Kini, langit terang sudah berganti gelap. Rhys dan Abigail masih bersembunyi dalam ruangan tersebut. Dari luar, kembali terdengar suara langkah kaki dari sepatu wanita diikuti suara langkah kaki beberapa orang dibelakangnya.
Abigail menatap Rhys yang sedang memfokuskan pendengaran pada dinding penghalang. Terdengar suara pintu ruang samping dibuka oleh seseorang, lalu kembali terdengar suara pintu kembali di tutup dan dikunci.
Rhys masih memfokuskan pendengarannya, terdengar samar-samar, suara seorang wanita dan dua orang pria sedang berbicara dengan serius.
"Apa kau yakin seseorang melihat pembunuhan yang Jack lakukan pada Abel?" tanya suara wanita itu yang tak lain adalah Patricia.
"Sangat yakin!" sahut seorang pria.
"Nicholas, kau sudah cari tahu siapa wanita yang ada pada cctv itu?" tanya Patricia.
Mendengar kata cctv, Rhys segera memasang kembali mini earpiece pada telinganya dan menekan satu kali untuk mengaktifkan jaringan pribadinya dengan Miller dan anak buahnya yang lain.
"Miller! Bukankah kau sudah mensabotase cctv pada gedung ini?" tanya Rhys dengan dahi berkerut.
"Iya, aku sudah mensabotase seluruh cctv gedung Guino Boutique. Ada apa?" tanya Miller dari seberang jaringan pribadi.
Pendengaran Rhys kembali terfokus pada suara Patricia yang sedang berbicara lagi di ruangannya.
"Jadi, kau sengaja menaruh kamera kecil dibawah meja rias ini?" tanya Patricia.
"Sesuai permintaan Tuan Jack, Nona!" sahut Nicholas.
"Bukankah wanita ini suruhan Anders dari Majalah Grow Up yang akan mewawancaraiku?" tanya Patricia dengan nada suara tak percaya. Ia kini sedang melihat sebuah rekaman dari kamera kecil itu, yang menampilkan Abigail sedang terduduk dilantai dengan wajah terkejut.
"Abigail Xander," timpal Nicholas.
"Apa yang harus kita lakukan, Nona Patricia?" tanya pria yang lainnya.
"Ben, apa kau baru bekerja dengan ku?" tanya Patricia dengan sinis.
"Maaf, Nona," sahut Ben menyesal.
"Kau seharusnya sudah tahu, apa yang harus kalian lakukan pada wanita itu?! Dia tidak bisa tetap hidup! Siapapun yang menyaksikan pekerjaan kita, diluar dari Red Snike, harus mati!" tutur Patricia.
Mendengar perkataan wanita itu, membuat Abigail seketika membelalakkan matanya. Napasnya pun tercekat dengan seluruh tubuh bergetar hebat.
Rhys yang menyadari perubahan sikap pada Abigail segera menarik wanita itu dalam pelukannya, dan berusaha menenangkannya.
"Tolong aku, Rhys." Lirih Abigail, memohon.
"Aku akan menolongmu, tapi kau harus menuruti apa yang aku katakan!" sahut Rhys.
Pria itu melepas dekapannya dan menatap Abigail dengan tatapan serius. Wanita itu mengangguk cepat. Yang ia bisa lakukan saat ini hanyalah percaya pada Rhys.
"Saat ini, sudah tak ada tempat aman untukmu. Kemana pun kau pergi, mereka pasti menemukanmu!" ujar Rhys memperingatkan.
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tak mau mati ditangan para penjahat!" tanya Abigail dengan mata sayunya yang mulai meneteskan airmata.
Rhys terdiam sejenak. Ia tak yakin dengan solusi yang saat ini sedang dipikirkannya. Namun di satu sisi, Rhys sangat berhutang nyawa pada ayah Abigail yang rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan Rhys.
"Sudah saatnya kau membalas jasa Tuan Xander padamu. Apa kau tega membiarkan wanita itu mati ditangan anak buah Red Snike? Jika kau tak ingin ...," belum sempat Miller melanjutkan perkataannya dari jaringan pribadi mereka, Rhys sudah memotong perkataannya.
"Tinggal lah di ruang rahasiaku. Aku bisa pastikan, kau akan aman disana. Bahkan, tak akan ada yang bisa menemukanmu selain diriku. Apa kau bersedia melepas pekerjaanmu, tempat tinggalmu dan seluruh orang-orang didekatmu, termasuk ... kekasihmu?" tanya Rhys.
Abigail terdiam sesaat. Wanita itu segera mengangguk dan menyetujui apa yang baru saja pria itu perintahkan.
"Iya, aku akan melepas semuanya dan bersembunyi di tempat yang kau sediakan. Aku tak punya rekan, aku bahkan tak punya sanak saudara. Tak akan ada yang mencari keberadaanku," sahut Abigail.
Rhys menatap dengan tatapan menyelidik, "bagaimana dengan kekasihmu?" tanyanya.
Abigail menggelengkan kepalanya. "Aku tak punya kekasih, Rhys. Tak ada waktu untuk memikirkann hal tidak berguna seperti itu," sahut Abigail.
Tiba-tiba, seulas senyum sangat tipis terlihat dari salah satu sudut bibirnya tanpa ia sadari.
"Baiklah! Aku akan menyembunyikanmu di tempat yang paling aman. Aku memang bukan pria baik-baik, tapi aku tidak suka melanggar janji yang sudah kubuat sendiri," tutur Rhys.
Pria itu kembali memfokuskan pendengarannya pada dinding penghalang disampingnya. Sudah tak terdengar suara apapun lagi dari dalam sana. Rhys menoleh ke sampingnya, dan pandangan mereka saling bertemu. Mata sayu itu terlihat bergetar dengan rasa takut yang masih terpancar dari dalam sana.
Hening ...
Hanya terdengar deru napas dari mereka berdua, dan detak jantung yang tak beraturan dari Rhys saat ini. Pria itu mulai salah tingkah. Ia memalingkan wajahnya dan bangkit dari posisinya, lalu berjalan ke arah pintu untuk mengintip keadaan diluar sana.
"Diluar sudah aman! Kau hanya memanfaatkan situasi untuk tetap berduaan dengan anak tuan Xander," goda Miller.
"Aku akan memotong gajimu bulan ini, Miller!" gerutu Rhys dengan pelan.
"Cepatlah keluar! Aku tidak ingin mendengar suara desahan dari kalian berdua, jika kalian masih berdua disana!" Goda Miller lagi.
"Ethan! Sepertinya aku membutuhkanmu! Dadaku terasa sesak. Aku ingin kau memeriksaku dipesawat nanti," celetuk Rhys.
"Hahahahaha ... jantungmu berdebar Rhys?" tanya Ethan dari seberang jaringan pribadi juga.
"Iya, kau benar! Jantungku berdebar dan terasa sangat sakit," sahut Rhys seraya memegang dadanya.
Pria itu berjalan menghampiri Abigail yang kini sudah bangkit dari losisi duduknya, lalu menarik tangan wanita itu.
Mereka pun bergegas keluar dari tempat persembunyiannya dan berjalan menyusuri lorong gedung Guino Boutique yang sudah temaram.
Abigail tak menolak segala bentuk arahan dan perlakuan Rhys padanya. Ia benar-benar sudah pasrah dengan jalan hidupnya saat ini, dan menyerahkan segalanya pada Rhys, pria yang berjanji akan menolongnya.
"Abi ... boleh aku menanyakan sesuatu?" tanya Rhys.
Kini mereka sudah keluar dari gedung Guino Boutique dan berada di halaman gedung tersebut.
"Tanyakanlah," sahut Abigail. Wanita itu kini tampak lebih tenang.
"Kenapa kau mempercayaiku?" tanya Rhys.
Mereka kini sedang menyebrangi jalanan kota yang sudah sangat sepi, menuju mobil Rhys yang masih terparkir di tempatnya.
"Lalu ... Aku harus mempercayai siapa jika bukan kau? Kau yang menolongku, dan membantuku bersembunyi. Jadi sudah pasti, kau orang baik," sahut Abigail.
"Apa pemikiran wanita selalu sepolos itu? Bagaimana jika aku menolongmu karena aku yang akan membunuhmu?" tanya Rhys lagi.
Tiba-tiba, Wanita yang tidak terlalu tinggi itu menghentikan langkahnya. Ia menatap Rhys dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Apa kau juga akan membunuhku?" tanya Abigail yang terlihat mempercayai perumpamaan yang baru saja dikatakan Rhys padanya.
Rhys yang sudah berjalan lebih dulu, seketika menghentikan langkahnya. Pria itu berbalik kebelakang, hendak menatap Abigail. Namun, fokus Rhys jatuh pada dua pria dibelakang Abigail yang sedang berjalan ke arah wanita itu.
"Rhys, cepat pergi dari situ! Mereka berdua anak buah Red Snike!" Titah Miller yang terdengar cukup keras sebagai peringatan dari mini earpiecenya.
Pria itu segera berjalan mendekat pada Abigail, lalu menciumnya secara tiba-tiba. Bukannya terpejam, mata Rhys malah menatap waspada pada dua orang yang kini sedang melihat ke arahnya seraya menghentikan langkah mereka.
Sedangkan Abigail hanya termangu di tempatnya. Matanya membelalak dan sesekali mengerjap-ngerjap. Bibir Rhys yang terasa sangat manis, dengan harum napas yang sangat tak asing pada indra penciuman Abigail.
Tanpa sadar, perlahan Rhys malah menikmati ciuman tersebut, hingga ia mulai melumat bibir harum strawberry yang kini sedang dipangut olehnya.
Tak ada perlawanan dari Abigail, sedangkan Rhys masih terus berusaha menuntuk Abigail untuk menikmati cumbuan yang diberikan oleh pria itu.
Mata yang tadi dipejamkannya kini kembali terbuka, dan memastikan jika dua pria itu sudah pergi, dan kembali ke dalam gedung Guino Boutique.
Bukan Rhys namanya, jika tak memanfaatkan kesempatan yang ada. Pria itu malah melanjutkan cumbuannya lebih dalam lagi, dengan mata yang kembali terpejam.
Perlahan, Abigail mulai membalas lumatan yang diberikan Rhys padanya. Ia pun mulai memejamkan matanya saat terbesit dalam pikirannya, sosok pria yang saat itu menidurinya.
Setetes airmata jatuh begitu saja diatas wajah Abigail, dan mengenai hidung mancung Rhys yang menempel pada pipi waita itu.
Rhys terdiam. Pria itu perlahan melepas pangutannya lalu menatap Abigail lebih dalam lagi.
"Kenapa kau menangis?" tanya Rhys.
Bukannya menjawab pertanyaan yang dilontarkan Rhys, wanita itu malah balik bertanya.
"Kenapa kau menciumku?"
"Ada dua orang pria yang berjalan menghampirimu. Aku hanya ingin melindungimu, hingga kedua pria dibelakangmu pergi," jawab Rhys dengan jujur.
"Apa kau pria yang meniduriku saat itu?" tanya Abigail lagi dengan tatapan penuh selidik.
"Kenapa kau berpikir, aku yang menidurimu?" Rhys balik bertanya dengan nada penasaran.
"Karena aku sangat mengingat, harum napasnya yang sangat mirip dengan harum napasmu, Rhys." Sahut Abigail.
"Kau melantur, Abi! Ayo cepat, sebelum mereka mencurigai kita!" Ajak Rhys yang berusaha mengalihkan pembicaraan dengan Abigail.
Pria itu berbalik dan setengah berlari menuju mobil sport kesayangannya, yang terparkir tak jauh dari tempat mereka.
"Kau mengalihkan pembicaraan Rhys!" suara Miller kembali terdengar dari mini earpiece yang masih terpasang dalam telinganya.
"Dan itu artinya, Abigail adalah wanita yang membuat Rhys merasakan sakit di dadanya! Rhys, wanita yang kau ambil perawannya itu adalah Abigail?" kini giliran suara Ethan yang terdengar.
"Kalian sangat kompak, jika sedang mengarang sebuah cerita!" gerutu Rhys yang berusaha menutupi kebenarannya.
Pria itu menekan Keyless entry yang baru saja diambilnya dari dalam saku. Ia menarik pintu mobil dengan sedikit sentuhan hingga pintu mobil itu terbuka ke atas dan mempersilahkan Abigail yang ternyata sudah berada di belakangnya.
"Masuklah, udara malam ini sangat dingin." Titah Rhys.
Wanita itu hanya bisa menuruti perintah Rhys, dan mendudukan tubuhnya diatas kursi penumpang. Setelah Abigail duduk dengan tenang, Rhys menarik kembali pintu mobil dengan perlahan, dan membiarkan ointu tersebut menutup secara otomatis.
Ia berjalan memutari bagian deoan mobil, dan membuka pintu mobil pada sisi pengemudi lalu duduk dibalik kursi pengemudi.
Pria tampan dengan wajah dingin itu menekan tombol merah disisi stir mobilnya dan mulai melaju meninggalkan gedung Guino Boutique.
"Kita berkumpul di landasan, dan akan melakukan penerbangan ke California malam ini juga!" titah Rhys pada Miller, Ethan, Lucas dan para anak buahnya yang lain.
***