Part 5

1289 Words
Bunda yang sudah menunggu kepulangan Arini, terkejut mendapati tubuh anak gadisnya itu panas dan pucat. Wanita paruh baya itu segera membelikannya bubur ayam lalu memberinya obat yang dijual di warung, kemudian mengompresnya. Arini pun tertidur lelap dalam belayan sang bunda. Bunda selalu memanjakannya layangnya putri kecilnya. Pagi ini, Arini kembali terlihat segar. Wajahnya kembali ceria, dan siap, untuk kembali beraktivitas. Tapi bunda melarangnya untuk berangkat ke kantor. Ia tidak tega pada arini yang baru saja enakan. "Telphon saja Nak Aldo, minta izin hari ini istirahat dulu," "Ri, suda Enakkan, kok, bun. Ri, enggak enak sama karyawan lainnya, jika sering mangkir." jawabnya tanpa berani menoleh, ia tidak ingin bunda melihat raut wajahnya yang sedih. "Ya sudahlah, terserah Kamu. Tapi kalau tidak enak badan lagi, pulang saja, ya!" "Siap bundaku sayang," Angguknya ceria, lalu pamit pada bunda untuk berangkat kerja. Sesampainya di kantor, seperti biasa, ia menyeduh teh manis untuk karyawan. Belum sempat ia mengangkat nampan itu, ponselnya berbunyi. Bergegas Arini meraihnya. Ternyata panggilan dari kantor tempatnya interviu kemarin. Arini kegirangan dan berucap syukur. Ia di terima di kantor itu dan mulai bekerja besok. Arini segera membawa nampan yang berisi teh manis panas itu ke meja tempat makanan karyawan. Lalu ia pamit kepada mereka satu persatu. Karena mulai besok tidak bekerja di kantor itu lagi. Semua karyawan memberinya ucapan selamat. Lalu Arini menuju ruang Aldo, tapi sepertinya Aldo belum datang. Arini menitip pesan pada Ra, untuk memberitahu Aldo tentang pengunduran dirinya karena di terima bekerja di perusahaan lain. Dengan riang Arini kembali ke rumah dan memberitahu bunda kabar gembira itu. Bunda turut gembira mendengar kabar dari Arini. Mereka tidak tahu, jika nanti siang akan ada kabar lebih menggembirakan lagi. Sebagai ungkapan rasa syukur, bunda memasak makanan kesukaan Arini, dan rencananya nanti setelah makan siang, mereka akan mengunjungi ayah di lapas. Baru saja Arini dan bunda mengunci pintu dan bersiap ke lapas, mobil Aldo datang. Arini dan bunda bersamaan menoleh, terlihat ayah turun dari mobil dan segera mendekati mereka. Bunda tak percaya melihat suaminya bebas. Segera ia menghampiri dan memeluknya. Keduanya berlinang air mata. Arini mendekat dan mencium punggung tanan ayah dan memeluknya. "Ayah, sudah ke luar. Alhamdulillah, ya Allah!" ucarnya berlinang air mata. "Alhamdulillah, Sayang. Nak Aldo yang memberi uang jaminan sehingga ayah bisa keluar." ayah mengusap kepala Arini dan mencium puncak kepalanya haru. Arini tersenyum kaku pada Aldo, "Terima kasih kak Al," ujarnya menunduk sembari mengahapus air matanya. Aldo membalas senyum Arini tidak kalah kaku. Lalu berjalan mengikuti mereka ke dalam rumah. Mata ayah berkaca-kaca melihat kondisi rumah istri dan anaknya. Ia berjanji akan memperbaiki semua itu. "Baru saja bunda dan Arini ingin menjenguk ayah ke lapas membawakan makanan ini." ujar bunda sembari menghidangkan di meja. "Alhamdulillah, kita bisa makan bersama di rumah," ujar bunda tersenyum bahagia. "Terima kasih ya, Nak Aldo. Semoga Allah melapangkan rezeki Nak Aldo." "Aamiin," sahut Aldo ramah. Suasana menjadi sangat akrab selayaknya keluarga besar yang sedang makan bersama. Sesaat Aldo melirik Arini, ia heran kenapa Arini tidak masuk kerja? "Ayah sudah tahu rencana pernikahan Aldo dan Arini?" tanya bunda. "Sudah, bun. Tadi Aldo sudah bercerita di lapas sebelum ayah dibebaskan." "Ayah setuju, kan?" tanya bunda memastikan. "Kalau memang Arini bersedia, tentu saja ayah setuju." Arini tersenyum melihat kebahagiaan ayah dan bundanya. Walau ada rasa cemas di hatinya menghadapi pernikahannya dengan Aldo. Tapi tidak masalah, dia yakin bisa menjalankannya, yang penting saat ini ayah dan bunda bisa berkumpul lagi. Usai makan siang, Aldo berpamitan untuk kembali ke kantor, Arini mengantar Aldo sampai ke dekat mobil. "Kamu nggak masuk kantor? Jangan mentang-mentang kita akan menikah, kamu seenaknya saja bolos!" sentil Aldo kesal. "Tadi aku sudah pamit sama mba Mona dan karyawan lain. Mulai besok aku pindah kerja. Aku di terima di perusahaan yang kemarin memanggilku untuk wawancara." "Owh, baguslah! Jadi aku tidak perlu membawar pegawai yang tidak becus bekerja sepertimu!" sindirnya sembari masuk ke mobil, tanpa ucapan selamat tinggal ia malacu mobilnya ke jalan raya. *** Arini berjalan cepat menuruni tangga busway, berlomba lomba dengan pejalan kaki lainnya. Ia tidak ingin terlambat hadir di hari pertama bekerja. Karena hari pertama masuk, Arini harus menunggu istruksi dari HRD. Tepat pukul delapan, ia di anatar oleh seorang staff ke ruangan tempatnya ditugaskan. Ia menempati satu meja yang kosong. Di sinilah hari harinya akan di habiskan beraktifitasi dengan tim lainnya. "Hai Arini, selamat bergabung di perusahaan ini," sapa Nano yang datang menghampirinya. "Terima kasih, Pak, atas jesempatan yang di berikan," Arini berduri dan sedikit membungkuk sekadar memberi hormat. Ia sesikit grogi karena risih dengan tatapan karyawan lain yang memandangnya sinis. Entah apa yang salah hingga dua senior itu kesal padanya. Hari pertama bekerja Arini tidak banyak mendapat kesulitan mengerjakan tugas tugasnya. Teman-teman barunya pun menyambutnya cukup baik kecuali Dewi dan Pita. Arini sangat menyukai pekerjaannya, apalagi setelah sempat beberapa hari menjadi cleaning servis, itu membuatnya menjadi lebih bersyukur atas apa yang ia dapatkan hari ini. Ia senang sekali akhirnya bisa memakai kembali baju, tas, sepatu dan aksesoris lainnya yang lama tersimpan di koper. Tempatnya bekerja kali ini mendukung untuk tampil bergaya, sedangkan di kantor Aldo, ia hanya memakai baju seadanya. Sayang juga kan, kalau baju bagus di pakai buat kotor-kotoran. Di oerusahaan ini, Arini tampil dengan modis ke kantor, tentu saja baju dan barang-barang yang dipakaimya bermerek, walau bagaimana pun, Arini pernah hidup sangat berkecukupan. Beberapa menit sebelum jam pulang kantor, Al menelphon Arini mengajak ketemuan di sebuah kafe. Awalnya Arini menolak, sudah menjadi peraturan di keluarganya jika ada lelaki ingin bertemu, maka ia harus minta izin dulu pada ayah dan bunda. Begitulah aturan yang selama ini diterapkan oleh orangtuanya. Al menggrutu kesal sekali dengan sikap Arini. Menurutnya itu hanya alasan Arini saja yang ingin menghindar darinya. "Arini, ingat! Kau harus menepati janjimu, Aku sudah membebaskan ayahmu dari penjara!" "Iya, Kak Al, tapi aku harus pulang dulu. Kak Al jemput aku ke rumah saja, permisi sama ayah bunda." "Tidak mesti begitu juga kali, ... Itu namanya buang waktu! Lagi pula aku hanya ingin bicara sebentar tentang rencana pernikahan kita. Apa aku harus bilang ke ayahmu, kalau kau sudah setuju dengan perjanjian kita?" ancam Aldo. "Aduh, jangan Kak Al, baiklah, aku akan datang, shere lokasinya." "Bagus, jangan terlambat! Aku tidak suka menunggu terlalu lama." pekik Aldo sembari mengakhiri percakapan. "Ish, dasar manusia aneh, ngajak nikah, tapi tidak ada romantis-romantisnya." gumam Arini mematikan ponselnya. Arini merapikan meja dan mematikan komputernya. Lalu bergegas menuju ruang absen. Ia harus antri menungu giliran scan mata. Setelah selesai, Arini bergegas berjalan menuju halte busway. Sesampainya di halte, ia harus ikut dalam barisan menunggu datangnya bus. Lima belas menit menunggu, akhirnya armada datang juga. Ia memilih masuk di gerbong depan khusus wanita. Ia harus berdiri berdesak desakan dengan penumpang lain. Saat seperti ini, ia teringat mobilnya yang harus ikut dijual untuk menutupi utang ayah. Ia rindu menyetir, rindu teman-teman kuliahnya. Sesampainya di matraman, tempatnya janjian dengan Aldo, Arini segera turun di stasiun pemberhentian. Kemudian bergegas menuruni tangga. Ia mempercepat langkahnya menuju kafe, ia malas jika harus mendengar lelaki galak itu sungut-sungut karena menunggu lama. Peluh membasahi punggungnya. Arini merapikan hijabnya sebelum memasuki kafe. Dicarinya sosok Aldo ke penjuru tempat, tapi ia tidak menemukan lelaki itu. Arini duduk di salah satu kursi, lalu mengeluarkan hapenya. Tapi saat membuka hape, ada pesan masuk dari Al yang belum dibacanya. [aku sedikit terlambat, tunggu sebentar, pekerjaanku belum selesai.] Arini menghela napas. 'Hem, tahu begini, aku tidak perlu buru-buru.' gumamnya dalam hati. Arini menghubungi ayah, ia memberitahu jika pulang terlambat. Untungnya ayah tidak banyak betanya. Sambil menunggu Aldo, Arini mengisi blog nya. Menjelang magrib, Al muncul di hadapannya. "Kenapa tidak besok saja datangnya?" celetuk Arini kesal. "Aku juga maunya begitu, hanya saja, berhubung ada janji dengan seseorang di tempat ini, jadi aku tetap datang." jawab Al angkuh. "Janji dengan siapa?" tanya Arini penasaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD