Di sudut lain, Arini sudah selesai melakukan transaksi jual
beli. Wajahnya berseri mendapat uang lima ratus ribu. Walau berat menjual tas yang dibelinya dulu seharga dua juta rupiah, tapi ia harus melakukannya, yang terpenting saat ini, dia bisa menyambung hidup sampai tiba gajian akhir bulan ini. Ia harus bertahan dan berhemat dengan uang itu. Sesaat mata Arini menyusuri setiap sudut lantai, mencari sosok Aldo. Karena tidak menemukan lelaki itu, ia memutuskan untuk pulang.
Ia melangkah menuruni lantai demi lantai. Lalu memesan ojol menuju stasium kereta. Kali ini ia tidak akan tersesat lagi, sebab alamat lengkap rumah sudah disimpannya di dalam ponsel.
Arini mendapati rumah masih kosong, tapi tidak masalah. Diambilnya kunci di dalam dompet lalu membuka pintu. Diletakkannya nasi bungkus di meja makan yang dibelinya di stasiun kereta tadi. Karena perutnya mulai terasa lapar, ia memutuskan untuk menyantap makan malamnya. Ia menyalakan tivi lalu duduk bersantai di meja makan sembari menikmati nasi bungkus dengan lauk telur dadar. Ia mencari drama korea favoritnya. Setelah selesai makan, ia membuang bungkus bekas makannya ke tong sampah di dapur. Kemudian mengambil segelas air putih dan meneguknya.
Hari sudah hampir malam, tapi Aldo belum juga pulang. Arini pindah duduk ke sofa di depan tivi. Walau layar tivi di lantai dua lebih besar ia memilih menonton di bawah. Dia tahu area tivi di atas adalah tempat favirit Aldo di rumah ini. Bukankah Aldo tidak mengizinkannya menyentuh barang-barang pribadinya?
Matahari mulai tenggelam, ia menoleh ke luar berharap Aldo muncul di sana. Tapi lelaki itu tidak juga menampakkan batang hidungnya. Sejenak matanya melihat sekeliling rumah, sunyi dan sepi. Tiba-tiba saja ia merinding, ia mengencangkan volume tivi untuk mengusir suara sunyi yang terasa mengiang di telinga. Kini rumah itu terdengar ramai oleh suara tivi.
Arini ingin mandi, tapi ia takut ke kamarnya mengambil handuk dan baju ganti. Membayangkan menaiki tangga saja ia merinding. Akhirnya ia putuskan untuk menunggu Aldo pulang. Adzan magrib berkumandang, suara muadzin terdengar merdu dari masjid di dalam komplek, Arini mengecilkan volume tivi. Ia mulai gelisah, ia tidak berani naik kelantai dua untuk shalat, di tolehnya ke atas, dia berkidik, nyalinya ciut. Diputuskannya untuk menunaikan salat magrib di masjid saja.
Bergegas ia berjalan ke luar dan mengunci kembali pintu
rumah. Ia berjalan sembari meraba-raba jalan menuju masjid. Di ujung jalan, tampak beberapa lelaki berjalan memakai baju koko dan kopiah, bergegas Arini mengikuti mereka. ia tersenyum lega melihat masjid berdiri megah yang terletak dua blok dari rumah Aldo. Ia segera menuju tempat wudhu, setelah selesai berwudhu, ia masuk ke masjid dan memakai mukena yang tersedia di sana.
Jamaah berbaris dengan rapi tanpa ada shaf yang rengang. Setelah imam sholat mengucap salam, beberapa jamaah bersalaman dan meninggalkan masjid. Saat melangkah pulang, ibu-ibu penghuni komplek tampak memperhatikan Arini. Sadar sedang diperhatikan, Arini melempar senyum dan sedikit
membungkuk memberi hormat.
Sesampainya di depan rumah, Arini menghela napas, garasi mobil masih kosong, Aldo belum juga pulang. Takut-takut, ia membuka pintu dan
kembali menutupnya lalu berbegas menyalakan tivi dengan volume suara yang keras. Rumah Aldo memang terletak paling pojok di blok ini. Sisi sebelah kirinya terdapat tanah kosong yang ditumbuhi pepohonan yang rindang, dan sisi sebelah kanan terdapat rumah kosong, sepertinya belum pernah ada yang menempati.
Arini melirik jam dinding, sudah pukul delapan tapi Aldo belum juga pulang. Tubuhnya terasa lengket dan gerah, ia sangat ingin mandi. Akhirnya ia memberanikan diri menaiki tangga, bergegas ia mengambil handuk dan baju ganti, kemudian setengah berlari kembali lagi ke bawah.
Sejenak, ia duduk di depan tivi, mengumpulkan kembali nyalinya untuk masuk ke kamar mandi. Karena sudah sangat ingin mandi, ia nekat masuk ke kamar mandi. Arini menyalakan air kran dengan deras untuk menghilangkan suara sunyi yang membuatnya merinding. Wanita bertubuh langsing itu, sangat takut sendirian di rumah, apalagi berada di kamar mandi.
Saking takutnya, ia mandi dengan cepat, yang penting keringat yang terasa lengket di tubuh, hilang. Ia ke luar terburu-buru dengan melilitkan handuk di tubuhnya. Arini membawa kembali bajunya yang tergantung di pintu. Tanpa pikir panjang, ia ke luar dari kamar mandi tanpa menyadari jika Aldo sudah pulang.
Arini setengah berlari menaiki tangga, tepat di anak tangga paling
atas, matanya membualt melihat sosok lelaki yang mematung di depannya. Sontak saja
Arini menjerit sembari berlari turun ke bawah dan masuk kembali ke kamar mandi.
Di lantai dua, Aldo salah tingkah, ia bingung harus apa. Melihat Arini berdiri di depannya dengan hanya terlilit handuk, membuat dadanya bergemuruh. Lelaki itu mengulum senyum melihat Arini berlari menuruni tangga. Ia menikmati pemandangan langka itu. Untuk yang pertama kalinya, ia melihat rambut hitam panjang sebahu tergerai indah milik Arini. Malam itu, Arini terlihat seksi dimata Aldo.
Di kamar mandi bawah, napas arini kejar-kejaran seperti habis melihat hantu. Sesaat ia mengatur napasnya.
Ah, laki-laki itu, kenapa tiba-tiba ada di atas? Menyebalkan sekali. Lalu sekarang bagaimana? Haruskah dia kembali melewatinyan?
Lama Arini diam di kamar mandi, dia enggan keluar dari tempat
itu. Dia tidak siap membayangkan jikalau berpapasan lagi dengan Aldo. Mau disembunyikan dimana wajahnya?
Setelah memastikan berpakaian lengkap, Arini berjalan mengendap-endap menaiki tangga. Melihat ruang tivi atas kosong, Arini berlari ke kamarnya. Ia menarik napas lega karena selamat tidak berpapasan lagi dengan Aldo. Wanita itu segera menunaikan kewajaibannya salat Isa.
Di kamar sebelah, Aldo tampak gelisah. Ia mondar mandir sembari
mengepal ngepalkan tangan, mencari ide agar bisa menceraikan Arini. Tapi ide itu tidak juga datang. Lelah, ia duduk ditepi tempat tidur. Sesaat ia menghela napas, pikirannya kacau. Aldo menghempaskan tubuhnya ke kasur. Konsentrasinya buyar, bayangan Arini yang hanya terlilit handuk, terus menganggu pikirannya.
Lelaki itu kembali duduk di tepi tempat tidur, lalu beranjak ke luar, ia ingin mandi. Dilihatnya kamar Arini tertutup rapat. Sejenak ia membayangkan handuk Arini terjatuh di depannya. Ah, andai saja!
Lelaki itu mengulum senyum, mentertawakan otak mesumnya. Ia masuk ke kamar mandi lalu menyalakan pemanas air. Lelaki itu masih enggan melupakan kejadian barusan. Ia bersiul siul sembari memakai sabun. Guyuran air hangat membuat tubuhnya segar. Usai mandi Aldo ke luar dari kamar kecil itu, ditolehnya pintu kamar Arini, ia tersenyum pada gagang pintu berwarna silver yang seolah menggodanya untuk mendekat.
Darah lelaki itu berdesir, mungkin jika Farah tidak datang menemuinya siang tadi, Aldo tidak akan sanggup menahan diri untuk tidak mengetuk pintu itu dan memaksa masuk. Ditariknya napas dalam, dikuceknya rambutnya yang basah. Ia melangkah kembali ke kamarnya.
Malam ini, Aldo tidak ingin memikirkan perceraian. Ia lebih tertarik memikirkan handuk yang melilit tubuh Arini. Imajinasi liar bermunculan di kepalanya, berandai-andai memikirkan sesuatu yang lebih. Membayangkan lekuk tubuh yang halal di sentuhnya. Lagi-lagi lelaki itu hanya bisa mengelus d**a, ia memeluk guking sembari tersenyum pada dinding. Lamat-lamat, matanya terpejam bersama bayangan Arini.