Arini benar-benar bingung, mencari solusi, terlintas di benaknya untuk meminjam uang Aldo. Tapi, itu sama saja menjatuhkan harga dirinya! Lagi pula perjanjian mereka; dia tidak boleh minta uang seenaknya?
"Ya Tuhan, tolonglah hambamu iniii," doa Arini pelan sembari menengadahkan tangan dan mengusapnya ke wajah.
Saat ini dia tidak menemukan solusi lain selain meminjam uang Aldi. Toh, nanti sore setelah menjual tas, uangnya akan ia kembalikan. Bukankah sesama manusia harus saling tolong menolong? Arini termenung di kamarnya mencari pembenaran atas ide meminjam uang Aldo.
Akhirnya Arini nekat melakukannya, meminjam uang pada Aldo, perlahan ia mengintip dari kamar memastikaan Aldo masih ada di luar sana. Tapi di luar sepi, tidak ada siapa pun di sana. Arini membuka pintu lebar lalu keluar dan duduk di depan tivi. Dilihatnya kakinya yang lecet dan memerah, ingin sekali dia meminta kotak P3K pada Aldo, tapi tidak berani, takut kalau dituduh bikin repot. Bisa-bisa Aldo marah dan membentak-bentaknya lagi.
Arini diam di sofa seperti orang bodoh. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa, lapar dan tidak punya uang membuat otaknya tidak bisa berpikir. Karena tidak ada yang bisa dilakukannya, Arini kembali ke kamar lalu membawa bajunya dan turun ke lantai satu untuk mandi. Selesai mandi, luka lecet di kakinya bertambah parah. Arini menekan-nekan lukanya dengan tisu mencoba mengeringkan luka yang basah. Setelah itu, ia mengerjakan salat subuh, kemudian meraih tasnya yang tergeletak di atas meja. Ia ke luar kamar dan memberanikan diri mengetuk pintu kamar Aldo.
"Assalammualaikum, Kak Al," teriak Arini sembari mengetuk pintu.
Aldo yang sedang duduk bersila di atas tempat tidur sembari mengerjakan tugas-tugasnya di laptop, menoleh kesal.
"Apalagi sih, perempuan satu ini!" gumamnya sembari beranjak dan membuka pintu.
"Apa lagi? Tidak usah pake cium tangan segala, aku bukan ayahmu!"
Arini diam, sesaat ia menarik napas mengpulkan seluruh keberaniannya untuk bicara.
"Baik, Kak Al, tapiii... Boleh tidak a-aku pinjam uang lima puluh ribu?" ucapnya takut-takut.
"Memang kamu tidak punya uang?"
"Ada, hanya saja uangku dipinjam teman, hari ini dia berjanji akan mengembalikannya." jawab Arini berbohong. Ia malu jika harus jujur di dompetnya tidak ada uang sama sekali.
Aldo menatap Arini dari ujung kepala hingga ujung kaki, entah mengapa ia tiba-tiba kasihan pada wanita itu.
Apa benar dia tidak punya uang sama sekali? Bahkan hanya lima puluh ribu?
"Tunggu sebetar."
Aldo masuk dan menutup kembali pintu kamarnya, lalu mengganti baju koko dan sarung yang dipakainya setelah shalat subuh di masjid. Ia memakai setelan kemeja berwarna biru. Setelah memakai dasi, ia merapikan laptopnya dan membawanya. Aldo kembali ke luar menemui Arini yang masih menunggu di depan pintu.
"Ayo, kita berangkat bareng saja, aku juga ingin ke kantor." Aroma farfumnya tercium nyanter di hidung Arini.
Sejenak Arini terpaku tidak bergerak dari tempatnya berpijak memastikan dia tidak salah mendengar ucapan Aldo. Setelah Aldo menuruni tangga, bergegas Arini ikut turun selangkah demi selangkah.
'Ada angin apa dia berbaik hati mengajakku berangkat bareng? Tumben!' gumam Arini dalam hati, matanya lekat memandang punggung kekar itu di depannya.
Arini mengunci pintu rumah, lalu menyusul Aldo naik ke mobil. Sesaat matanya melirik, penasaran melihat mimik wajah lelaki itu. Arini berkidik ngeri melihat wajah Aldo yang dingin.
"Senyum itu sedekah!" celetuknya pelan.
Aldo meliriknya sini, tanpa berkata apa pun, dia mulai menjalankan mobil. Saat melewati pos keamanan, Aldo membuka kaca jendela dan melambaikan tangan pada satpam yang bertugas, Arini juga menganggukkan kepala.
"Kemarin, kamu nyasar di mana?" tanyanya memecah kesunyian.
"E, diiii..." Arini memperhatikan jalanan di sebelah kanan dan kiri. Ia mencari musala yang kemarin ditemuinya. "Di dekat mushala, aku tidak tahu namanya." jawabnya pasrah karena tidak menemukan mushola yang dicari.
"Makanya perhatikan jalan dengan baik, jangan melamun!"
"Siapa yang melamun, jalan ini tampak sama semua, tidak ada tanda yang bisa dijadikan patokan!"
"Ya di hafal saja nama jalannya!"
"Iya..., ini juga lagi dihafalin." jawab Arini kesal. "Dasar bawel!" grutunya tak terdengar.
Aldo melirik sebel melihat Arini cemberut, ia melacu mobilnya dengan kencang, kemudian berbelok ke sebuah pertokoan yang masih tutup. Tidak jauh dari tempatnya parkir, terdapat beberapa gerobak penjual makanan.
"Kita sarapan dulu, kamu mau pesan apa?"
Arini melirik, tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.
Kesambet apa lelaki itu tadi malem tiba-tiba sikapnya berubah? Ngajak berangkat bareng, ngajak sarapan....
"Kamu tidak mau sarapan?" senggak Aldo menyentak lamunan Arini.
"E, mau Kak Al! Aku mau bubur ayam." jawab Arini gelagepan.
"Ya sudah turun, jangan bengong saja!"
Arini tersenyum kaku lalu bergegas turun. Ia mengikuti Aldo yang berjalan lebih dulu.
"Pak, buburnya dua." pesan Al pada tukang bubur.
Si Bapak segera menyiapkan pesanan Aldo. Arini duduk di di depan Aldo tapi tidak saling berhadapan. Arini di ujung sebelah kiri dan Aldo di ujung sebelah kanan. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Arini tampak tegang menghabiskan bubur ayamnya. Ia merasa aneh makan berdua di tempat seperti itu dengan Aldo. Setelah selesai sarapan. Aldo membayar makanan mereka dan kembali ke mobil.
Arini sudah lebih dulu berjalan ke mobil. Saat Aldo menekan remot mobil, Arini segera masuk ke dalam. Aldo melaju mobilnya melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan keduanya hanya diam membisu, hanya alunan musik yang terdengar sayup-sayup memgiringi kebisuan mereka.
"Kantor kamu di mana?"
"E, di Sudirman,"
"Kalau naik busway, apa jalannya masih jauh ke kantor kamu?"
"Sudah dekat." ujar Arini."
"Kamu aku drop di halte busway saja ya? Aku malas ke Sudirman."
"Iya, tidak apa-apa Kak Al, terima kasih banyak, sudah mengajakku sarapan dan mengantar sampai di sini."
"Siapa yang mengantar kamu? Aku cuma sekalian lewat saja." ujar Aldo tak ingin membuat Arini besar kepala.
Arini melirik kesal.
Dasar orang anah. Apa susahnya sih bilang sama sama?
Aldo mengambil dompet dari saku celananya, lalu mengeluarkan uang lima puluh ribu.
"ini, katanya mau pinjam, tapi nanti sore kembalikan!"
Arini semringah melihat uang lima puluh ribu ditangan Aldo. Malu-malu, ia mengambil uang itu dari tangan Aldo.
"Terima kasih Kak Aldo, nanti sore pasti kukembalikan," janjinya.
Aldo memingirkan mobilnya di halte pemberhentian. Arini menjulurkan tanganmya pada Aldo. Lelaki itu melirik, lalu melengos. Melihat Aldo tidak merespon, Arini buru-buru menarik tangannya dan turun dari mobil. Aldo segera melanjutkan perjalanannya.
Arini tersenyum bahagia, walau sikap Aldo masih galak padanya, tapi dia tetap bahagia mendapat perhatian sedikit dari Aldo. Setidaknya perutnya tidak keroncongan pagi ini, dan dia mendapat pinjaman uang.
Bergegas Arini mengeluarkan hapenya dan memesan ojol, dia tidak yakin mampu menaiki tangga busway yang panjang itu dengan kondisi kakinya saat ini.
Aldo melacu mobilnya ke kantor, setelah sampai di kantor, ia masuk ke ruangannya dan bersiap memulai aktifitas seperti biasa. Dering telphon menghentikan kegiatannya. Diraihnya hapenya yang tergeletak di meja, matanya membulat melihat nama Farah tertulis dilayar kaca. Aldo segera mengangkat panggilan itu.
"Halo, Farah?"
"Iya, Al.... Aku ingin bicara denganmu." ujar Farah dengan suara parau.
"Kamu menangis?" tanyanya, belum sempat Farah menjawab, Aldo melanjutkan kata-katanya, "Oke baik, kapan kita ketemu?"
"Nanti sore, sepulang kantor, kita bertemu di mal Senayan."
"Oke sampai ketemu nanti sore." ujar Aldo sembari menutup telphon.