Part 1
Hari ini adalah hari pertamanya bekerja, Arini diterima di sebuah kantor yang tanpa disadarinya adalah milik Aldo-kakak kelasnya yang pernah dia tolak cintanya. Arini berlari lari kecil dari stasiun kereta menuju kantornya yang tidak jauh dari sana. Tapi, sepertinya dia akan terlambat. Rencana berangkat pagi gagal sudah. Arini belum sepenuhnya terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Mencuci prabotan dapur yang hanya beberapa biji pun, butuh waktu lama untuk menuntaskannya.
Bagaimana tidak, Arini Alaika terlahir sebagai anak tunggal seorang pengusaha kaya. Fasilitas mewah selalu ia dapatkan dari orang tuanya. Dia sangat dimanja dan dilayani layaknya seorang putri. Arini nyaris tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi sayang, ayahnya bangkrut dan terpaksa mendekam di penjara karena tidak mampu membayar hutang. Arini terpaksa berhenti kuliah dan mencari pekerjaan untuk biaya hidupnya dan ibunya.
Sesampainya di kantor, ia dihadang oleh Mona. "Arini! Bukankah ini hari pertamamu bekerja? Kenapa terlambat?" tegur Mona, staff keuangan di kantor itu.
Sejenak, Arini mengatur napasnya yang masih tersengal-sengal karena berjalan tergesa-gesa. "Maaf, Mbak. Rumah saya jauh."
"Memangnya di mana rumah kamu?"
"Di Pasar Minggu, Mbak."
"Rumah saya di Bogor, tapi tidak terlambat."
"Iya, Mbak, maafkan saya ... saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi." ujar Arini menunduk.
"Ya sudah sana! Buatkan teh manis panas untuk karyawan di sini." mata Mona menatapnya sinis.
"Baik, Mbak."
Arini segera beranjak ke ruangan pantry di antar oleh Ra, resepsionis yang kemarin menerima dokumen lamarannya . Arini mengambil sebuah nampan dan lima buah gelas, lalu menuangkan air panas dan memasukkan gula pasir masing masing satu sendok ke dalam gelas, kemudian mencelupkan satu kantung teh ke dalam tiap tiap gelas, lalu mengaduknya. Ragu-ragu, Arini mengangkat nampan itu sambil berjalan selangkah demi selangkah.
'Bismillah, semoga nampan ini tidak jatuh.' gumamnya dalam hati.
Tangannya gemetar membawa nampan itu. Ini adalah pengalaman pertamanya membawa nampan yang berisi lima gelas teh panas. Beberapa mata tertuju padanya. Para karyawan itu ngeri melihat cara Arini membawa nampan itu.
Setelah berjuang mati matian, akhirnya Arini sampai juga ke nakas. Dilapnya keringat yang membasahi kening dengan sapu tangan yang terselip di saku roknya. Lalu meletakkan teh manis panas itu di atas nakas yang memang tersedia untuk minuman dan makanan.
"Arini, ini jadwal tugas kamu, agar kamu tidak bingung mau ngapain." Ra, menyerahakan selembar kertas pada Arini. "Tempel di pantry," ujarnya.
Sesaat Arini tertegun, kemudian mengambil jadwal dari tangan Ra.
"Iya, terimakasih, Ra." ujarnya sambil lalu.
Arini berjalan ke Pantry lalu menempel kertas itu di dinding. Dibacanya satu persatu daftar tugasnya. Matanya melihat jam yang tertera di jadwal, lalu diliriknya jam dinding. Jam sembilan? Saatnya menyuguhkan snack dan kopi ke ruangan bos.
Karena tidak tahu harus beli apa dan pakai uang siapa, Arini kembali bertanya pada Ra. Ra menyuruhnya meminta uang pada Mona. Arini pun menemui Mona. Setelah mendapatkan uang, Arini berjalan ke luar mencari roti seperti arahan Ra. Setelah berhasil mendapatkan rotinya, Arini kembali ke kantor.
Di seduhnya secangkir kopi lalu meletakkan kopi dan roti itu di atas nampan. Kemudian ia berjalan perlahan ke ruangan bos. Arini meletakkan nampannya di lantai lalu mengetuk pintu, kemudain mengambil lagi nampan itu dan membawanya masuk.
Karena terlalu berkonsentrasi membawa nampan, Arini tidak memperhatikan siapa lelaki yang duduk di kursi itu. Sesampainya di depan meja, Arini, meletakkan nampannya lalu mengangkat tatakan gelas dan juga roti ke atas meja. Keringatnya bercucuran setiap kali mengangkat nampan.
"Silakan diminum, Pak" ujarnya.
Arini sedikit membungkuk dan bersiap ke luar, sekilas di liriknya lelaki itu. Matanya membulat saat melihat sosok yang cukup dikenalinya.
"Kak Aldo?" ujarnya dengan mata membulat, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Masih ingat denganku?" tanya Aldo dengan wajah sinis.
"Ingat, donk!" sahut Arini semringah. Sekilas matanya melihat sekeliling ruangan. "Jadi perusahaan ini milik Kak Aldo?"
"Iya, dan kamu tidak usah sok akrab! Ngerti? Silakan kembali ke dapur. Dan jangan lupa, bersihkan semua toilet yang ada di kantor ini!" ujar Aldo ketus.
Arini tertegun melihat sikap Aldo, seingatnya, dulu lelaki itu sangat baik padanya. Tapi kenapa sekarang jadi galak begini? Seumur hidupnya baru kali ini dia dibentak. Sekilas ia teringat ayah, andaikan ayah tidak dipenjara, mungkin ia tidak akan bernasib seperti ini.
Tapi mau bagaimana lagi, saat ini tidak ada pilihan pekerjaan lain. Suka atau tidak, dia harus tetap bertahan di kantor itu demi tiga juta rupiah gaji yang dijanjikan setiap bulan untuknya.
"Baik, Kak Al, Maaf." Arini beranjak pergi dengan wajah menunduk.
Aldo tersenyum sisnis melihat Arini menundukan kepalanya. Dia senang bisa membuat Arini jinak seperti itu, biasanya gadis itu sulit sekali didekati, jangankan diajak jalan bareng, diajak bicara saja tidak pernah bisa lama. Tapi kali ini, sepertimya Arini akan menjadi bulan-bulanannya.
Aldo menyeruput kopi yang baru di disuguhkan Arini.
"Cuih! Kopi apa ini?" teriaknya menyemburkan kopi yang terasa pahit di lidah. Setengah berlari, dia menuju wastafel dan berkumur dengan air kran. Rahangnya mengeras saat melihat masih tersisa butiran ampas kopi menempel di mulutnya.
"Ah, sial! Apa dia tidak tahu cara membuat kopi?" umpatnya.
Dengan kesal, Al membawa gelas yang berisi kopi itu ke ruang pantry, didapatinya Arini sedang duduk sembari memegang smartphonnya.
"Arini! Apa kamu tidak tahu cara membuat kopi?"
Arini terkejut melihat Al yang datang marah marah sembari membawa gelas berisi kopi yang tadi diantarnya.
"Memangnya kenapa, kak Al?"
"Nanya lagi! Coba saja kamu minum sendiri!"
Al meletakkan gelas itu di meja.
Sesaat Arini tertegun memperhatikan kopi itu. Kemudian kembali menoleh Aldo.
"Buatkan aku yang baru." ujar Aldo sembari melangkah meninggalkan Arini.
"Tapi Kak Al, aku belum pernah membuat kopi sama sekali." teriak Arini. Saat Aldo berbalik dan menatapnya, Arini menunduk. Ia tidak berani menatap wajah Al yang terlihat sangar.
Al menghela napas, sebenarnya ingin diacuhkannya saja gadis itu, tapi dia sudah sangat ingin meneguk kopi. Terpaksa dia mengalah dan mengajari Arini takaran kopi dan gula yang pas di lidahnya.
"Besok buat seperti ini, jangan lupa di saring!" ujarnya ketus setelah selesai mengajari Arini membuat kopi.
"Baik Kak Al, terima kasih."
Aldo melirik Arini sinis, 'Sejak kapan dia berubah jadi sok imut seperti ini?' gumamnya dalam hati. Jika bukan karena ingin membalaskan sakit hatinya, pasti sudah dipecatnya gadis itu.
Melihat Arini selesai menyaring kopi, Aldo tersenyum sinis, "Antar ke ruanganku, SEKARANG!" sergahnya mendekatkan wajahnya ke wajah Arini.
Mata Arini membulat menatap Al, "kenapa tidak dibawa sekalian,?" tanyanya polos.
Seketika mata Aldo melotot. "Apa kamu bilang?" ujarnya dengan gigi merapat.
Melihat reaksi Aldo, Arini menunduk sambil cengir. "Eheh, nggak kok Kak Al, maaf." ujarnya tersenyum kecut.
Buru-buru, Arini meletakkan gelas yang berisi kopi di atas nampan, lalu berjalan di depan Aldo selangkah demi selangkah.
Aldo geregetan berjalan di belakang Arini, "Bisa tidak berjalan lebih cepat? Dasar lelet!" sergahnya sembari mendahului Arini.
Arini gemetar mendengar suara Al yang terus membentaknya, walau sekuat apa pun dia berusaha tegar, tapi akhirnya matanya berkabut. Tangannya bergetar karena grogi. Karena tidak terbiasa membawa nampan, air kopi di dalam gelas itu tumpah karena tangan Arini tidak stabil.
Al semakin gregetan melihat kopinya tumpah di tatakan.
"Kamu bisa kerja tidak, sih?" sergahnya lagi.
"Ma-maaf Kak Al, saya tidak sengaja."
Suara Arini bergetar dan parau, wajahnya tertunduk, ia berusaha menyembunyikan wajahnya.
'Cowo sialan, kalau saja ayah tidak dipenjara, aku tidak akan seperti ini.' bisiknya dalam hati.
"Dasar cengeng, baru dibentak sedikit sudah menangis. Tidak usah menangis, tidak ada yang kasihan melihat air matamu... sudah sana! lanjutkan pekerjaanmu!"
'siapa yang menagis!' grutu Arini dalam hati.
"Baik, Kak Al, permisi." ujar Arini sambil lalu.