13. Kampung Halaman Shena

1698 Words
Pukul sembilan tepat Shena sampai di rumah. Menempuh perjalanan empat jam yang cukup menimbulkan rasa lelah karena duduk terlalu lama di dalam bus. Membuat Shena hanya mampu berbaring sembari mendengarkan suara jangkrik yang menjadi nyanyian malam. Nyanyian sederhana namun menjadi ciri khas pedesaan. Shena tidak jadi berangkat pagi dari kos lantaran kesiangan. Reygan sempat mengajaknya berkeliling malam harinya. Tidak ada cerita yang dibagikan seperti hari-hari sebelumnya. Tidak juga mengunjungi tempat makan untuk mengisi perut seperti biasa. Shena hanya duduk diam di boncengan Reygan. Menemani si lelaki menyusuri jalan, menikmati angin malam, di bawah taburan bintang. Shena tidak tahu persis apa tujuan Reygan malam itu. Hanya menurut saja dan enggan bertanya lebih jauh. Kondisi desanya masih sama. Hanya ada perubahan di beberapa tempat yang tidak begitu berarti. Namun cukup disambut meriah oleh para penduduk. Mengingat penduduk desa yang sangat jarang memperoleh hiburan selain dari layar televisi di rumah masing-masing. Bangunan baru yang terletak tepat di samping jalan raya. Dengan danau luas dan pepohonan rindang yang menghiasi area samping. Seperti sebuah sambutan bagi para pendatang yang baru saja mengunjungi desa. Satu hal yang pasti, Shena senang. Setidaknya bisa menghirup udara segar yang dirindukannya selama libur semester dan dua bulan magang. Tidak lagi ada asap kendaraan atau bau rokok yang membuat pernapasannya tercemar. Karena memang berasal dari desa membuat Shena lebih menyukai suasana tenang dan asri seperti ini. Malam hari yang sunyi membuat tidurnya akan lebih lelap dibanding hari-harinya selama di kota. Dan saat pagi menyambut, akan ada banyak orang yang berjalan sembari membawa cangkul untuk menuju ladang. Menikmati hari-hari bekerja keras yang nampak melelahkan namun juga terasa menenangkan. Berkali-kali Shena dibuat kagum oleh kondisi orang-orang di desanya. Yang hanya bermata pencaharian sebagai petani. Mengandalkan hasil panen selama enam bulan sekali. Bekerja keras untuk menanam padi dan merawat sampai tiba waktu panen. Prosesnya tentu lama, namun hasilnya terkadang tidak bisa disebut baik. Belum lagi terkadang ada saja hama yang menyerang tanaman dan membuat para petani harus menelan pahit karena hasilnya tidak sesuai dengan usahanya. Namun nampaknya bukan di sana letak keadilannya. Tuhan tetaplah memberi hak untuk setiap manusia yang mau berusaha dibarengi dengan doa. Jika dilihat dari kacamata manusia tentu saja para petani tidak akan kenyang karena hanya mengandalkan hasil panen yang terkadang gagal. Namun kenyataannya kehidupan para petani tetap bahagia, bisa menyekolahkan anak-anaknya walaupun hanya sampai batas sekolah menengah atas. Berkah kehidupan yang nampak begitu nyata dan berhasil membuat hati Shena tercubit. Bukan masalah seberapa banyak uang yang didapat tapi seberapa besar rasa syukur atas karunia yang Tuhan beri untuk kehidupan. Maka di sana kecukupan itu akan dirasakan. Menimbulkan rasa bahagia serta kenyamanan yang tidak bisa dibeli dengan jumlah jutaan bahkan puluhan juta uang. Di desa ini hanya ada segelintir manusia yang bisa bersekolah tinggi sampai jenjang universitas. Shena cukup beruntung karena menjadi bagian dari segelintir manusia itu. Bukan karena Shena terlahir dari keluarga kaya, hanya saja Tuhan yang terlampau mencintai Shena sampai memberinya kesempatan untuk menikmati bangku perkuliahan. Karena jarang tentu membuat penduduk desa dibuat penasaran. Bukan hal baru bagi Shena mendapatkan tatapan penasaran dari para ibu-ibu desa. Banyak yang berpendapat bersekolah sampai tinggi adalah hal yang baik, namun tidak jarang juga yang berkomentar, percuma menyandang gelar tinggi kalau ujung-ujungnya hanya berkarir sebagai ibu rumah tangga. Shena yang saat itu baru lulus dari bangku sekolah menengah atas tentu tidak bisa menampik kalimat-kalimat pedas yang sering kali terucap. Memilih diam sembari menyabarkan diri. Namun sekarang Shena tentu sudah menemukan jawabannya. Bersekolah tinggi memang tidak menjamin akan mendapatkan pekerjaan yang layak. Atau impian yang lebih tinggi, karena bersekolah bisa mengangkat kondisi perekonomian keluarga. Tapi setidaknya dengan bersekolah tinggi, akan ada ilmu yang didapat. Yang tentu saja bisa dijadikan bekal untuk masa depan. Karena yang Shena tahu, ibu rumah tangga juga termasuk pekerjaan yang berat. Bukan hanya masalah mencuci sampai membuatkan makanan. Namun ada amanah untuk mendidik generasi penerus. Dan dengan itu diperlukan ilmu yang cukup. Agar generasi yang tercipta memiliki kualitas baik, bukan sembarang generasi. *** “Loh, Mbak Shena ternyata di rumah,” ucap seorang ibu dari pagar depan rumah. Shena yang sebelumnya sedang menyirami tanaman bunga di teras menoleh. Tersenyum ramah sembari membalas ucapan ibu tetangga. “Iya, Bu. Pulang semalam, sedang liburan semester dan ada ambil magang di kabupaten,” jawab Shena seadanya. Jujur, Shena sedikit tidak nyaman jika diajak berbicara oleh ibu-ibu desa. Karena topik yang dibawa tentu tidak jauh-jauh dari perbandingan. Membandingkan pendidikan, membandingkan pekerjaan, sampai membandingkan besarnya gaji. Memang terdengar sensitif dan bukan hal yang seharusnya dibicarakan. Namun memang begitu adanya jika hidup di lingkungan pedesaan. “Oh sedang libur. Mbak Shena magang di kabupaten, bukannya belum lulus?” Shena berusaha tersenyum walaupun sudah bisa menangkap hawa tidak menyenangkan dari pertanyaan si ibu. Shena malas untuk sekadar memberi penjelasan karena pasti tidak akan diterima karena tidak memahami hal samacam ini. "Iya, Bu. Di semester akhir ada mata kuliah praktik lapangan atau nama lainnya magang." Shena memberi penjelasan singkat. Karena menurutnya tidak sopan jika hanya tersenyum tanpa penjelasan lebih. "Oh yang KKN itu ya, Mbak?” Shena tersenyum maklum. "Hampir mirip, Bu. Tapi kalau saya D3 jadi magang. Kalau KKN itu untuk yang Sarjana, Bu." Shena menjelaskan ala kadarnya. Agar bisa diterima. Tidak mungkin juga Shena memberi penjelasan tentang kegiatan pengabdian masyarakat di mana mahasiswa akan terjun langsung dalam kehidupan masyarakat. Atau masuk langsung dalam dunia profesional yang wajib dilakukan di akhir masa perkuliahan. Shena enggan membuka pembicaraan lebih jauh. "Oalah Mbak Shena D3," ucap ibu itu sembari mengangguk-angguk. "Jenjangnya lebih tinggi Sarjana 'kan ya, Mbak?" Shena hanya mengangguk singkat. Ingin sekali undur diri. Memasuki rumah untuk menghindari perbincangan yang lebih menyebalkan. Tapi Shena tidak seberani itu untuk menyampaikan rasa keberatannya. Nanti yang ada Shena mendapat omongan yang lebih menyebalkan lagi. Di cap sombonglah, tidak mengenal tetanggalah. Sampai yang lebih parah, sudah terlalu lama tinggal di kota sampai lupa dengan identitas diri. “Nanti kalau sudah lulus mau bekerja di mana, Mbak?” Hahh. Sesuai dugaan. Mau tidak mau Shena harus meladeni pertanyaan si ibu yang akan melebar ke mana-mana. Esok harinya apa yang Shena ceritakan sudah akan diketahui seluruh warga desa. Memang luar biasa sekali mulut ibu-ibu. “Nah itu, Bu. Saya butuh magang ini untuk tahu dunia kerja. Kenalan dulu, supaya nanti setelah lulus bisa lebih tahu ke mana arahnya.” “Kalau Mbak Shena kerja di kabupaten gajinya besar dong? Baguslah, Mbak bisa untuk bantu-bantu ibu di rumah. Mbak Shena sekolah tinggi sampai kuliah di kota ‘kan butuh biaya banyak. Sia-sia kalau Mbak Shena nggak dapat kerjaan bagus.” “Anak saya sekolah supaya pintar, Bu. Punya ilmu, punya bekal untuk masa depan. Supaya bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Bukan untuk mendapat kerjaan bagus sampai gaji tinggi. Itu bonus, Bu. Bekerja ya syukur nggak bekerja ya nggak masalah,” sahut ibu Shena yang baru saja muncul dari dalam rumah. Shena diam-diam menghela napas lega dengan kedatangan ibunya. Jadi tidak perlu meladeni ucapan ibu tetangga lebih lanjut. “Halah Ibu ini memang suka merendah ya,” komentar si ibu tetangga sembari tertawa pelan. Selanjutnya siap mencapai pembicaraan yang lebih k*****s dan tentu saja sangat ingin Shena hindari. “Ibu tahu Nak Dimas, anak Pak Ridwan? Dia juga sekolah tinggi seperti Mbak Shena. Sekarang sudah bekerja di perusahaan. Sudah makmur ibu, bapaknya. Punya anak lanang, pinter, bisa diandalkan.” “Mbak Sonia juga. Sudah jadi sekretaris di kota sana. Gajinya tinggi, Bu. Setiap pulang bawa mobil silver kinyis-kinyis. Masa iya Mbak Shena nggak mau mencontoh mereka. Supaya hidup Ibu lebih makmur.” Ibu Shena hanya menggeleng. Tidak habis pikir dengan ibu-ibu desa yang sangat menyukai kegiatan bergosip. Padahal tidak ada gunanya sama sekali. Hanya buang-buang waktu untuk kegiatan yang tidak menambah nilai manfaat. Malah menebar kebencian pada sesama. “Wis, Nduk. Kamu masuk aja. Siapin sarapan untuk Masmu.” Shena mengangguk patuh. Dalam hati sudah bersorak gembira karena bisa lepas dari pembicaraan tidak menyenangkan itu. Obrolan tidak penting yang sampai saat ini masih banyak diminati oleh ibu-ibu. Mengisi waktu luang untuk membicarakan orang lain. Benar-benar kegiatan yang sangat tidak menyenangkan. Bersyukur, karena setidaknya ibunya bukan termasuk ibu-ibu kebanyakan yang menyenangi kegiatan bergosip. Ibu akan lebih suka menghabiskan waktunya untuk bertanam di kebun belakang rumah. Kegiatannya jauh lebih bermanfaat daripada menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak penting itu. “Ibu Rahayu udah pulang, Bu?” tanya Shena begitu ibunya memasuki dapur sembari membawa beberapa sayuran. “Sudah. Nggak usah didengerin omongannya ya, Nduk. Memang suka ngurusin hidup orang lain. Lah wong ibu aja nggak keberatan nyekolahin kamu sampai kuliah kok, nggak keberatan kalau memang kamu nggak kerja. Malah ibu seneng kalau kamu di rumah nemenin ibu. Ehh malah orang lain yang ribut.” “Nggak apa-apa, Bu. Shena udah biasa begini, ‘kan? Semenjak lulus sekolah menengah juga, Shena sering dibicarakan ibu-ibu tetangga. Udah kebal kuping Shena, Bu.” Ibu tersenyum lembut. Mengusap bahu Shena dengan sayang. Tidak terima tentu saja, putrinya dibicarakan oleh para tetangga. Padahal Shena adalah anak yang baik dan terlampau penurut. Tapi memang dasarnya begini hidup di desa. Warganya masih tradisional, masih awam untuk hal-hal seperti pendidikan. Warga desa masih berpandangan jika pendidikan tinggi digunakan untuk mencari pekerjaan. Untuk mendapatkan gaji tinggi. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula gajinya. Padahal konsep pendidikan lebih dalam dari sekadar mendapat pekerjaan yang layak. Memang benar, pendidikan yang tinggi akan membuat seseorang semakin memiliki ilmu dan semakin mudah dalam mendapatkan pekerjaan yang layak. Namun tentu saja tidak sesederhana itu dalam memaknai pentingnya pendidikan. Pendidikan diperlukan untuk mengubah cara berpikir. Yang sebelumnya tidak tahu menjadi tahu. Yang sebelumnya tidak bisa menjadi bisa. Pendidikan juga penting untuk kehidupan masa depan. Untuk bekal mendidik generasi penerus, yang tentu saja merupakan amanah paling berat. Pekerjaan sepanjang hidup yang dampaknya bisa dirasakan sampai masa depan. Khususnya untuk kaum perempuan yang dinilai sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Jika cara mendidiknya benar maka akan lahir generasi yang benar. Tentu saja kabar baik untuk pihak orang tua. Namun jika mendidiknya salah, akan lahir juga generasi yang salah. Dengan dampak tidak menyenangkan yang akan ditelan pula oleh orang tua. Pendidikan itu bukan tentang seberapa banyak ilmu pengetahuan yang diserap. Karena semakin berkembangnya zaman, semakin canggih pula teknologi. Semakin mudah untuk mengakses internet dan belajar dari rumah. Tapi pendidikan adalah tentang karakter yang bisa dipetik, dan berpengaruh pada perubahan baik dalam setiap diri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD