Gynta kembali kekantor menggunakan taksi. Untung saja dirinya tidak terlambat untuk menghadiri meeting yang harus diwakilinya. Gynta kembali keruangannya dengan wajah penuh rasa kesal. Dia tidak bisa membayangkan jika akan menikah dengan Vino. Itu adalah mimpi buruk baginya.
Pandangan Gynta kembali tertuju pada beberapa berkas diatas meja.
"Ya Tuhan, aku tidak yakin bisa menikmati liburan musim panas." Gumam Gynta dan kembali mengerjakan pekerjaannya.
Sebisa yang dilakukan Gynta, akhirnya dia bisa menyelesaikan sepertiga dari berkas-berkas dimejanya. Saatnya untuk dia pulang karena hari sudah mulai petang. Gynta pun merapikan mejanya dan pergi keluar ruangan.
Saat Gynta sampai di loby, ponselnya kembali berbunyi. Namun dia mengabaikannya, sama sekali tidak ada niatan untuk menerima telepon dari pria yang sudah mengerjainya habis-habisan hari ini. Yang benar saja, Gynta sama sekali tidak ada keinginan untuk menikah dengannya, bahkan hari pernikahannya sendiri saja dia tidak tahu.
-
Seorang wanita terduduk dengan gaun putih menjuntai didepan cermin besar. Penata rias terlihat sibuk mempoles wajah wanita tersebut. Berbeda dengannya, dia justru memikirkan untuk bisa pergi dari pernikahan itu. Dirinya benar-benar tidak ingin berada ditempatnya yang sekarang, dia tidak ingin menikah dengan pria arogan dan menyebalkan baginya.
"Selesai." Gumam Chloe, seorang penata rias sekaligus desainer ternama di Belanda.
Chloe terlihat puas dengan hasil karyanya dan tersenyum manis membuat Gynta memaksakan diri membalas senyumannya.
"Kau tahu, kau adalah pengantin tercantik yang pernah aku lihat. Aku yakin Mr. Mashech pasti puas melihat kau dangat cantik." Ujar Chloe dan membantu Gynta berdiri. "Lihat. Kau cantik sekali bukan?"
Sesaat Gynta terdiam mengamati pantulan dirinya didalam cermin tersebut. Apakah benar ini dirinya? Gynta sampai terkagum melihat penampilannya sampai tak percaya kalau yang berdiri didepannya memang adalah bayangannya, sangat cantik dan menawan. Belum puas mengagumi bayangannya, Mr. Arnold datang menjemputnya.
"Ayo, Gynta. Kau sudah ditunggu." Ujar Mr. Arnold dan mengulurkan tangannya.
Gynta menarik napas panjang sebelum akhirnya menerima uluran tangan ayah angkatnya itu dan mengapit lengannya. "Ya Tuhan, kau sangat cantik sekali hari ini, sayang." Pujinya dan mengelus lembut pipi Gynta.
"Terima kasih, Dad." Ujarnya dan mengikuti langkah Mr. Arnold keluar ruangan menuju altar pernikahan.
Semua mata tertuju pada Gynta saat memasuki altar pernikahan begitupun dengan Vino. Lelaki itu berdiri diujung jalan dengan stelan kemeja khas pengantin pria. Gynta sempat memperhatikan pandangan Vino yang terlihat terkejut dengan penampilan Gynta. Iya. Vino melihat Gynta seperti seorang dewi yang diturunkan dari langit untuknya, sangat cantik dan anggun menawan. Vino tidak bisa menutupi keterkejutannya sampai Gynta dan Mr. Arnold sudah berdiri didepannya.
"Ekhem." Mr. Arnold berdehem karena Vino masih mematung dan tidak menerima uluran tangan Gynta darinya.
Wajah Gynta merona jika Vino terus-terusan menatapnya seperti itu. Dan satu-satunya jalan Gynta adalah menundukkan wajahnya atau membuang wajahnya dari tatapan Vino.
Vinopun ikut merasa malu karena ketahuan memperhatikan Gynta hingga melamun dan menundukkan kepala lalu menerima tangan Gynta dan membawanya agar berdiri bersisihan dengannya.
Selesai janji suci pernikahan diucapkan, Vino dan Gynta berhadap-hadapan untuk berciuman. Vino memeluk pinggang Gynta membuat Gynta membuang wajahnya kembali. Kalau saja bukan dihari pernikahannya, kalau saja tidak ada banyak orang mungkin Gynta akan mencaci maki Vino atas ulahnya yang berani menyentuhnya. Meskipun mereka sudah sah dinyatakan suami istri, namun didalam hati Gynta menolak pernyataan itu.
Vino menyeringai melihat raut wajah Gynta. "Kenapa? Apa yang kau pikirkan bocah kerdil?" Gumam Vino dan memiringkan kepalanya sembari mendekatkannya pada wajah Gynta.
"Lepas." Desis Gynta dan menatap tajam kearah Vino.
"Kita sudah suami istri, sayang." Bisik Vino dan sukses mencium bibir Gynta membuat suara tepuk tangan dan gelak tawa bahagia memenuhi ruangan dalam gedung pernikahan tersebut.
Gynta mencoba mendorong Vino samar dengan kedua tangannya berada didada Vino. Sedangkan Vino semakin dalam mencium Gynta dan melepaskannya setelah menggigitnya membuat Gynta meringis.
Gynta menatap tajam pada Vino sebelum kembali menatap pada tamu undangan dan fotografer-fotografer didalam gedung tersebut.
Resepsi pernikahan berlangsung cukup lama karena tamu undangan dari pihak Vino sangat banyak, terlebih rekan-rekan bisnisnya datang semua. Gynta menghela napas lega saat memasuki salah satu ruangan kamar yang Vino pesankan khusus untuk istirahat dan mengganti pakaian setelah resepsi pernikahannya selesai. Pernikahan mereka sengaja diadakan disebuah ballroom hotel ternama di Belanda, Riez Golden Hotels.
Vino berjalan tepat dibelakang Gynta sembari memperhatikan istrinya tanpa disadari oleh Gynta sendiri.
Entahlah. Melihat Gynta memakai Gaun pengantin yang menjuntai dan tak berlengan membuat sesuatu yang ada dalam diri Vino keluar. Sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Vino sangat ingin menginjak gaun dibagian belakang Gynta yang memanjang untuk menghentikan langkahnya dan langsung memeluknya. Vino sangat ingin melakukan itu hingga tanpa sadar dirinya telah menginjak gaun belakang istrinya membuatnya tertarik kebelakang.
"Akhhh." Pekiknya dan langsung berbalik menatap Vino.
"Hei. Kalau jalan lihat-lihat. Dasar mata ikan." Sentak Gynta membuat Vino terbangun dari lamunannya dan reflek mengangkat kakinya yang menginjak gaun istrinya.
Gynta melanjutkan kembali langkahnya dan duduk disisi ranjang. Vino mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menyadarkan dirinya sendiri karena sudah terpesona oleh penampilan Gynta. 'Benar! Jaga hatimu Vino. Dia adalah gadis gila. Ingat itu.' Batin Vino dan menatap tajam kearah Gynta.
"Aku ingin ke Paris. Pokoknya kalau kau berencana untuk berbulan madu, kita harus ke Paris." Putus Gynta dan mengabaikan tatapan Vino.
"Kau ganti pakaian. Setelah itu keluar. Kita pergi sekarang." Ucap Vino dingin dan langsung keluar.
Gynta hanya mendengus dan langsung mengganti pakaiannya.
Gynta langsung menyusul Vino yang menunggunya didepan kamar. Mereka berjalan dalam diam sepanjang jalan menuju mobil. Vino tak ingin membicarakan kemana mereka akan berbulan madu karena dari awal dirinya memang sudah memutuskan untuk pergi ke Itali.
Vino memfokuskan dirinya dengan ponsel sedangkan Gynta hanya menatap keadaan jalan melalui jendela mobil hingga rasa kantuk yang amat sangat menyerangnya. Sesekali Gynta menguap tanpa mempedulikan pandangan Vino yang meliriknya saat dirinya mendesah kesal, memggeliat dan menguap layaknya tak ada orang lain selain dirinya didalam mobil.
"Dasar, tidak punya rasa malu." Gumam Vino sambil menatap jijik kearah Gynta.
Gynta tak menggubris ucapan sarkatis dari Vino dan lebih asyik menjemput dirinya kealam mimpi.
Gynta terbangun saat merasa tubuhnya terayun digendongan seseorang. Kedua bola matanya masih tertutup dan memeluk mengalungkan lengannya disebuah leher dan semakin memeluknya untuk mencari kenyamanan. Lelaki yang menggotongnya hanya tersenyum dan semakin mendekatkan tubuh Gynta pada tubuhnya.
Sampai di bandara Vino tidak ingin membangunkan Gynta karena tahu wanita itu pasti kelelahan sehingga tak ada cara lain selain menggendongnya menuju helicopter miliknya.
Vino membaringkan Gynta tepat disampingnya duduk. Setelah memakaikan sabuk pengaman, Vino mulai menjalankan mesinnya dan terbang ke Itali.
Selama perjalanan Gynta masih tertidur hingga Vino melandaskan helikopternya disebuah pulau yang cukup sepi. Pulau yang mempunyai luas 320 km tersebut mempunyai pemandangan yang tak kalah mrnakjubkan. Vino memperhatikan Gynta yang belum terbangun. "Semelelahkan itukah pernikahannya?" Gumam Vino dan kembali menggendong Gynta masuk kekamar sebuah hotel. Vino sengaja memilih kamar yang terpisah karena sudah pasti mereka tidak akan bisa tinggal satu kamar. Meskipun jika satu kamar, Vino tidak yakin bisa tidur nyenyak.
Semua pakaian Vino dan Gynta memang sudah disiapkan didalam kamar hotel tersebut dua hari yang lalu karena hotel ini dibooking sejak dua hari yang lalu.
Hari sudah mulai petang, Vino pun memutuskan untuk kembali kekamarnya yang berada sekitar tiga pintu dari kamar hotel Gynta.
-
Gynta menggulingkan tubuhnya, merasa dirinya terbaring diatas ranjang membuatnya terbangun dan membuka matanya lebar-lebar setelah sadar saat ini dia berada dikamat hotek yang asing.
"Ya Tuhan. Dimana aku? Apa aku sudah sampai di Paris? Lalu kenapa pria gila itu tidak membangunkanku? Dan... bagaimana caranya aku bisa berpindah sampai diranjang?" Semua pertanyaan itu semakin memenuhi isi kepala Gynta membuat gadis ity menjadi linglung. Tiba-tiba satu nama terlintas dibenaknya. "Vino?! Ya Tuhan. Tidak. Tidak. Tidak. Apa aku digendong pria gila itu lagi?" Guman Gynta shock dan langsung bangkit dari ranjang. Dirinya menjelajahi seisi ruangan tersebut untuk mencari Vino.
"Tidak ada. Kosong. Lalu..." Gynta semakin bingung dan langsung keluar kamar. Lorong didalam hotel itupun sepi. Gynta mengerutkan keningnya dan semakin cemas. Apakah dirinya tersesat saat dibandara tanpa disadarinya? Atau dirinya mengalami penyakit sleep walking? Semua pertanyaan itu menari-nari diotaknya membuat Gynta mennggelengkan kepalanya mencoba menghilangkan pikiran-pikiran aneh tersebut.
Gynta kembali masuk kedalam kamar dan mencari ponselnya. Dicari nomer baru yang tak disimpan dilayat ponselnya, dirinya langsung menghubungi nomer itu setelah menemukannya.
Satu kali.
Dua kali.
Tidak dijawab membuat Gynta mendesah kesal.
"Astaga! Awas saja kalau tidak diangkat, aku akan memastikan membalas perbuatanmu." Desah Gynta dan kembali menghubungi nomer tersebut.
"Apa?"
Gynta memutar bola matanya mendnegar sapaan ketus dari seberang sana.
"Kau dimana? Cepat jawab."
"Oh... istriku sudah merindukanku ternyata. Apa kau sudah tidak sabar untuk malam pertama kita?"
"Hei!!" Gynta mengerjapkan matanya beberapa kali mendengar kalimat v****r dari Vino. "Kau dimana bodoh? Cepat katakan!"
Vino justru terkekeh. "Tenang saja, nanti malam aku pasti akan datang kekamarmu. Kita akan bersenang-senang malam ini sayang. Aku sudah tidak sabar menikmati tubuh kerdilmu itu. Aku akan membuatmu tidak tertidur sedetikpun saat aku mu-"
Gynta langsung mematikan teleponnya mendengar kalimat Vino yang semakin tidak karuan membuat wajahnya memanas. Dia melemparkan ponselnya pada ranjang dan mulai membuka lemari penyimpanan pakaian. "Padahal aku tidak membawa satupun pakaianku." Gumamnya dan mengambil sebuah mantel berbulu untuk menghangatkan tubuhnya karena dirinya berniat ingin keluar kamar untuk menikmati pemandangan malam hari di Paris.
Saat Gynta sudah berada dilobby hotel tersebut, Gynta menghentikan langkahnya melihat seorang tamu sedang berbicara bahasa italiano dengan resepsionis hotel tersebut. Dia ikut menghampiri meja resepsionis itu dan berbicara dalam bahasa Perancis.
"Sorry Miss. Can you speak English?"
Jawaban atas pertanyaan Gynta yang menanyakan nama hotel tersebut membuatnya tersentak. Dia tidak tahu bahasa perancis? Lalu dimana aku sekarang? Batinnya dan melihat buku informasi yang ada diatas meja resepsionis tersebut.
"Itali?" Gynta terkesiap sehingga tanpa sadar dia membuat suaranya menggema diruangan lobby tersebut.
Setelah sadar atas ulahnya yang menjadi perhatian seorang tamu serta dua resepsionist tersebut membuatnya menunduk malu dan langsung pergi dari hotel tersebut.
"Awas saja kau Vino. Apa dia amnesia? Bukankah aku bilang kalau aku ingin ke Paris? Kenapa dia ke Itali? Ya Tuhan, otaknya memang sudah tidak waras." Gumam Gynta kesal dan menikmati pemandangan petang hari dipesisir pantai bagian utara Itali.
Gynta berdiri dalam diam menikmati deru ombak serta angin laut yang menerpanya. Kedua tangannya terlipat dideoan dadanya. Rambutnya tertiup angin sehingga menutupi wajahnya dan sesekali dirinya menyelipkan rambutnya dibalik telinganya. "Padahal aku ingin ke Paris." Gumamnya dan menghela napas panjang menyesali rasa kantuk yang menyerangnya saat perjalanannya menuju ke Itali. Kalau saja dirinya tak tertidur mungkin saat itu dia bisa protes pada Vino untuk tidak membawanya ke Itali.
Sedetik kemudian Gynta mengerutkan keningnya mengingat sesuatu. Bukankah kalau naik pesawat harus kebandara terlebih dahulu? Apa dirinya juga tertidur saat turun dari mobil dan digendong ke bandara lalu digendong lagi turun dari bandara dan digendong lagi me-. Gynta tidak bisa memikirkannya lebih jauh. Dirinya mendesah dan mengumpat kesal pada suaminya. Gynta langsung berbalik untuk pulang kekamarnya. Dia tidak bisa tinggal di Itali. Yang dinginkannya adalah Paris.
Sampai dikamarnya, Gynta merapikan beberapa pakaiannya kedalam koper berniat ingin berlibur di Paris saja. Setelah semuanya tertata rapi, dirinya langsung masuk kedalam kamar mandi untuk mandi dan setelah itu pergi dari hotel ini tanpa mengatakan terlebih dahulu pada suaminya. Gynta tertawa meledek dirinya sendiri saat sadar kalau sekarang pria gila itu sudah menjadi suaminya.
Sekitar jam tujuh malam Vino keluar dari kamarnya menuju kekamar Gynta untuk mengajaknya makan malam direstoran yang ada dihotel tersebut. Keningnya berkerut dan tatapannya menajam pada koper yang terbuka dan sudah dipenuhi beberapa pakaian disana. Dirinya membanting pintu kamar dan berjalan cepat kearah ranjang lalu melirik sejenak pada pintu kamar mandi yang terdengar bunyi shower.
Gynta menghabiskan waktu hampir dua puluh menit untuk membersihakn tubuhnya. Bahkan dirinya menggosok-gosok berulang kali badannya yang tersentuh oleh Vino pagi tadi meskipun pada hakikatnya tidak akan bisa menghapusnya meskipun ratusan kali Gynta mandi dengan sabun terhandal didunia. Gynta keluar dari kamat mandi dengan memakai jubah mandi dan handuk dikepalanya untuk menutupi rambutnya yang basah akibat keramas.
"Ya Tuhan." Gynta terlonjak kaget saat keluar dari kamar mandi dan berbalik ingin menuju ranjangnya. Dirinya melihat Vino sedang duduk manis diatas sofa dengan menopang salah satu kakinya, kedua tangannya memegang pada punggung sofa tersebut.
"Sudah selesai mandinya istriku?" Tanya Vino dengan menekankan kalimat terakhirnya dan menaikkan sebelah alisnya.
Gynta mengabaikan pertanyaan Vino dan tubuhnya menegang saat menyadari pakaiannya yang sudah ditata rapi didalam koper berserakan begitu saja diatas lantai dan kopernya terkapar didepan meja samping ranjangnya. Gynta menatap tajam kearah Vino dan Vino menatapnya tanpa rasa bersalah. "Kau..." Desis Gynta dan berjalan menghampiri kopernya lalu menaruhnya diatas tanjang.
Gynta mulai memungut pakaiannya satu persatu dan memasukkannya kedalam koper kembali. Vino bangkit dari sofa dan menghentikan Gynta memasukkan pakaiannya kedalam koper dengan membalikkan tubuh Gynta dan membanting koper itu kesembarang arah. "Apa maumu?!" Sentak Gynta, bola mata hazel itu menatap tajam pada Vino.
"Kau pikir kau akan kemana, hah?! Kau ingin pergi begitu saja? Kau akan kabur agar aku dislaahkan oleh kedua orang tuamu yang t***l itu?! Agar mereka menyalahkanku semua karena kau pergi begitu saja setelah kita menikah?! Kalau memang kau tidak ingin menikah denganku, kenapa tidak kau tolak saja saat janji suci itu?!" Gertak Vino dan mencengkeram lengan Gynta.
"Kenapa kau membawaku ke Itali? Padahal aku ingin ke Paris." Gumam Gynta lalu menunduk menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah akibat menahan isak tangisnya.
"Hanya masalah itu kau akan kabur?!" Tanya Vino tak percaya dan menatap Gynta dengan tatapan mencela.
Gynta diam dan menyentakkan lengan Vino lalu mengambil kopernya kembali. Dia tidak suka dengan Itali, sama sekali tidak menyukainya. Oleh karena itu, dia lebih memilih pergi diwaktu malam hari daripada harus tinggal di Itali.