Lima

1925 Words
Vino memperhatikan Gynta merapikan pakaiannya dan saat pakaian Gynta hampir penuh setengah, Vino kembali menghentikannya. Dia membanting koper itu didepan gadis itu membuatnya menjerit. "Kau tidak bisa pergi seenak itu bocah kerdil." Gynta menatap tajam pada Vino. "Aku lebih memilih mati ditengah laut saat kau membawaku kemari daripada aku harus tinggal disini, terlebih dengan pria sepertimu!" Sentak Gynta dan mengambil pakaian untuk dipakainya. Saat Gynta berjalan kearah kamar mandi, Vino menahan lengannya dan menariknya sebelum menyentakkannya didepannya. "Ada apa denganmu, hah? Kau adalah wanita yang sangat menjijikkan. Kau bersikap seenaknya saat denganku dan apa, kau sok baik dan ramah didepan ibuku! Apa yang sedang ku rencanakan love child?" PPLLAAAKK Gynta langsung mengarahkan satu tangannya dan sukses membuat Vino merasa perih dipipi kirinya. Air mata gadis itu menyerbak. Tidak ada orang lain selain lelaki didepannya yang berani melecehkan dirinya. Kenapa lelaki itu mengatainya love child? Apakah lelaki itu tahu masa lalunya sehingga seenaknya mengatakan kalau dirinya adalah anak haram? Apakah lelaki itu tahu siapa kedua orang tuanya yang sebenarnya sehingga berani melecehkannya? "Berhenti! Jangan pernah kau melecehkanku lagi Mr. Mashech. Apa kau tahu siapa kedua orang tuaku sehingga kau berani mengatakanku anak haram? Apa kau tuhan yang tahu kebenarannya?" "Yang aku tahu kau adalah gadis menjijikkan yang tinggal ditengah keluarga Arnold." Jawab Vino tak kalah dingin dan membalas tatapan Gynta seperti mereka mampu membunuh satu sama lain menggunakan tatapan mereka. Gynta memalingkan wajahnya dan langsung masuk kedalam kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Setelah memakai pakaiannya, dia pergi dari dalam hotel begitu saja tanpa mempedulikan Vino yang masih berteriak memanggil dan mencaci maki dirinya. Langkah Gynta terhenti saat dipesisir pantai. Keadaan pantai dimalam hari sangat sepi, napas Gynta memburu beriringan dengan deru ombak. Dia sangat emosi dengan lelaki itu, kenapa hidupnya harus bersama dengannya? Kenapa dia juga harus menikah dengannya? Tanpa sadar tangis mulai terdengar dari arahnya saat mengingat bagaimana cara lelaki itu mengatakan bahwa dirinya adalah anak haram. Kenapa Tuhan menghukum hatinya? Ini sangat menyakitkan jika dibandingkan hidupnya dulu yang pernah dijalani di Itali bersama dengan salah satu orang tua angkatnya. Saat itu usia Gynta menginjak sepuluh tahun, karena kedua orang tua angkatnya yang tidak dikaruniai anak bersedia mengasuh dirinya dan saat kedua orang tua angkatnya itu sudah mempunyai anak, mereka menyerahkan Gynta pada orang tua angkat yang lain. Disana dirinya dibawa tinggal di Itali, orang tua angkatnya saat itu sangatlah berbeda dibandingkan yang lain, kedua orang tuanya selalu menyiksa dan memukulnya bahkan saat dirinya tidak melakukan kesalahan apapun. Saat itu Gynta kabur dari rumah menuju kesalah satu panti asuhan dan kembali tinggal dipanti asuhan sebelum kembali menemukan orang tua angkatnya yang baru. Sekolahnya pun tak jarang selalu terputus dan kembali dilanjutkannya. Hidupnya memang rumit dan itu selalu mengajarinya untuk tegar. Namun saat lelaki itu, saat suaminya mengatakan bahwa dirinya adalah anak haram, itu sudah mampu membunuhnya, membunuh menggunakan belati paling tajam dan ditusukkan tepat dijantungnya sehingga membuatnya mati saat itu juga. Gynta tertawa lirih, tawa yang pedih. Mungkin Tuhan saat ini sedang menghukumnya, begitu pikirnya. Tapi atas kesalahan apa Tuhan menghukumnya sehingga membuat dirinya memohon untuk mati saat itu juga? Apa Gynta pernah membunuh seseorang? Atau tidak, maksudnya apa Gynta pernah menyakiti hati orang lain sampai orang itu juga mempunyai pikiran yang sama, memohon untuk mati saat itu juga? Kalau memang iya, kapan dia melakukannya? Gynta melepaskan sandalnya dan melangkah mendekati air laut dengan menundukkan kepalanya. Air laut itu sudah membasahinya hingga mata kaki. Air itu terasa dingin dan menenangkan. Meskipun dirinya tidak terlalu menyukai pantai karena memang tidak bisa berenang, tapi merasakan air laut yang menyentuh kakinya serasa memadamkan emosi dalam dirinya. Gynta menengadahkan kepalanya menatap bintang-bintang yang bercahaya dengan malu-malu. Satu tangannya terangkat seperti ingin memetik satu bintang yang bercahaya paling terang diantara bintang lainnya. Tanpa sadar Gynta seperti terhipnotis, dirinya tersenyum dan tertawa saat mencoba menjinjit untuk meraihnya. Dirinya berjalan semakin kedepan membuat setengah dari tubuhnya sudah masuk kedalam air. Saat Gynta hampir terjatuh karena permukaan pasir dibawah laut tidak rata dan air laut sudah memenuhi tubuhnya sampai dadanya ada sebuah lengan yang menarik dan membalikkan tubuhnya lalu memeluknya posesif. Gynta mematung merasakan pelukan itu semakin erat tapi anehnya Gynta pernah merasakan pelukan ini. Pelukan yang sama saat dirinya sedang merasakan jatuh hingga membuat hatinya terluka. Tapi kapan? Kapan dirinya merasakannya? Memang Gynta kurang bagus jika harus mengingat masa kecilnya terlebih saat usianya belum menginjak dua belas tahun karena dirinya pernah mengalami trauma sehingga melupakan masa kecilnya yang terasa membebaninya. "Jangan melakukannya lagi. Dasar bodoh! Kalau kau marah padaku jangan seperti ini caranya!" Gertak Vino masih memeluknya. Vino terkejut saat mengikuti Gynta menuju pantai. Dirinya mengira kalau Gynta akan bunuh diri saat sedang berbulan madu dengannya karena perkataannya. Dia tidak ingin Gynta melakukan itu, entahlah. Ada sesuatu dari dalam hatinya yang membawanya mengikuti Gynta hingga memeluknya seperti sekarang ini. "Berjanji padaku. Jangan kau mencoba bunuh diri saat sedang bersamaku. Terlebih berbulan madu denganku. Aku tidak ingin dituduh kau mati karenaku." Ucapan Vino menyadarkan Gynta kalau saat ini yang memeluknya tak lain adalah lelaki itu, iya dia adalah suaminya, Alvino Mashech. Gynta langsung melepaskan pelukan Vino dan mendorong lelaki itu menjauh. "Apa yang kau lakukan, hah?! Apa kau lupa apa yang aku katakan tadi? Dan apa yang kau pikirkan? Kau bilang aku akan bunuh diri karenamu? Otakmu memang sudah tidak waras!" Gertak Gynta dan pergi menjauh darinya menuju kepesisir pantai. Saat Gynta berhasil berjalan hingga air hanya mencapai lututnya, dirinya meringis karena menginjak sesuatu. "Aakkhh.." Vino yang berjalan dibelakangnya langsung menghampirinya. "Kenapa?" Tanyanya khawatir. "Entahlah. Sepertinya aku menginjak sesuatu." Jawab Gynta dan kembali meringis saat ingin melanjutkan langkahnya. "Sini. Aku gendong." Tawar Vino dan memutari Gynta lalu membelakanginya. Gynta sempat terdiam memperhatikan punggung kokoh milik suaminya. Apakah dirinya harus menerima tawaran suaminya? Tapi bukankah lelaki itu sudah menyakitinya beberapa menit yang lalu? Gynta mendorong punggung Vino membuat lelaki itu hampir tersungkur. "Tidak perlu!" Vino merasa kesal padanya sehingga masih berdiri memperhatikan Gynta yang masih mencoba melanjutkan langkahnya. "Aakkhh...aduh perih..." Keluh Gynta. "Kau benar tidak ingin aku gendong? Sebelum aku berubah pikiran dan membiarkanmu berdiri disana semalaman." Ujar Vino dan melipat kedua tangannya didepan dadanya sembari menatap Gynta menantang. Gynta melirik kearahnya dan kembali melanjutkan langkahnya. "Akhh..." Ringisnya dan menggigit bibir bawahnya karena perihnya semakin terasa terlebih saat ini dia berendam di air garam. Karena merasa masih cukup jauh berjalan menuju hotelnya, Gynta menghela napas dan bergumam membuat Vino menegang sesaat waktu mendengar gumaman gadis itu. "Alvin, tolong aku." Lalu kembali menoleh kearah Vino. "Hanya untuk hari ini saja aku menerima tawaranmu." Ucap Gynta acuh. Vino mengerjapkan matanya dan mencoba bersikap biasa lalu berdiri membelakangi Gynta. "Cepat." Ujar Vino. Gynta pun merangkul leher Vino dan mengangkat tubuhnya menggantung dipunggung Vino sedangkan Vino meraih kedua kaki Gynta lalu menggendongnya. Saat mereka sudah keluar dari dalam air, Vino menundukkan tubuhnya untuk mengambil sandal Gynta membuat gadis itu semakin erat memeluk lehernya karena takut terjatuh. Sepanjang jalan mereka hanya diam dengan pikiran masing-masing, pikiran yang sama. Mereka sama-sama pernah merasakan gendongan itu. Tapi Gynta yang tidak suka dengan masa kecilnya mengabaikannya begitu saja. Lagipula dia tidak ingin mengorek kembali kenangan-kenangan lama yang menyakitkan. Sedangkan Vino menginginkan waktu berhenti berputar saat itu juga agar dirinya bisa merasakannya lebih lama. Sesuatu yang dirindukannya selama dua puluh tahun ini seperti keluar didepannya. Dia sangat merindukannya, merindukan tata kecilnya yang saat ini entah ada dimana. Kalau saja Vino mempunyai pilihan, mungkin dia akan memilih ikut dengan tatanya bersama dengan pengasuh barunya yang entah dimana. Gynta mengerutkan keningnya karena Vino berjalan begitu sangat lambat. Apakah Vino kelelahan karena menggendongnya? Apakah dirinya terlalu berat? Setahu Gynta berat badannya saat itu hanya 48 kg saja. Apakah itu terasa berat untuk pria bertubuh besar dan kuat seperti Vino? Atau otot-otot yang menempel ditubuh Vino adalah otot palsu? "Hei, kenapa lambat sekali? Kakiku sudah kesakitan dan kau berjalan seperti membawa beban 100 kg." Celetuk Gynta membuat Vino menghela napas kasar. Vino merasa bodoh karena sempat berpikir menginginkan waktu berhenti saat menggendong gadis itu. Dirinya menyesal dan mencabut pikirannya kembali. Setelah menghela napas panjang membuat Gynta kembali mengerutkan keningnya, Vino langsung berlari menuju hotelnya sehingga tubuh Gynta terayun-ayun dan sepanjang jalan itu juga Gynta menyumpahi Vino dan berteriak agar Vino menghentikan larinya. - Vino mendudukkan Gynta diatas sofa lalu mengambil air dan kotak P3K sedangkan Gynta masih meringis kesakitan. Vino ikut duduk disamping Gynta dan tanpa aba-aba menarik kaki Gynta lalu menaruhnya diatas pahanya sehingga gadis itu terjatuh menubruk punggung sofa. "Aauuu... Ya Tuhan. Apa kau tidak bisa lembut sedikit dengan wanita?!" Gertak Gynta lalu kembali duduk dan menghadap Vino. "Wanita sepertimu tidak pantas untuk dilembuti tapi kau memang pantas dikasari." Gynta kembali kesal dan mencoba menarik kakinya kembali namun ditahan oleh Vino. Vino mulai membasuh kaki Gynta dan membersihkannya. Gynta sesekali menjerit dan meringis kesakitan saat Vino mengobatinya. Bahkan lengan dan punggung Vino serta rambut lelaki itu menjadi korban saat perih menyerang Gynta. Selesai memberikan obat dan plester dirinya menoleh menatap Gynta. Wajah Gynta saat ini tidak karuan, terlebih bekas airmata Gynta masih tercetak jelas diwajahnya. "Kau tunggu saja disini. Kita makan malam disini saja. Aku akan memesankan makanan." Ujar Vino dan bangkit dari sofa lalu membaringkan kaki Gynta diatas sofa dengan lembut. Gynta menekukkan kakinya dan melihat bekas lukanya yang sudah terbalut plester. "Seberapa parah lukaku?" Tanya Gynta masih memusatkan perhatiannya pada lukanya dan sesekali meringis saat menyentuh plester tersebut. "Hanya luka kecil." Jawab Vino mencoba membuat Gynta tidak panik karena memang luka Gynta cukup dalam dan lebar. Sepertinya Gynta menginjak kerang yang tajam karena panjangnya sampai sekitar 7 cm. Gynta mengerutkan kening. "Benarkah? Lalu kenapa kau memasang plesternya sampai panjang seperti ini?! Apa kau sengaja, hah?" "Aku sudah mengobati lukamu, seharusnya kau berterima kasih padaku." Jawab Vino dan mulai memesankan makanan melalui tabletnya. "Aku ingin kembali kekamarku." Celetuk Gynta dan mencoba berdiri. "Duduklah kalau kau tidak ingin malam pertama kita aku lakukan sekarang." Ancam Vino tanpa menoleh kearah Gynta. Gynta mendengus dan kembali duduk. Kalau dia melawannya sangat tidak mendukungnya untuk melarikan diri, bahkan berjalan saja sudah merasakan sakit apalagi berlari. Gynta duduk dengan gusar didalam kamar Vino. Dia cemas, benar. Sangat cemas dan takut kalau Vino berani menyentuhnya. "Mana makanannya? Lama sekali. Coba kalau kau mengajakku ke Paris. Disana lebih cepat daripada disini, makan saja harus menunggu seribu tahun, Ya Tuhan..." Desah Gynta dan melirik kearah Vino. Vino mengabaikan ucapan Gynta dan menerima telepon dari Amy. "Iya Amy." Jawab Vino membuat Gynta memutar bola matanya karena diacuhkannya begitu saja. "Apa aku mengganggu bulan madumu?" Tanya Amy. "Tidak. Ada apa?" "Evans Vin. Dia... Aku membencinya! Dia berkencan dengan wanita lain didepanku." Jerit Amy membuat Vino menjauhkan ponselnya dari telinganya. "Ya Tuhan. Wanita memang membingungkan." Gumam Vino. Gynta hanya melirik kearah Vino dan mengambil remote televisi untuk menonton televisi. "Mana yah acara yang bagus." Gumam Gynta sembari mengganti-ganti saluran televisinya. "Alvin!!!" Jerit Gynta kegirangan membuat Vino menegang dan menatapnya. Gynta masih senyum-senyum memperhatikan acara televisi kesukaannya Alvin and the Chipmunks tanpa sadar sudah menyedot perhatian Vino. Bahkan Vino tak mendengar Amy memanggilnya. Merasa sunyi dari arah Vino, Gynta menoleh dan bingung mendapatkan tatapan yang tidak biasa dari Vino. Hingga senyum dari bibir Gynta memudar dan menatap Vino. Waktu terasa sangat cepat, Gynta tidak sadar sejak kapan Vino meraih wajahnya dan menciumnya lalu mendorongnya hingga terbaring diatas sofa. Ciuman Vino sangat lembut menyentuh bibir Gynta membuat gadis itu mengerjap beberapa kali mencoba mengumpulkan kesadaran yang hilang dalam sekejap. Kedua mata Vino tertutup rapat saat menikmati ciuman itu. Istrinya yang menjerit memanggil nama kecilnya membuatnya ingat dengan seseorang. Dan saat merasakan bibir istrinya membuat Vino kembali teringat dengan rasa itu, rasa yang ada didalam hatinya yang disimpan selama bertahun-tahun dan hanya tersalurkan melalui kalung yang diberikannya untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD