Sibuknya kota Jakarta, membuat para penghuninya selalu dikejar-kejar waktu, bahkan terkadang waktu yang tersedia tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaan hari itu. Kemilau senja mulai menampakkan diri di ufuk barat. Satu persatu karyawan berhamburan meninggalkan kantor. Terlihat di salah satu sudut kota di antara gedung pencakar langit, Arini menunggu ojek online pesanannya. Ia bersiap menuju mal Senayan bertemu dengan calon pembelinya. Tidak lama menunggu abang ojek datang menjemputnya.
Sore hari begini, jalanan ibu kota selalu padat dipenuhi oleh mobil, motor, dan kendaraan umum yang berbaris maju semeter demi semeter. Arini membayar
jasa abang ojol yang telah mengantarnya sampai di tujuan, bergegas ia ke dalam mal
menuju food court. Langkahnya gesit menyusuri lorong lorong pertokoan.
Sejenak Arini tertegun memerhatikan sekeliling. Sudah lama ia tidak bersantai menikmati suasana seperti ini, kenangan bersama teman-teman kuliahnya saat bermain ke tempat itu, berkelebatan dalam ingatan. Ada gerimis di hatinya, rindu masa-masa indah dulu. Buru-buru Arini menepis pikirannya dan membuang jauh-jauh kenangan itu. Ia tidak ingin mengenangnya itu hanya membuat hatinya terluka.
Sesampainya di lantai food court, Arini berjalan mencari pembeli yang janjian dengannya di
tempat itu, matanya menoleh ke kanan dan kiri. Saat sedang sibuk mencari, tiba-tiba ia menubruk seseorang.
"Maaf Mas, saya tidak senga..." Suara Arini terhenti, ia
terkesiap melihat lelaki yang ada di depannya.
"Arini? Kamu ngapain di sini?" tanya Aldo membulatkan matanya.
"Kak Aldo? E..., bukannya kita tidak boleh mencampuri urusan
masing-masing? Dan juga tidak boleh bertanya apa pun?" dalih Arini menghindari pertanyaan Aldo. Ia tidak ingin Aldo tahu transaksi jual beli itu. Bikin malu saja!
Aldo tidak berkedip menatap Arini, jantungnya berdetak cepat.
Ia khawatir Arini memergokinya bersama Farah. Walau bagaimanapun, ia malu jika dianggap selingkuh, ia masih punya harga diri.
"Iya, kita tidak boleh ikut campur, urus saja urusan
masing-masing." ujar Aldo, sembari berlalu menjauhi Arini.
Saat sudah jauh dari Arini, Aldo menoleh kebelakang, memastikan Arini tidak mengikutinya. Saat yang bersamaan, Arini juga menoleh kebelakang memastikan
Aldo tidak mengikutinya. Melihat Al juga menoleh padanya, Arini segera berpaling dan mempercepat jalannya. Ia buru-buru mengambil ponsel dan menghubungi calon pembelinya.
"Halo, mbak, sudah dimana? Aku sudah di food court," ujar Arini
membalas sapaan pembelinya yang langsung mengangkat panggilannya.
"Aku juga sudah di food court, aku di sebelah kanan tepat di ayam penyet."
"Oke, tunggu sebentar aku segera ke sana." Ujar Arini mengakhiri panggilan. Bergegas ia berjalan menuju tempat yang di sebutkan calon pembelinya.
Melihat gelagat Arini yang mencurigakan, Aldo memutuskan
untuk mengikutinya. Tapi sayang, baru saja kakinya berjalan dua langkah, dari kejauhan Farah memanggilnya. Al segera menoleh. Diurungkannya niat mengikuti
Arini, ia tidak ingin Arini melihatnya bersama mantan kekasihnya itu. Aldo berbalik mendekati Farah dan mengajaknya ketempat lain.
"Farah, tempat ini sangat ramai, tidak enak kalua bicara masalah pribadi di tempat terbuka seperti ini, bagaimana kalau kita ke tempat
lain saja? Kita ke restoran itu," Usul Al sembari menunjuk sebuah restoran.
"Terserah kamu, Al. aku ikut saja." ujar Farah pasrah.
Keduanya melangkah menuju restoran yang terletak di sudut lantai food court itu. Aldo merasa lebih nyaman di tempat itu, ia yakin Arini tidak akan melihatnya.
Aldo memilih tempat duduk paling tersembunyi di dalam.
"Al, ada apa? Kok kamu kelihatan panik gitu?"
"Ah, nggak! Siapa yang panik? Aku cuma tidak ingin ada orang yang melihat kita bertemu di sini. Aku tidak mau mereka salah sangka!" dalihnya, "Duduk!" Aldo menarik kursi untuk Farah.
Wanita itu duduk tepat di samping Aldo. Kemudian keduaya memilih menu. Setelah menyerahkan pesanan pada pramusaji, Aldo menatap Farah sayu. Ada kerinduan di hatinya. Ada rasa yang dia tidak tahu apa.
"Al, ada sesuatu yang sangat mengganggu pikiranku." Ujar Farah
memperhatikan Aldo dengan seksama.
"Apa?" tanya Aldo sedikit tegang.
"Aku baru bilang padamu jika aku mau menikah bulan depan, dan
kau memintaku untuk membatalkan pernikahan itu. Tapi tiba-tiba saja kau menikah dengan perempuan lain. Apa selama ini kalian menjalin hubungan tanpa sepengetahuanku?"
Aldo menghela napas sembari memalingkan wajahnya dari Farah. Ada kesal dihatinya seolah dituduh selingkuh.
"Farah, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Aku tidak pernah
selingkuh di belakangmu!"
"Kurang bukti apa lagi, Al. jelas-jelas kamu duluan yang menikah. Sedangkan aku tidak jadi menikah karena mencoba mempertahankan hubungan kita."
Seketika mata Aldo membulat, jantungnya berdetak kencang.
"Ka-kamu bilang apa? Tidak jadi menikah?" tanyanya dengan wajah
panik.
Farah mengangguk, matanya berkabut. Terlihat kesedihan di wajahnya. Aldo mematung, ia tidak
tahu harus berkata apa, ia menyesal telah gegabah mengambil tindakan. Tapi Penyesalan selalu datang terlambat, sekarang sudah ada Arini dalam hidupnya. Mau di kemanakan istrinya itu?
"Farah, aku sungguh tidak tahu jika kamu batal menikah. Kenapa
kamu tidak memberitahuku sejak wal? Andaikan kamu beritahu lebih awal, aku pasti membatalkan pernikahanku dengan Arini. Aku menikahinya karena kesal padamu, kami tidak saling mencintai."
Mata Farah membualt, dahinya berkerut. Ia tidak habis pikir dengan ucapan Aldo.
"Aku yang mengajaknya menikah. Aku tidak sanggup membayangkamu menikah dengan orang lain. Karena itu aku membujuknya menikah denganku. Dia adik kelasku di kampus. Orangtuanya bangkrut dan terpaksa mendekam di penjara karena tidak bisa membayar hutang. Dan aku memberi uang jaminan untuk membebaskan ayahnya, dengan sarat dia harus menikah denganku secepatnya." Aldo bersandar ke kursi, ada sesal di dadanya.
"Aldo! Kamu benar-benar keterlaluan. Kau menyuruhku untuk
meninggalkan lelaki itu, tapi kau sendiri menikah dengan perempuan lain!"
"Farah, aku kira rencana pernikahanmu sudah matang. Kamu sendirikan yang bilang padaku? Manakutahu jika tiba-tiba pernikahanmu batal!"
Saat keduanya sedang bertengkar, pramusaji datang membawakan
makanan mereka. Keduanya diam membisu, tidak ada yang selera menyentuh makanan itu.
Aldo memijat-mijat keningnya, keplanya terasa berdenyut, sekujur
tubuhnya terasa lemas. Ia tidak tahu harus bagaimana. Dia masih sangat ingin menikahi Farah.
"Al, kenapa kamu tidak menceraikannya saja, bukankah kalian tidak
saling mencintai?" ujar Farah dengan wajah memelas.
Aldo menoleh, sesaat ia tertegun. Entahlah, ia tidak tahu harus
berbuat apa. Ia masih syok mengetahui Farah tidak jadi menikah.
"Bagaimana aku harus mengatakan
ini padanya?" Aldo menghela napas, sesaat matanya terpejam. "Tolong beri aku waktu tiga bulan, aku akan mencari cara untuk menceraikannya."
"Tiga bulan? Dan aku harus menunggumu selama itu, dan kau enak-enakan berdua dengannya?"
"Farah, aku dan Arini tidak tidur sekamar. Kami hanya
tinggal serumah." Ujar Aldo tidak enak hati.
"Sungguh? Kau tidak membohongiku?" tanya Farah menyelidik.
"Sungguh! Buat apa aku berbohong? Tolong beri aku waktu, aku janji akan segera mencari cara untuk menceraikannya."
"Baiklah, aku tunggu janjimu!"
Aldo mengangguk dan mendekatkan pesanan Farah, lalu keduanya mulai menikmati makanan yang terhidang. Aldo terlihat gelisah, kepalanya tidak mau berhenti mencari alasan untuk menceraikan Arini.