Part 4

1323 Words
Lima belas menit kemudian, Aldo sampai di depan rumahnya. Arini mengintip dari celah jendela. Ia melihat mobil Aldo terparkir di halaman. Ia kemudian memberitahu Bunda tentang kedatangan lelaki itu. Sebelum Aldo turun dari mobil, Arini terlebih dahulu membuka pintu. Dia ingin memastikan Aldo bersikap selayaknya lelaki yang ingin melamar gadis impiannya, agar meyakinkan bunda jika mereka saling mencintai. "Alhamdulillah akhirnya Kak Aldo sampai juga, Mari masuk, bunda sudah menunggu." sapa Arini tersenyum ramah. "Hem," ujar Aldo dingin. Arini melirik Aldo, matanya seolah berbicara agar Aldo bersikap baik di rumahnya. Ia tidak ingin bunda curiga kalau rencana pernikahan mereka hanya sebuah perjanjian belaka. Seolah mengerti, Aldo memutar bola matanya. Ia berdehem lalu merubah sikapnya, ia melempar senyum kaku pada Arini. lalu berjalan mengikutinya dari belakang, menghampiri bunda yang menunggu di ruang tamu. "Bunda, kenalkan ini Kak Aldo, kakak kelas di kampus dan sekarang Kak Aldo bos Ri di kantor." Bunda berdiri dan tersenyum pada Aldo dan menyambutnya ramah. Kemudian mempersilakannya duduk. "Terima kasih, ya, Nak Aldo, sudah bersedia mempekerjakan Arini, maafkan jika Arini banyak melakukan kesalahan karena selama ini dia belum pernah bekerja." "Tidak apa-apa, Tante, saya mengerti, kok." Jawab Aldo ramah. Arini menarik napas lega melihat Aldo menepati janjinya bersikap ramah pada bunda. "Arini, Ayo buatkan minum untuk tamu kita!" ujar Bunda. Arini mengangguk dan beranjak ke dapur. Sesaat kemudian ia kembali dengan membawa nampan yang berisi tiga gelas air minum. Langkahnya lambat sama persis seperti di kantor. Aldo memandang dengan datar. Ternyata Sama Saja di rumah dan di kantor, dia memang tidak bisa membawa nampan. Grutunya dalam hati. Melihat Arini kesusahan membawa nampan, bunda buru-buru menghampirinya lalu mengambil alih nampan itu, kemudian membawanya ke meja. "Ayo diminum Nak Aldo, silakan." "Terima kasih, Tante." Setelah meneguk sedikit teh pahit yang di sugukan Arini, Aldo berdehem. Ia berjuang memikirkan kalimat pertama yang harus ia ucapkan untuk melamar Arini. Sesaat ia melirik Arini seolah meminta persetujuan. Arini mengangguk tipis. "Begini Tante, maksud kedatangan saya kesini ingin melamar Arini menjadi istri saya." "Melamar?" tanya bunda. Ia masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. "Iya, Tan. Saya ingin menikahinya." "Owh, begitu. Kapan rencananya?" tanya bunda yang sedikit heran. Yang dia tahu selama ini, Arini tidak punya pacar. "Kalau bisa secepatnya. Soalnya kami tidak mau pacaran. Jika tante tidak keberatan, dalam dua minggu ini, kami akan menikah. "Dua minggu? Kok buru-buru banget?" tanya bunda. Melihat Aldo dan Arini hanya tersenyum simpul menjawab pertannyaannya, bunda ikut tersenyum, lalu menoleh pada Arini. "Gimana, Sayang? Kamu bersedia?" Arini menunduk, ia tidak berani menatap wajah bunda, apalagi Aldo. Ia menggigit bibirnya sendiri, menyembunyikan rasa takut dihatinya. "Kalau diam berarti setuju!" ujar bunda menatap Arini lirih ia berusaha tetap tersenyum. Walau ada kesedihan di hatinya. Bayangkan saja, putri sematan wayangnya di lamar orang tanpa ke hadiran sang ayah di sampingnya. Arini tersenyum simpul pada bunda. Ia berharap bunda tidak curiga dengan pernikahan mereka yang tergesa-gesa. "Sepertinya Arini menerima lamaran Nak Aldo." ucap bunda tersenyum, sesaat kemudian wajahnya berubah. "Tapi ... ayah Arini sedang ada di penjara, sebaiknya kalian menemuinya dulu di lapas." "Tentu saja, Tante. Bahkan sebelum kami menikah, saya akan menjamin Om dulu ke luar dari penjara agar bisa menikahkan kami, dan juga biar tante tidak kesepian ditinggal Arini." "Sungguhkah?" tanya Bunda dengan wajah terharu. "Iya, Tante. Saya akan menjamin kebebasan Om," "Alhamdulillah. Terima kasih, Nak Aldo," ucap bunda penuh harap. Melihat antusias bunda, Arini semakin yakun dengan keputusannya. Walau dia takut, demi membebaskan ayah, dia rela menikah dengan Akdo. Setelah berbincang sejenak, Aldo pamit pulang. Arini mengantar Aldo hingga ke pintu mobil. Diliriknya bunda yang berdiri di depan pintu memperhatikan mereka berdua. Aldo mengangguk pada bunda. Aldo dan Arini berpura-pura sok mesra di depan bunda. "Hati-hati di jalan, kak Al," ujar Arini sembari melambaikan tangan. Aldo menoleh, dan memutar matanya, "Hem," jawabnya malas. sesaat kemudian mobilnya melacu ke jalan raya. Arini menghampiri bunda, dan mengajaknya kembali ke dalam. "Ri, kamu tidak pernah cerita pada bunda, tentang Aldo?" "Apa yang mau diceritakan, bun. Ri dan Kak Aldo, kan, tidak pacaran...Ohya, bun, besok tolong bangunkan Ri, cepat ya, besok Ri ada interviu kerja." Arini berusaha mengalihkan topik pembicaraan. "Loh, bukannya kamu sudah kerja di kantor Aldo?" "Iya sih, bun. Tapi pekerjaan ini jauh lebih bagus. Dulu, Ri melamar ke sini, sebelum diterima di kantor Kak Al." "Ya sudah, terserah kamu saja. Besok bunda bangunkan." Arini memeluk bundanya, "Makasih bunda, Sayang," ujarnya mencium sang bunda dengan manja. *** Pagi ini, mentari cukup cerah menyinari ibukota, seolah menyemangati warganya untuk semangat beraktivitas. Arini menuruni jembatan busway yang panjang bagai ular naga. Kemudian ia berjalan menuju kantor yang di tuju. Gedung-gedung pencakar langit, melindunginya dari terik mentari. Ia berhenti di zebra cross, bersama para penyebrang jalan lainnya, menunggu lampu hijau untuk pejalan kaki. Sesampainya di kantor, Arini segera bergabung dengan beberapa pelamar lain yang juga dipanggil untuk wawancara. Satu persatu mereka masuk kedalam ruangan HRD. "Sudah pernah bekerja? tanya Nano, manager yang mewawancarai Arini. "Belum, pak! Tapi saya akan bekerja keras sesuai SOP perusahaan ini." ujar Arini bersungguh-sungguh. Ia sangat ingin di terima di perusahaan itu agar bisa menghindar dari Aldo yang terus membentaknya. Nano tersenyum, sorot matanya indah menatap gadi ayu di depannya. "Saya percaya dengan kemampuan kamu, tapi kami harus berembuk dulu. Saya juga sangat berharap kamu diterima dan menjadi anak buah saya." seuntai senyum terlontar di bibirnya. Arini mengangguk dan membalas senyumnya. Usai wawancara mereka harus bersabar lagi, karena menunggu pengumuman yang diumumkan besok. Arini bergegas kembali ke kantor tempatnya bekerja. Langkahnya terhenti di depan meja resepsionis, setelah menarik napas, ia kemudian masuk ke dalam. Ia menganggukkan kepalanya membalas tatapan para karyawan yang menatapnya dingin. "Arini, kamu dari mana saja? Niat kerja nggak, sih?" tegur Mona yang melihat Arini baru datang. "Maaf, Mbak, saya habis ikut interviu, saya sudah izin sama Pak Aldo kemarin." Mona menatapnya dingin, tapi tidak mungkin dia marah karena Aldo sudah memberi izin, "Ya sudah sana, masuk," matanya mengawasi Arini yang berjalan melewatinya. Sesampainya di pantry, ia langsung meraih kain lap dan menyiapkan cairan pembersih kaca, lalu bergegas membersihkan ruangan kantor. Ruang yang pertama ditujunya adalah ruangan Aldo, pelan ia membuka pintu. "Permisi Kak Al," sapanya meminta izin. Aldo menoleh dengan tatapan datar, bibirnya membentuk garis lurus. Tanpa menjawab, ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Arini masuk dan mulai membersihkan lemari, meja, kursi dan semua prabotan di ruangan itu. Tiadak ada sepatah katapun yang ke luar dari mulut keduanya. Seolah tidak ada kejadian penting yang mereka lalui tadi malam. Setelah selesai membersihkan ruangan Al, Arini beranjak ke luar. Dia acuh saja dengan tatapan Aldo yang meliriknya sinis. Gadis bertubuh langsing itu, lanjut membersihkan ruangan karyawan lain. Belum selesai ia membersihkan seluruh ruangan, Ra, menyuruhnya membelikan makan siang. Tanpa bisa membantah, Arini, mengerjakan saja perintah Ra. Ia membersihakn tangannya terlebih dahulu, yang terasa panas dan memerah. Tangannya belum terbiasa memegang kain lap yang dipenuhi debu. Kemudian bergegas membelikan makan siang untuk karyawan. Hari ini ia merasa sangat lelah. Tapi pekerjaan adalah sebuah tanggung jawab, walau peluh membasahi tubuhnya, Arini tetap melanjutkan pekerjaan. Setelah berjibaku membersihakn seluruh ruangan, badannya terasa nyilu dan sakit, matanya hangat, dan kepalanya pusing. Arini memilih istirahat di pantry, ia tidak enak hati jika permisi lagi sebab hari ini ia masuk kerja kesiangan. Diliriknya jam yang menunjuk angka tiga. Hanya satu jam lagi, jam kantor akan berakhir. Arini memilih bersabar dan meneguk air putih untuk menurunkan suhu tubuhnya yang mulai naik. Setelah karyawan pulang, Arini memaksakan diri merapikan kantor. Dilihatnya bayangan Aldo di dalam ruang kaca, laki itu tampak masih sibuk dengan tumpukan kertasnya. setelah pekerjaannya selesai, ia pamit pada satpam. "Arini, kamu kenapa? Sakit? Wajah kamu pucat begitu?" "Iya, Pak, sepertinya saya demam." "Owh, ya sudah, hati-hati di jalan ya." "Baik, Pak, permisi." Dengan langkah lunglai, Arini berjalan meninggalkan kantor. Jarak kantor ke stasiun kereta cukup dekat, tapi saat tidak enak badan seperti itu, jarak itu terasa jauh. Gadis dengan tinggi 160 centi meter itu, hanya bisa menarik napas, saat melihat mobil calon suaminya melintas di depannya tanpa menyapa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD