Part 6

1396 Words
"Kamu masih ingat, kan, perjanjian kita? Jangan banyak tanya! Jangan pernah ikut campur urusanku, mengerri?!" Arini terkesiap, tak terbayang olehnya seperti apa pernikahannya nanti. "Maaf Kak Al. Iya ... aku mengerti!" Arini cemberut lalu menyibukkan diri menulis di blog pribadinya. "Ini gajimu selama tiga hari bekerja di kantorku." Aldo mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. Arini tersenyum melihat amplop coklat di depannya. Kebetulan sekali, Isi dompetnya sudah sangat menipis. "Terima kasih Kak Al ... Aku ambil, ya?" ujarnya basa basi. Tanpa menunggu jawaban, Arini mengambil amplop coklat itu. Lalu memasukkannya ke dalam tas. "Kamu mau pesan apa? Tapi jangan yang mahal!" Sesaat Arini melirik. Ada, ya, orang nawarin gitu? Kalau nggak niat neraktir nggak usah nawarin, kali! Grutu Arini dalam hati, bibirnya membentuk garis lurus. "Tidak usah Kak Al, makasih. Um ... Kalau bisa bicaranya tidak usah berbelit-belit, biar cepat selesai. Aku mau pulang." balas Arini tak kalah dingin. Aldo menoleh, rahangnya mengeras, bibirnya membentuk garis lengkungan ke bawa. Matanya sinis seolah melihat musuh besar. "Siapa juga yang mau nahan kamu lama-lama di sini ... Ini!" Aldo menyerahkan selembar kertas. "Siapkan semua berkas yang dibutuhkan untuk mendaftarkan pernikahan kita di KUA, Kalau sudah selesai, beritahu aku, biar aku yang urus." Arini meraih selembar kertas yang di serahkan Aldo. Dibacanya satu persatu berkas yang harus disiapkan. "Hm, nanti kalau sudah lengkap, akan kuberitahu." "Ya sudah, pulang sana!" Mata Arini membulat mendengar Aldo mengusirnya, gatal mulutnya untuk tidak protes. Tapi urung dilakukannya. Hanya giginya yang merapat menahan kesal. Mau bagaimana lagi, percuma saja protes, lelaki itu tidak akan peduli, yang ada hanya akan membuatnya tambah sinis. Untuk apa coba dia ngajak nikah? Bahkan rela mengeluarkan uang banyak, demi apa? Aneh? Apa dia kelebihan duit? Sederet pertanyaan melintas di kepala Arini. Arini beranjak dari duduknya ia memutuskan bergegas pulang sebelum lelaki itu mengusirnya untuk yang kedua kalinya. "Ya sudah, aku duluan ya, Kak Al. Assalammualaikum," pamitnya sambil lalu. Arini meninggalkan Aldo tanpa merasa perlu mendengar persetujuan darinya. Tak peduli dengan mata Aldo yang yang memandangnya kesal. Langkahnya gesit menyusuri jalan trotoar. Ia kembali ke halte busway. Armada ini sangat membantu menghemat pengeluarannya. Tidak tahu bagaimana nasibnya jika tidak ada busway, bisa-bisa dia tidak punya ongkos untuk pulang-pergi kerja. Sesampainya di rumah, Arini menyerahkan berkas yang harus disiapkan pada ayah. "Ya sudah, biar ayah yang menyiapkan berkas-berkasnya. Kamu tenang saja berkerja, ya." "Baik, Yah, terima kasih. Ohiya, bun. ini ada sedikit uang, hasil kerja Ri selama tiga hari di kantor Kak Aldo." Arini menyerahkan uang dua ratus ribu dari tasnya. "Alhamdulillah, kamu simpan saja uang itu buat kebutuhan kamu, uang bunda masih cukup," ujar bunda mengembalikan uang pemberian Arini. Ayah menatap anak dan istrinya pilu. Ia tidak tega melihat Arini harus bekerja dan berhenti kuliah. Matanya berkaca-kaca. Ia merasa telah gagal menjadi seorang ayah dan suami. Ia beranjak dari duduknya lalu ke luar. Bunda menatap iba melihat suaminya bersedih, ia mengikuti dari belakang. "Yah, sedang apa di luar?" tanya bunda menghampiri. "Maafkan ayah, bun. Ayah gagal membahagiakan kalian." suara Ayah parau. "Ayah ngomong apa sih? Bunda dan Arini bahagia, kok. Ayah tenang saja. Kalau sekedar buat bayar kontrakan dan makan, bunda dan Arini bisa kok cari duit." "Iya, bun. Terima kasih atas pengertiannya. Ayah janji akan mengembalikan hidup kita seperti dulu lagi. Doakan ayah, ya... Besok, ayah akan mulai menghubungi kolega-kolega ayah dulu." "Aamiin. Ayo, Yah, masuk ke dalam. Angin luar tidak baik untuk kesehatan." Bunda menarik tangan ayah masuk ke dalam rumah. Wanita paruh baya itu, membentangkan kasur agar suaminya bisa istirahat. "Ayah tiduran saja di sini, bunda mau menyiapkan bahan-bahan untuk jualan nasi uduk besok." Lelaki itu mengangguk pelan, matanya menatap istrinya sendu. Tidak pernah dibayangkannya kehidupan mereka akan berubah drastis seperti itu. Sejak rencana pernikahannya, Arini mulai sibuk berburu perlengkapan untuk persiapan pesta pernikahannya. Seperti hari ini, sepulang dari kantor ia berencana untuk mencari sovenir dan mencetak undangan. Ia mengerjakan semua seorang diri. Aldo? Lelaki itu tidak peduli sama sekali. Setelah menyerahkan uang dua puluh juta, dia benar-benar menghilang. Untuk menghemat biaya, Arini memilih menyewa baju pengantin. Sepaket dengan pelaminan, tenda dan kursi. Sedangkan undangan, dia memilih yang sederhana saja. Tidak banyak tamu yang mereka undang, sebab, Aldo berpesan untuk membuat pesta sederhana saja. Lelaki itu berjanji sekembalinya orangtuanya dari luar negri, dia akan mengadakan pesta yang besar. Orangtua Arini percaya sepenuhnya ucapan Aldo dan tidak curiga sedikit pun dengan ketergesa-gesaan pernikahan itu. Mereka berpikir positif karena alasan yang diutarakan Aldo tidak ingin pacaran, tentu saja orangtua Arini senang mendengarnya. Mereka mengurus semua persiapan pesta pernikahan dengan senang hati tanpa banyak tanya apalagi protes ini itu. Saat berjalan menuju halte busway, Arinu dikejutkan dengan sebuah mobil yang berhenti di sampingnya. "Arini, mau kemana? Ayo naik, aku antar!" teriak Nano dari dalam mobi. Arini melongok dari kaca mobil yang terbuka perlahan, "Oh, Pak Nano. Tidak usah pak, saya naik busway saja. Saya tidak langsung pulang, ada urusan sesikit." dalih Arini menolak halus. "O, ya sudah, aku duluannya!" "Iya, pak. Silakan!" Nano melempar senyum sembari melambaikan tangan. Arini terlihat sangat kikuk. Ia membalas dengan senyum kaku. Setelah mobil Nano pergi, Arini menarik napas lega. Keringat mengucur dari punggungnya. *** Malam ini kesibukan tampak di rumah Arini, beberapa pemuda sibuk memasang tenda dan mendekorasinya. Arini memilih warna putih dan kuning emas sebagai warna yang mendominasi pesta pernikahannya. Di sudut jendela kamar, gadis berwajah ayu itu, duduk termangu, ada rasa cemas dihatinya. Entah pernikahan macam apa yang akan dijalaninya. Besok ia akan menikah dengan manusia paling aneh yang pernah ditemuinya. Dia tidak tahu apa alasan Aldo mengajaknya menikah, bahkan terkesan terburu-buru sebab dia tidak boleh bertanya. Bahkan celakanya, dia pun tidak tahu setelah menikah akan dibawa kemana dan hidup seperti apa. Arini hanya bisa pasrah menerima semuanya. ia percaya, Tuhan pasti akan menjaganya. "Arini, belum tidur, Sayang?" sapa bunda yang datang menghampiri. "Belum ngantuk, Bun," "Kamu mikirin apa?" Arini diam sesaat, di tatapnya wajah sang bunda penuh kasih. Maafkan anakmu bunda, maafkan atas ketidak jujuran ini. Anakmu hanya ingin meringankan beban keluarga. Membebaskan sang ayah dari penjara, walau harus menggadaikan masa depannya. "Ri, cuma sedih, besok harus pergi dari rumah ini. Ri, pasti kangen sama ayah dan bunda. Ri, pasti kangen maskan bunda." rengengnya meneteskan air mata. Ada sesak yang menghimpit dadanya. "Sayang, kok ngomongnya gitu? Kayak mau pergi kemana aja! Palingan kamu pindah cuma ke Depok di rumah nak Aldo! Kapan pun kamu kangen sama bunda, kamu bisa datang ke sini, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu. Kalau kamu sibuk nggak sempat datang, bunda yang akan kunjungi kamu ke Depok. Iya, kan?" Bunda menghapus air mata Arini yang mengalir di pipi mulusnya. Arini tersenyum, lalu memekuk bunda dengan erat. Rasa takut menghadapi hari esok saat usai ijab kabul membuatnya enggan melepas sang bunda. "Sayang. Jangan menangus lagi ya. Nanti mata kamu bengkak. Apa kata tamu-tamu besok lihat mata pengantin wanitanya bengkak, nanti disangka dipaksa kawin lagi," canda bunda mencolet hidung Arini. Gadis itu tersipu malu dan mengangguk. Ia tidak ingin bunda curiga padanya. Arini berusaha memejamkan matanya walau sulit. *** Pagi ini matahari bersinar cerah, angin sejuk sepoi-sepoi berhembus meniup wajah. Ada kesibukan yang tidak biasa di kediaman Arini. Sebuah tenda yang dibentuk dari kain putih bervariasi dengan kuning emas, menjuntai membentuk sebuah kotak. Di dalam tenda berjejer kursi-kursi yang dibungkus kain putih dan diberi pita kuning emas di belakangnya. Lampu kelap kelip serta hiasan daun plastik yang menjuntai dan menjalar menambah hidup suasana. Di pinggir kanan terdapat beberapa meja, di atasnya terhidang berbagai macam makanan. Walau pestanya hanya sederhana. Tapi terkesan mewah karena pengaturan dekorasi dan pemilihan menu yang tepat. Di dalam rumah, Aldo baru saja selesai mengucap ijab kabul. Arini mencium punggung tanggan suaminya. Aldo tidak mencium kening Arini, ia langsung saja memasukkan cincin pengantin ke jari manis istrinya itu, lalu Arini pun bergantian memasukkan cincin ke jari manis Aldo. Setelah acara sungkem, keduanya di giring menuju pelaminan. Ucapan selamat dari para tamu memaksa keduanya untuk tersenyum di depan kamera. Arini memakai kebaya putih dan kain batik coklat keemasan tampak serasi dengan Aldo yang juga memakai jas putih dengan kain batik coklat keemasan yang di lilit dipinggangnya. Aroma melati yang melingkar dan menjuntai, menabah ke sempurnaan riasan kedua pengantin. Satu persatu tamu undangan datang menyalami kedua pengantin yang duduk berjauhan di kursi pelaminan. Mata Aldo membulat saat melihat sosok yang sangat dicintainya bersama seorang lelaki hadir ke pestanya, Jantungnya berdetak cepat buru-buru ia berdiri dan menggandeng tangan Arini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD