"Kenapa lo?" tanya Fian begitu mendapati Reygan yang hadir di kosnya siang ini.
Kuliah sudah libur sejak tiga hari lalu. Itu artinya Shena dan Reygan sudah menjalani hubungan jarak jauh selama tiga hari. Dan akan terus seperti itu sampai dua bulan tiga minggu ke depan. Karena Shena akan magang di kampung halamannya. Otomatis selama dua bulan itu keduanya tidak bisa bertatap muka. Hanya saling berbalas kata melalui telepon atau pesan teks.
"Hambar banget hidup gue," jawab Reygan. Meraih gitar Fian yang tergeletak. Mulai memainkan jemarinya di atas senar. Menghasilkan bunyi nada yang acak. Satu kebiasaan Reygan ketika di kos Fian.
"Cewek lo baru balik tiga hari lo udah begini. Gimana kalau lulus nanti dia kerja di kampungnya. Apa nggak makin gila?"
Reygan tertawa sumbang. Menertawakan dirinya sendiri. Bukan hanya kepergian Shena yang membuat hidupnya hambar. Tapi juga satu hal baru yang harus ia hadapi. Kenyataan hidup yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, kini hadir mengisi sebuah pilihan. Yang sialnya, Reygan tidak memiliki kuasa lebih untuk memilih.
Usianya yang semakin dewasa. Semakin dekat pula menuju gerbang dunia yang sesungguhnya. Sebenar-benarnya kehidupan yang harus ia hadapi dengan dirinya sendiri. Layaknya sebuah persimpangan jalan, ada jalan berbeda yang harus ia pilih. Dan setiap pilihan itu akan mengantarkannya pada kehidupan di masa depan.
"Ayah gue minta gue kerja di kantornya setelah lulus. Liburan ini gue diminta magang di sana." Reygan mengucapkan kalimat berikutnya dengan suara lemah. Fian yang menyadari itu langsung berbalik. Menatap Reygan prihatin.
Reygan menyukai dunia fotografi. Itu yang Fian tahu. Prodi yang Reygan ambil selama ini pun lantaran keinginan sang ayah. Reygan harus bekerja di kantor untuk meneruskan apa yang sudah dijalani oleh ayahnya.
"Seharusnya sejak awal lo udah tahu kalau akhirnya bakal begini, Rey. Jadi hal begini bukan lagi sesuatu yang harus lo pikirin. Karena begitu lo masuk prodi yang Ayah lo mau, lo udah siap untuk konsekuensinya."
Ada helaan napas panjang. Fian tahu Reygan lelah dengan hal semacam ini. Sebenarnya kalau Fian berada di posisi Reygan, ia tidak akan ambil pusing. Karena masa depannya sudah di depan mata. Tidak perlu lagi mencari-cari pekerjaan setelah lulus nanti. Sayangnya, Reygan memiliki minat di bidang lain yang sangat jauh dengan keinginan ayahnya.
"Gue pikir, setelah bertahun-tahun berjalan, Ayah nggak akan maksa gue lagi. Ternyata masih aja," keluhnya. Merasa benar-benar lelah dengan semuanya. Beragam penghargaan yang ia dapat tidak lagi berguna di mata sang ayah. Karena tekadnya tetap sama, Reygan harus meneruskan apa yang sudah dijalani oleh ayahnya.
"Mau makan apa kamu kalau cuma main-main kamera? Di luar sana masih banyak fotografer yang lebih ahli. Fotografer kaya kamu ini yang baru belajar nggak akan dapat ruang. Sadar, Rey! Daripada kamu memperjuangkan yang belum pasti, lebih baik melanjutkan apa yang sudah Ayah perjuangkan."
Kalimat panjang yang ayahnya ucapkan saat itu. Berhasil membuat kepercayaan diri yang Reygan miliki menghilang begitu saja. Meredupkan semangat, menjauhkan mimpi yang sudah ia bangun sejak lama. Satu keinginan hebat yang selalu menemani perjuangannya selama ini. Sayangnya, sang ayah tidak merestui. Dan Reygan sadar, jalannya tidak akan mudah.
"Kamu mencintai pacarmu itu, 'kan? Bekerja di kantor Ayah, setelah mampu kamu bisa mengambil alih. Baru setelahnya Ayah akan mendampingi kamu menemui orang tuanya. Jangan sampai kamu mempermalukan Ayah dengan datang ke orang tuanya tanpa bekal penuh."
Reygan tahu, ada niat baik di balik ucapan ayahnya saat itu. Ayah tidak mau anak laki-lakinya hidup susah. Ayah juga tidak akan mengizinkan hubungannya dengan Shena ke tahap yang lebih jauh, jika Reygan belum memiliki bekal cukup.
Hanya saja, Reygan merasa ayahnya terlalu memaksa. Tidak membiarkan Reygan berusaha dengan kemampuan terbaiknya untuk mengejar masa depannya sendiri. Ayahnya langsung membuatkan jalan. Memaksa Reygan untuk melangkah di jalan yang sudah dibuat sedemikian rupa. Membuat Reygan tidak bisa merasakan kerja keras untuk menyingkirkan kerikil dari jalan yang dibuatnya sendiri.
"Hubungan gue dan Shena nggak akan bisa lanjut kalau gue nggak terima tawaran itu."
Fian menghela napas panjang. "Daripada lo meratapi nasib begini, mendingan lo mulai kasih tahu Ayah lo sama kemampuan yang lo punya, Rey."
Reygan tersenyum kecut. "Lo pikir selama ini gue nggak usaha? Percuma, Yan. Ayah gue selalu tutup mata sama pencapaian gue. Menganggap semua itu nggak berguna."
"Lo belum coba ambil job, 'kan?"
Reygan menoleh. Tertarik dengan pertanyaan Fian. Ya, selama ini Reygan memang belum menghasilkan uang dari hal yang ia minati, kecuali jika menang dalam perlombaan. Tapi untuk terjun langsung ke lapangan, menikmati kemampuannya dalam dunia pekerjaan, belum sekalipun ia rasakan.
"Untuk sementara lo ikutin aja maunya Ayah lo. Lo magang di kantor Ayah lo, kerjain TA, dan ya ikutin rulesnya. Sembari lo asah terus kemampuan yang lo punya. Mei nanti udah ada jadwal wisuda. Jasa fotografer akan banyak di cari, Rey. Kalau lo pinter atur waktu, sehari lo bisa dapat lebih dari dua klien. Itu baru dari kampus kita, belum univ lain."
Reygan menegakkan punggungnya. Semakin tertarik dengan topik yang Fian bawa. Karena memang hal semacam ini belum pernah terpikirkan oleh Reygan sebelumnya.
"Buka akun, pamerin hasil jepretan lo mulai sekarang. Minta bantuan anak-anak juga buat promoin ke teman-temannya yang hampir lulus. Musim wisuda nanti lo bisa banjir kerjaan, Rey."
Reygan mengangguk-angguk setuju. Mulai menemukan jalan keluar atas kebingungannya selama ini.
"Setelahnya, lo bisa kasih lihat ke Ayah lo. Kalau kemampuan lo juga bisa hasilin duit. Ini baru versi gampangnya karena waktu lo nggak banyak. Belum lagi kalau lo udah dapat tawaran dari perusahaan-perusahaan besar untuk company profil mereka. Sekarang waktunya lo usaha lebih keras untuk kasih tahu, kalau apa yang lo minati juga bisa menghasilkan. Setelah lihat usaha lo, gue yakin Ayah lo nggak bisa nuntut lebih."
Fian menepuk bahu Reygan beberapa kali. Sebagai bentuk kepedulian dengan teman.
"Thanks, Yan."
"Santai. Itu gunanya teman." Fian menjeda sejenak kalimatnya. "Kerja keras buat mimpi-mimpi lo. Buat Shena juga."
Reygan mengangguk mantap. Ia harus bekerja keras mulai sekarang. Untuk memperjuangkan mimpi-mimpinya agar terealisasikan di masa depan. Dan juga untuk Shena. Perempuan pujaannya yang Reygan pastikan akan tetap menjadi miliknya. Bahkan di masa depan nanti.
Untuk itu, Reygan harus memperjuangkan apa yang perlu ia perjuangkan. Agar hidup Shena selalu bahagia saat bersamanya. Karena mencintai, bukan dengan mengikat namun membuat pergerakannya terbatas. Namun dengan mengikat dan saling berbagi kebahagiaan.
***