CEO's Secret Room Bagian Tujuh

1177 Words
“Glory, dimana pewawancara dari majalah Grow up?” tanya Patricia saat berjalan dilorong Guino Boutique. Wanita bertubuh tinggi dan semampai, mengenakan gaun panjang berwarna hitam dengan belahan d**a sangat rendah itu membuka ruang make up para model pakaiannya. Tepat saat ia memutar kenop pintu dan mendorongnya, seketika Patricia membelalakkan matanya, melihat kekasihnya dan asisten pribadinya sudah tak bernyawa bersimbah darah. Wanita itu menatap sekeliling lalu menarik sang asisten yang masih berdiri diluar, masuk kedalam ruang tersebut. Glory membelalakkan matanya saat melihat dua mayat tergeletak dengan bersimbah darah. Tepat saat wanita itu akan memekik, Patricia segera membekam mulutnya. “Hanya kita berdua yang tahu kejadian ini. Jika sampai orang lain mengetahuinya, maka kau akan bernasib sama dengan Abel! Kau mengerti?” Glory dengan mata yang berkaca-kaca hanya bisa mengangguk dan menuruti apa yang Patricia katakan. Wanita cantik itu mengambil ponsel dari dalam tas kecilnya lalu menekan angka empat cukup lama hingga terhubung pada panggilan cepat. Ia menempelkan benda tersebut pada telinganya, dan menunggu beberapa saat hingga panggilan terhubung. “Jack terbunuh bersama wanita yang memergokinya membunuh Max. Apa yang harus aku lakukan?” tanya Patricia. “Aku akan mengirim anak buah Red Snike ke tempatmu. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya! Jika sampai ada orang yang melihatnya, sudah dipastikan mereka harus mati!!” sahut suara bariton dari seberang telepon. Belum sempat Patricia menjawab, panggilan tersebut sudah terputus. Wanita cantik itu menoleh, menatap Glory yang masih berdiri mematung memandang Abel, dengan tubuh bergetar ketakutan. “Kau mengerti apa yang tadi aku katakan? Jangan sampai orang lain mengetahuinya, atau kau akan berakhir seperti Abel. Ingat itu!” tekan Patricia. Wanita itu perlahan memutar kenop pintu lalu membukanya sedikit, ia membungkukkan tubuhnya untuk memastikan tak ada satu orang pun di lorong tersebut. Setelah dirasa aman, Patricia kembali menegakkan tubuhnya dan menarik tangan Glory untuk mengikutinya keluar. “Kau selalu menyusahkanku, Jack!” gerutunya seraya mengunci pintu tersebut lalu meninggalkannya. Tanpa Patricia sadari, di ruangan yang lain, Rhys dan Abigail masih bersembunyi dibalik pakaian yang menggantung. Mereka mendengar jelas seluruh perkataan yang diucapkan Patricia sejak menemukan jasad Jack dan Abel, hingga wanita itu meninggalkan tempat tersebut. “Abi, kau dengar apa yang wanita itu katakan?” tanya Rhys. Pria itu menatap iris coklat tua milik Abigail yang menatap sendu padanya. Tiba-tiba, Rhys memalingkan muka ke lain tempat, menghindari tatapan mata yang malah membuat jantungnya berdetak sangat cepat. Pria itu memegang d**a kirinya yang kembali terasa sakit, lalu menarik napas cukup dalam. “Aku bisa menebak, saat ini jantungmu berdetak lebih cepat dan membuatmu merasakan sesak dan sakit yang bersamaa!” ujar Miller dari seberang jaringan pribadi pada mini earpiecenya. “Kau sangat pintar mengarang n****+, Miller!” sahut Rhys. Abigail yang melihat Rhys berbicara sendiri, seketika mengerutkan keningnya. Wanita itu menatap lekat-lekat pada Rhys. “Apa kau berbicara padaku?” tanya Abigail penasaran. “Hahahahaha … hahahhahha …” Miller yang mendengar pertanyaan Abigail, spontan tertawa terbahak-bahak. “Kau menertawaiku?” tanya Rhys yang tak menggubris pertanyaan Abigail. “Aku yakin, dia berpikir kau gila, Rhys. Hahaha … kalian sangat menghiburku,” sahut Miller dari seberang jaringan pribadi. “Aku tidak menertawakanmu! Apa aku terlihat sedang menertawakanmu, Tuan?” tanya Abigail. “Bisa kau tidak memanggilku Tuan? Aku sangat risih mendengar wanita memanggilku Tuan, kecuali jika wanita itu adalah pelayan di mansionku,” protes Rhys. “Red Snike tiba!!” ujar Ethan melalui mini earpiece mereka. Rhys segera bergeser dan mendekatkan dirinya pada Abigail, dengan mata yang terus memperhatikan ke arah pintu ruangan, berharap anak buah Red Snike masuk ke dalam, agar ia bisa menembaknya hingga tewas dan Rhys bisa keluar dari tempat itu bersama dengan Abigail. “Ada apa?” tanya Abigail penasaran. Rhys menoleh sesaat pada Abigail lalu kembali menatap pintu masuk ruang tersebut. Trek … Pintu ruangan yang dijadikannya bersembunyi tiba-tiba terbuka. Seorang pria bermasker dan hanya terlihat matanya saja, mulai melangkahkan kakinya masuk, memeriksa keadaan ruangan itu, lalu keluar dari tempat tersebut seraya kembali menutup pintunya. “Siapa pria itu?” tanya Abigail dengan suara bergetar. “Mereka adalah anggota Red Snike! Mereka yang ditugaskan untuk membersihkan kekacauan yang terjadi,” sahut Rhys. “Apa aku akan mati?” Pertanyaan Abigail itu, sontak membuat Rhys seketika menoleh kearah wanita itu. “Aku tidak akan pernah membiarkan mereka membunuhmu!!” sahut Rhys dengan penuh penekanan. “Tapi wanita tadi mengatakan jika …,” “Aku bisa pastikan, kau aman asal kau mengikuti semua perkataanku!” sela Rhys. Abigail hanya bisa mengangguk pasrah. Ia tak tahu harus bagaimana lagi. Jalan satu-satunya hanya mempercayai apa yang pria dihadapannya itu katakan. Saat ini, hanya Rhys satu-satunya yang bisa menolong Abigail, dikota lain, tanpa ada kerabat atau bahkan sanak saudara disana. “Tuan!” serunya. “Panggil aku Rhys! Aku bukan tuanmu, dan kau bukan pelayan mansionku!” sergah Rhys tanpa mengalihkan pandangannya dari daun pintu yang tertutup. “R-Rhys!” Mendengar namanya di sebut, Rhys menoleh dan menatap dengan tatapan datar pada wanita itu. “Aku mempercayakan hidupku padamu!” ujarnya tiba-tiba. “Kenapa?” tanya Rhys. Ada nada penasaran dari pertanyaan pria itu. “Karena aku tidak ingin berakhir seperti ayah dan ibuku!” gumamnya. Iris mata mereka kembali bertemu. Tatapan sayu wanita itu, semakin membuat Rhys tak dapat berkutik lagi. Rasa ingin melindungi Abigail semakin kuat, kala airmata wanita itu menetes diatas wajahnya. Tanpa sadar, Rhys mengulurkan tangannya. Ia hapus airmata pada wajah Abigail dengan ibu jarinya. “Aku paling benci melihat seorang wanita menangis!” gerutunya. “Bahkan sekarang, aku sangat membenci hidupku! Setelah aku tak ingat siapa pria yang meniduriku dan mengambil hal yang selama ini aku jaga baik-baik, kini aku harus terjebak dalam situasi mengerikan seperti ini!” Wanita itu akhirnya mengungkapkan apa yang sedang dipikirkan olehnya dihadapan Rhys, dan membuat Rhys tertegun ditempatnya. Ya … Tebakan Rhys sangat tepat. Wanita itu tak mengingat siapa pria yang sudah merebut keperawanannya. Abigail bahkan tak tahu, jika pria yang sudah menidurinya itu adalah Rhys, orang yang kini sedang berusaha menyelamatkan dirinya. “Rhys, apa kau mendengarku?” tanya Miller dari seberang jaringan pribadi mereka. “Ya, aku mendengarnya!” sahut Rhys tanpa memperdulikan tatapan aneh dari wanita dihadapannya itu. “Kita sudah dapatkan supermicro chip yang pertama! Dan aku juga menemukan sesuatu,” ujar Miller. “Sesuatu? Apa itu?” tanya Rhys dengan dahi berkerut. “Sebuah rekaman pembunuhan yang dilakukan Jack dan juga Patricia!” sahut Miller. Rhys menyeringai, mendengar apa yang baru saja Miller katakan. Pria itu kini kembali menatap Abigail, lalu terdiam sejenak. “Miller, apa situasi diluar sudah aman?” tanya Rhys. Tak terdengar suara Miller dari seberang jaringan pribadi. Yang terdengar, hanya suara bunyi keyboard laptop yang berintonasi seperti serangkai nada. Hingga akhirnya suara itu hilang dan berganti dengan suara Miller. “Mereka sedang mengeluarkan jasad Jack dan wanita yang dibunuhnya tadi! Apa yang akan kau lakukan?” tanya Miller. “Aku akan menunggu setelah mereka semua selesai dengan pekerjaannya. Aku tidak ingin, Red snike tahu mengenai keberadaan kita. Jika sampai mereka tahu, kita akan kesulitan melakukan misi berbahaya ini,” sahut Rhys Pria itu kini menyandarkan tubuhnya pada dinding yang berada tepat dibelakangnya. Ia pun menghela napas cukup dalam lalu menghembuskannya dengan tenang. “Ethan, Lucas, perintahkan semua anak buah Sygma kembali pada posisi mereka. Misi New York, selesai!” ujat Rhys seraya mematikan mini earpiecenya. Mendengar nama Sygma disebut, Abigail yang sejak tadi memperhatikan gerak gerik Rhys, mengerutkan keningnya. “Sygma? Dengan y dan bukan i?” tanya Abigail menanyakan penulisan kata sygma. Rhys yang mendapat pertanyaan itu menoleh kesamping, lalu menatap tajam pada Abigail. “Darimana kau tahu penulisan sygma?” tanya Rhys penasaran. “Sepertinya aku pernah melihat tulisan itu disuatu tempat …,” Abigail terlihat seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Rhys tiba-tiba teringat tatto bertulisan Sygma di d**a kanannya, lalu tersenyum simpul. ‘Ternyata yang kau ingat dari kejadian malam itu adalah tatto ini,’ monolognya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD