapa?”
“Empat,” jawab Elina membuat Ervin mendelik.
“Empat? Itu kebanyakan Elina.”
“Emang kenapa? Rumah kita makin rame kalau banyak anak,” sahut Elina.
“Penduduk Indonesia sudah terlalu padat, kamu jangan nambahin terlalu banyak. Satu atau dua anak saja cukup biar pengeluarannya terjaga dan kamu gak pusing,” ucap Ervin panjang lebar.
“Aku gak pusing kok kalau pengeluarannya banyak. Kan Mister yang kerja aku di rumah ngurus anak. Kalau aku capek suruh baby sitter yang jagain beres deh,” sahut Elina membuat Ervin memijit kepalaya. Kapan istrinya mau berpikir panjang.
“Terserah kamu saja aku mau tidur.” Ervin memejamkan matanya.
“Mister gak mau nengok baby malam ini?” tanya Elina sembari mengusap d**a bidang suaminya. Ervin berusaha menahan segala gejolak di tubuhnya. Ia coba mengabaikan Elina dan terus memejamkan mata agar istrinya berhenti menggodanya.