Enam

2527 Words
Vino melepaskan ciumannya saat mendengar ada seseorang yang menekan bel pintu kamarnya. Kedua matanya membuka perlahan diikuti oleh Gynta. Mereka saling menatap satu sama lain sampai bel kembali terdengar. Vino langsung berdiri dan sedikit salah tingkah. "Ah... Em... Kau. Kau tunggu disini. Aku-akan..." Bel berbunyi untuk kesekian kalinya membuat Vino dan Gynta menatap kearah pintu. "Makanannya sudah datang. Kau tunggu disini." Ujar Vino lalu berjalan kearah pintu. "Selamat malam Sir. Ini makanan yang anda pesan." "Siapkan diatas meja." Jawab Vino dan memiringkan badannya untuk memberi jalan para pelayan masuk membawa makanan mereka. Setelah para pelayan itu pergi, Vino kembali duduk disofa tersebut, tentunya memberi jarak agar dirinya tidak hilang kendali lagi dan mencium istrinya. Tapi kenapa Gynta tidak menolaknya? Pikiran itu bergelayutan didalam kepala Vino membuatnya melamun. "Kalau kau tidak mau memakannya, jangan pesan makanan sampai semeja seperti ini. Dasar boros!" Celetuk Gynta tanpa menoleh kearah Vino. Hah, Iya! Kenyataan itu menghantamnya lagi. Kenapa Vino sangat mudah terpedaya olehnya? Wanita itu masih sama meskipun beberapa detik yang lalu Vino merasa ada yang aneh tapi saat istrinya mulai berkata kasar padanya membuat Vino sadar pada dunia nyatanya, dunia nyata kalau istrinya adalah gadis yang sangat menyebalkan untuknya yang selalu bersikap keras kepala dan suka berkata kasar padanya. "Selesai makan cepat pergi dari kamarku dan jangan pernah masuk kedalam kamarku selama kita ada disini." Gumam Vino dan mulai menyantap makanannya. "Hoho. Siapa juga yang ingin berlama-lama disini. Kau sendiri yang menyuruhku disini, jadi tidak perlu meluangkan waktumu untuk mengusirku." Balas Gynta sarkartis. Selesai makan Gynta langsung berdiri membuat Vino tersentak. Dengan langkah gontai Gynta keluar dari kamar Vino dan sesekali mengumpat kesal dan menyalahkan Vino atas semua kejadian sial yang menimpanya membuat lelaki itu menahan keinginannya untuk membantu istrinya pulang kekamarnya saat Gynta hampir terjatuh. Gynta menghela napas lega, setelah hampir memakan waktu sepuluh menit hanya untuk berjalan sepuluh meter sekarang Gynta sudah berada didalam kamarnya. Dan ini untuk kesekian kalinya Gynta menyumpahi suaminya melihat keadaan kamarnya yang seperti kapal pecah. Semua pakaiannya masih berserakan diatas lantai. Karena merasa sangat lelah dan kakinya terasa sakit, dirinya membaringkan tubuhnya begitu saja diatas ranjang dalam keadaan pakaian basah kuyup. - Sudah pukul delapan pagi dan Vino pun sudah selesai sarapan. Dirinya berniat ingin melihat keadaan istrinya saja karena belum keluar sama sekali dari kamarnya. Dan Vino juga yakin mungkin istrinya belum sarapan. Sampai didepan pintu kamar Gynta, dirinya menghubungi ponselnya namun tak diangkatnya hingga tiga kali. "Apa dia masih tidur? Ya. Dia memang pemalas." Gumam Vino dan mencoba membuka pintu kamarnya. Keningnya berkerut saat pintu didepannya terbuka tanpa dikunci oleh penghuni kamar. Apa Gynta sudah keluar dari kamar? Tapi dirinya tidak melihat kalau istrinya keluar dari kamar? Lalu kenapa pintunya tidak dikunci? Vino mendesah mengingat kelakuan buruk istrinya. Dirinya pun langsung masuk kedalam kamar dan melihat Gynta masih tertidur dengan memakai pakaian yang semalam. Bukankah pakaian yang dipakainya semalam basah kuyup? Lalu kenapa Gynta tidak mengganti pakaiannya? Vino berjalan mendekati ranjang dan secercah rasa khawatir menyelimutinya saat melihat wajah Gynta yang terlihat pucat pasi. Vino langsung duduk disisi ranjang dan menyentuh kening istrinya. Suhu tubuh Gynta naik drastis dan Gynta pun masih menutup matanya saat Vino menyentuh wajahnya. "Gynta... bangun... Gynta." Ujar Vino masih mencoba membangunkannya. "Hmmmm..." Gumam Gynta. "Bangun dan kau harus mengganti pakaianmu kalau tidak ingin tambah sakit. Ayo Gynta bangun." Gynta hanya meresponnya dengan gumaman yang tak jelas membuat Vino semakin bingung. Apa Vino harus menggantikan pakaiannya? Tapi kalau tidak nanti Gynta akan semakin sakit. Sekitar jam sebelas siang Gynta mulai sadar. Samar-samar dia mendengar suara Vino membuatnya membuka mata dan melihat Vino sedang membelakanginya. Nampaknya Vino sedang menelepon seseorang, namun Gynta mengabaikan hal itu. Satu tangannya keluar dari balik selimut dan menyentuh keningnya yang terkompres. "Iya Mom. Mungkin besok kami akan pulang." Ujar Vino membuat perhatian Gynta teralihkan padanya. "Kenapa secepat itu Vin? Bukankah baru kemarin kalian bulan madu?" Tanya Maria dari telepon. "Gynta sakit Mom. Jadi mungkin lebih baik kami pulang dulu dan melanjutkan bulan madunya kapan-kapan saja setelah Gynta sembuh." Jawab Vino masih belum sadar kalau Gynta memperhatikannya. "Sakit? Gynta sakit apa Vin? Lalu bagaimana keadaannya sekarang? Memangnya kalian bulan madu dimana? Mommy ingin melihat keadaan Gynta sekarang." Vino hanya menghela napas mendengar semua pertanyaan ibunya. Tidak biasanya ibunya tertarik dan seperhatian itu pada wanita yang berhubungan dengan dirinya. Meskipun Ibunya dekat dengan Amy tapi Maria tidak pernah menunjukkan sikap seperti itu pada Amy. "Kata dokter keadaannya baik-baik saja Mom. Hanya demam dan.." "Hanya demam? Ya Tuhan Vino, istrimu sedang sakit dan kau bilang hanya demam? Dimana Gynta, mommy ingin berbicara dengannya dan memastikan keadaannya sendiri seperti apa. Mommy tidak percaya denganmu Vin kalau kau bilang Gynta tidak kenapa-kenapa." Potong Maria. "Gynta sedang istirahat Mom." "Ya sudah. Nanti kalau Gynta sudah bangun suruh dia hubungi Mommy, mengerti?!" "Iya." Jawab Vino malas. Vino mematikan sambungan teleponnya dan menoleh kearah ranjang. "Gynta..." Gumamnya melihat Gynta menatapnya sayu. Vino langsung mendekati ranjang Gynta dan duduk disampingnya. Satu tangannya meraih kain kompres dan menyentuh kening istrinya. "Demamnya sudah turun." Gumamnya lega. Gynta masih memperhatikan Vino. Pagi ini Vino memakai kaos lengan pendek V neck dan celana drawstring. "Apa yang kau rasa? Apa kepalamu pusing?" Tanya Vino. Gynta tidak langsung menjawab pertanyaan Vino, dia justru memperhatikan kalung yang melingkar dileher Vino, kalung berliontin benda pipih dengan bentuk diamond itu terasa tak asing untuknya. "Gynta..." Gynta menatap bola mata didepannya saat mendengar Vino memanggilnya. "Apa yang kau rasakan sekarang? Apa kakimu masih sakit?" "Haus." Vino langsung mengambil gelas yang berisi air putih diatas meja dan membantu Gynta duduk menyender padanya lalu mengarahkan gelas itu padanya. "Ayo minum." Gynta mulai menghabiskan setengah gelas. "Terima kasih." Gumamnya lalu Vino kembali membantu Gynta berbaring. "Nanti setelah makanan datang kau harus memakannya dan meminum obatnya agar cepat sembuh." Ujar Vino. Gynta mendesah pelan. Dia paling tidak suka jika harus meminum obat. "Aku tidak suka minum obat." Rengek Gynta membuat Vino tersenyum melihatnya. Ini pertama kalinya Gynta terlihat seperti anak kecil dan manja didepannya. "Kau harus meminumnya, suka ataupun tidak suka." Telak Vino. Gynta terdiam dan mulai sadar dengan piyama yang dipakainya. Bukankah dirinya dari semalam tidak memakai piyama? Lalu siapa yang mengganti pakaiannya. Gynta langsung menatap Vino. Tatapan yang penuh tuntutan membuat Vino menaikkan sebelah alisnya. "Apa?" "Jangan katakan kalau kau yang mengganti pakaianku." Ujar Gynta mengintimidasi. Vino tertawa melihat ekspresi Gynta, apa istrinya belum pernah telanjang didepan orang lain? Maksudnya didepan lelaki lain kah? bukannya terlihat menyebalkan namun terlihat sangat lucu. "Hei, kenapa tertawa? Vino!" Gertak Gynta, dirinya berdehem diakhir kalimat karena suaranya terdengar serak. "Percaya dirimu sangat tinggi. Aku tidak ingin mengotori tanganku mengganti pakaianmu. Pelayan-pelayan hotel wanita yang aku suruh untuk mengganti pakaianmu." Jawab Vino mencoba meyakinkannya. "Benarkah?" Tanya Gynta masih belum percaya dan menyipitkan matanya menatap Vino. Mendapat tatapan seperti itu, Vino langsung membuang wajahnya yang memerah. "Kalau kau tidak percaya kita bisa tanyakan pada pelayan-pelayan itu sekaligus aku bertanya bagaimana rasanya menelanjangimu." "Hei!!!"   "Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu. Tidak bisakah kau diam saja hari ini. Kau sedang sakit, bodoh! Siapa lagi yang akan merawatmu selain aku jadi jangan membuatku kesal."   Gynta menghela napas dan membuang wajahnya menatap kearah jendela kamar sedangkan Vino kembali menatapnya. "Apa kakimu masih sakit?" Tanya Vino mengetahui keadaan kaki istrinya yang terinfeksi. Namun Vino tidak mengatakannya karena tahu jika Gynta mengetahuinya mungkin gadis itu akan pusing karena terlalu memikirkannya.   "Sedikit." Jawab Gynta masih menatap kearah jendela. Dia tidak ingin menatap wajah Vino karena membuatnya ingin selalu berdebat dengannya.   Tak lama makanan untuk Gynta pun datang. Vino membawa nampan berisi semangkuk sup cream dan segelas s**u lalu duduk tepat didepan Gynta. "Ayo makan makananmu setelah itu kau harus meminum obatnya."   "Aku akan memakan makanannya tapi... aku tidak mau minum obat."   "Gynta..."   Gynta menoleh dan menatap Vino. Lelaki itu sudah sedikit bersahabat dengannya.   "Ayo dimakan." Perintah Vino selembut mungkin meskipun sebenarnya dia sudah menahan kesabarannya karena tidak mungkin berdebat dengan istrinya disaat gadis itu sedang sakit.   Gynta menghela napas dan mulai memakan makanannya. Vino masih duduk didepannya dan memperhatikan istrinya memakan makanannya. Sekitar sepuluh menit Gynta sudah berhasil memakan setengah mangkuk dari makanannya. "Sudah. Aku sudah kenyang." Gumam Gynta dan menaruh mangkuk itu diatas meja lalu meminum susunya.   Vino meraih obat Gynta yang diletakkan diatas meja dan membuka bungkusnya lalu memberikan tiga butir obat dan segelas air putih pada Gynta. "Ayo minum obatnya."   "Aku kan sudah mengatakannya padamu kalau aku tidak mau minum obat." Ujar Gynta kesal dan menolak obat dari Vino.   "Kalau kau tidak mau meminum obatnya kau tidak akan sembuh, bodoh. Cepat minum obatnya."   Gynta mengerutkan dagunya dan membuang wajahnya, kedua tangannya melipat didepan dadanya. "Kalau aku bilang tidak mau ya tidak mau."   Vino mendesah dan menatap Gynta dengan putus asa. Gadis ini sangat merepotkan saja, pikirnya dan terpaksa harus merayunya dengan satu cara yang ampuh. "Kalau kau mau meminum obatnya hingga sembuh nanti kita ke Paris."   Gynta langsung tersenyum dan menatap Vino. "Benarkah?" Tanyanya sumringah.   "Iya."   "Kau mau janji?"   Vino menangguk pasrah. "Iya. Janji. Sudah cepat minum obatnya." Jawab Vino dan menyodorkan obatnya yang diterima oleh Gynta.   "Baiklah. Kalau kau janji aku akan meminumnya." Ujar Gynta dan tersenyum manis menatap Vino kemudian berubah tersenyum kecut saat menatap tiga butir obat ditangannya.   Gynta menarik napas panjang beberapa kali sebelum memasukkan setiap butir obatnya kedalam mulutnya. Butuh waktu hampir sepuluh menit untuk memasukkan tiga butir obat. Bahkan Vino menatapnya kesal karena Gynta beberapa kali menolak saat dirinya sendiri memasukkan obat didalam mulutnya.   "Ingin jalan-jalan?" Tanya Vino setelah Gynta merasa sedikit tenang.   "Kemana?"   "Didepan ada sebuah perayaan. Sangat ramai dan banyak yang jual beberapa makanan. Kalau kau mau nanti malam setelah keadaanmu sudah membaik kita kesana." Jelas Vino.   "Kenapa harus nanti malam? Sekarang juga bisa. Lagipula aku sudah makan dan minum obat."   "Tapi kakimu masih sakit."   "Kan ada kau."   Vino menaikkan sebelah alisnya mendengar ucapan Gynta. "Iya kan ada kau. Jadi kau yang harus menggendongku lagi. Kau itu suamiku jadi kau harus menjagaku dan menuruti semua keinginanku." Jelas Gynta.   Vino menyunggingkan sebelah bibirnya. "Sejak kapan kau menganggapku sebagai suamimu kalau kau selalu membuatku kesal,hah?"   "Sudahlah. Katakan saja kalau kau tidak mau. Menyebalkan sekali. Sudah sana pergi! Aku sudah tidak butuh bantuanmu lagi. Sudah cepat pergi." Gynta mendorong Vino menjauh dari ranjangnya sembari membentaknya.   "Kau ini. Jangan cepat marah, sangat lucu bocah kerdil sepertimu terlihat tua bangka." Ucap Vino sarkartis.   "Pergi! Aku bilang pergi!" Gynta masih mendorong Vino agar bangkit dari ranjangnya.   "Hei!!" Sentak Vino.   Tanpa sadar Gynta menendang Vino menggunakan kakinya yang terluka dan langsung ditampik oleh Vino membuatnya meringis. "Aakkhh..."   "G-Gynta... kau, kau tidak apa-apa?" Tanya Vino sembari mengelus kaki Gynta.   "Sakit tahu!"   "Makanya jadi orang jangan susah dibilangin!"   Gynta tak mempedulikan ucapan Vino. Kakinya kembali terasa nyut-nyutan. "Sakit..." Keluh Gynta disusul ringisannya membuat Vino tak tega melihatnya.   Vino mendesah pelan dan berjalan ketempat penyimpanan pakaian. "Kau mau pakai apa?" Tanyanya ketus.   "Hmm?"   "Kau mau pakai apa untuk jalan-jalan?" Ulang Vino.   "Terserah kau saja." Gumam Gynta acuh karena masih merasa ngilu pada kakinya. Kata Vino luka kakinya tidak parah. Tapi kenapa sampai sekarang masih sangat sakit?   Gynta mengerutkan kening dan menoleh kearah Vino yang masih memilihkan pakaian untuk dipakai Gynta. "Kau yakin luka dikakiku hanya luka kecil?" Tanya Gynta.   "Iya." Jawab Vino dan berbalik dengan membawa kemeja putih panjang dan rok levis mini. "Ini pakailah. Aku akan menunggu diluar." Ujarnya dan memberikan pakaian itu pada Gynta.   "Hmm... Terima kasih." Gumamnya dan menerima pakaian dari Vino.   "Sepuluh menit lagi aku masuk." Ucap Vino dan meninggalkan Gynta didalam kamar.   Sekitar sepuluh menit kemudian Vino masuk kedalam kamar Gynta dan sudah melihat Gynta merapikan pakaiannya. Saat Gynta berdiri ingin memakai sepatu flat yang ada disamping almari Vino mendahuluinya dan mengambil sepatu itu lalu menaruhnya didepan Gynta. "Kau belum bisa jalan-jalan jauh." Ujar Vino dan mengangkat satu kaki Gynta yang terluka lalu memakaikan sepatu itu perlahan.   Gynta hanya menurut dan meringis saat telapak kakinya bersentuhan dengan sepatunya membuat Vino mendongak menatapnya. "Masih sakit? Kalau masih sakit tidak usah memakai sepatu."   "Tidak. Tidak apa-apa." Desah Gynta dan merangkul pundak Vino saat lelaki itu memakaikan sepatunya.   "Sudah." Gumam Vino.   Vino berdiri membelakangi Gynta dan sedikit menundukkan tubuhnya. "Ayo."   "Kau yakin akan menggendongku? Tidak akan menurunkanku ditengah jalan seperti waktu itu kan?" Tanya Gynta memastikan mengingat temperamen Vino selalu berubah-ubah saat mereka berdebat.   "Kau pikir aku tega meninggalkan seorang istri yang sedang sakit ditengah jalan?" Tanya Vino balik.   "Mungkin saja." Gumam Gynta dan menggulingkan bola matanya.   "Gynta..." Panggil Vino kesal.   "Iya." Jawab Gynta dan menipiskan bibirnya lalu mulai naik dipunggung Vino dan Vino menggendongnya keluar hotel.   Setelah berjalan sekitar delapan meter dari depan hotel, Vino dan Gynta sudah sampai ditempat tujuan. Disana sudah sangat ramai, banyak anak-anak serta para remaja, tak kalah para orang dewasa dan lanjut usia sedang menikmati sebuah musik klasik yang dimainkan dipinggir jalan, ada juga yang jual makanan serta jajanan khas daerah setempat.   "Vino... aku ingin itu." Ujar Gynta sembari menunjuk kearah penjual es krim.   "Kau kan masih sakit."   "Aaahh... gak mau. Aku mau itu Vin, ayo kita beli." Rengek Gynta.   Vino tersenyum saat melihat Gynta merengek padanya. Rasanya sangat menyenangkan baginya, karena disaat seperti itu sikap menyebalkan gadis itu tak terlihat sama sekali. Vino pun mengikuti kemauan Gynta dan berjalan kearah penjual es krim. Namun Gynta kembali menghentikan langkah Vino saat dirinya melihat ada penjual topi.   "Vin, Vin, kita beli ini dulu." Pinta Gynta dan menggoyangkan tubuhnya digendongan Vino.   "Iya. Iya." Jawab Vino.   Mereka pun berhenti disalah satu penjual topi model koboi. Setelah membelikan satu topi berwarna senada dengan rok Gynta, Vino kembali menggendong Gynta kesalah satu pejual es krim. Mereka menghabiskan hari itu dengan baik, bahkan Vino seperti terhipnotis oleh Gynta karena sepanjang hari Gynta selalu merengek ingin ini itu dan selalu memasang tatapan puppy eyesnya saat Vino menolaknya. Jalan-jalan mereka berakhir dengan naik sepeda bersama. Vino menyewa sepeda untuk sekedar jalan-jalan disepanjang pesisir pantai dan Gynta memboncengnya didepan. Sesekali Gynta merentangkan kedua tangannya saat Vino menggeos sepeda itu dengan cepat.   "Boleh aku bertanya sesuatu padamu?" Tanya Vino saat mereka sedang sama-sama memandang pantai didepannya. Gynta masih duduk didepan Vino dan kedua tangannya ikut memegang stang sepeda.   "Apa?"   "Kenapa kau selalu memanggil nama Alvin?" Tanya Vino ragu. Dia sangat ingin tahu alasan gadis itu selalu memanggil nama kecilnya saat sedang dalam kesulitan.   "Pertanyaanmu sangat aneh." Gumam Gynta dan tersenyum.   Vino diam menanggapi gumaman Gynta. Dia hanya ingin tahu jawaban istrinya. "Sejak kecil aku sangat suka menonton Alvin and the chipmunks, aku sangat suka sama Alvin. Dia itu lucu dan selalu ceroboh, keras kepala, tapi juga baik. Aku sangat menyukainya. Oleh karena itu saat aku sedang dalam kesulitan aku selalu memanggilnya. Hanya itu saja yang aku tahu."   Vino termangu mendengar jawaban Gynta. Bukan itu jawaban yang ingin dia dengar, tapi jika memang seperti itu jadinya tidak mungkin Vino menyuruh Gynta untuk menjadi tata kecilnya meskipun saat bersama gadis itu membuatnya ingat dengan bocah kecil itu. Tak ada respon dari Vino, Gynta pun mendongak untuk menoleh kearah Vino yang ternyata menatapnya sedari tadi.   "Ada apa?" Tanya Gynta dan mengerutkan keningnya melihat Vino menatapnya dengan tatapan penuh kekecewaan. "Ah... aku tahu, apa kau kira aku memanggil Alvin itu aku memanggilmu karena namamu Alvino? Kau sangat lucu. Kalau aku memanggil namamu itu berarti kau sudah lama mengenalku tapi kita kan baru mengenal sekitar dua bulan yang lalu. Sudahlah... simpan saja kekecewaanmu itu." Gurau Gynta dan terkekeh lalu kembali menatap kedepan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD