1. Sepotong Puzzle Yang Hilang
Trak ….
Shena meletakkan bolpoin itu kasar. Menghentikan kegiatan menggoreskan tinta pada lembaran buku halaman kesekian. Sudah hampir mengisi separuh lebih. Nyaris menuju halaman terakhir. Yang menyiratkan, jika cerita yang ia goreskan akan menemui titik akhir. Bagian yang menjadi penutup dari cerita ini bermula. Untuk kemudian akan dilanjutkan goresan cerita lainnya. Di buku lainnya. Dalam alur yang berbeda.
Ada senyuman masam yang menghiasi bibir itu. Titik akhir. Omong kosong. Karena pada kenyataannya, akhir cerita itu sudah terjadi beberapa saat lalu. Terhitung tiga bulan tepat di hari ini.
Mungkin seseorang di sana sudah mulai menemui fase hidupnya yang baru. Meninggalkan beragam hal memuakkan berlandaskan cinta yang dulunya diagung-agungkan sebagai sesuatu yang sakral. Bisa menyatukan sepasang manusia dalam sebuah ikatan sah di hadapan Tuhan. Tapi yang terjadi tidak seindah itu, tidak selurus itu.
Cinta bukan lagi hal yang harus dipercaya, bagi Shena. Cinta membuatnya bodoh, cinta membuatnya lemah, dan cinta membuatnya nampak begitu kecil. Mudah jika sewaktu-waktu ia harus disingkirkan, karena dinilai menghalangi jalan.
Layaknya sebuah n****+ romantis yang digemari remaja dalam fase pendewasaannya. Lembaran demi lembaran penuh berisi barisan tulisan. Setiap halamannya menawarkan kisah indah. Entah efek sedih, marah, kecewa, atau justru senang. Yang jelas, setiap goresannya tertulis begitu indah. Bagaikan nyanyian malam hari yang mengantarkan pada ketenangan hati. Membuat sepasang mata terpejam, lelap dalam bingkai mimpi yang mempesona.
Jika kebanyakan buku akan dimulai dengan bab perkenalan, Shena memilih memulai cerita ini di tengah perjalanan. Bukan karena ingin menciptakan keunikan, berbeda dari yang lain. Hanya saja, Shena ingin berbagi tentang perasaan sakit yang tersemat begitu jelas, menancap sangat tajam, dan sialnya terkenang begitu indah di dalam hati.
Mungkin logika sudah berkali-kali mengumpat. Mencerca Shena yang malah sibuk mengenang kisah menyedihkan itu. Bukan hiperbola, karena memang perjalanan yang dilalui berisi beragam hal indah lainnya. Tidak melulu tentang timbulnya sakit hati yang membuat air matanya meleleh dengan suka rela. Hanya saja, hati tidak mau diajak berkompromi. Jika momen menyakitkan itu jauh lebih menarik untuk dikenang. Terlalu berarti untuk cepat dilupakan.
Efeknya, tentu saja Shena nampak berkali-kali lebih menyedihkan. Menjadi satu-satunya yang tersisa dalam satu cerita lama. Yang sudah seharusnya terhapus, bersama beragam hal baru yang datang menghampiri. Menikmati fase demi fase yang normalnya dilalui setiap diri.
Bahkan sering kali tercetus pertanyaan, apa Reygan merasakan hal yang sama sepertinya? Apa Reygan masih sesekali mengingat momen yang keduanya lalui. Sejak cerita itu dimulai, dan berakhir tanpa akhir. Atau yang lebih ekstrem, apa jalan takdir masih bisa membuat keduanya berdiri pada titik temu? Kembali mengulang yang sudah lalu. Menyelesaikan cerita yang terpenggal di tengah perjalanan.
Shena dan mungkin kebanyakan orang di dunia pasti menginginkan akhir cerita yang bahagia. Cinta yang penuh kasih, menimbulkan lengkungan senyum. Mengubah suasana sendu menjadi bahagia. Melengkapi satu manusia dengan manusia lainnya. Untuk mengukir cerita baru yang sayang untuk dilupakan. Namun jika takdir sudah mengatakan cinta yang sedih, apa yang bisa Shena lakukan?
Menentang?
Jelas itu bukan hal yang baik.
Bukan karena alasan mampu atau tidak mampu. Tapi lebih ke arah, apa ia layak untuk melakukan pertentangan pada garis takdir yang tersemat dari Sang Pencipta.
Dan juga satu hal bernama cinta. Hah, bahkan Shena sudah tidak lagi percaya pada satu hal itu. Tidak ada lagi yang namanya cinta. Semua hanya omong kosong yang sayangnya, terucap dengan begitu indah. Membuat Shena terlena. Begitu saja, cerita itu sudah dimulai tanpa pernah Shena sadari.
Satu yang membekas, seharusnya sejak cerita itu dimulai, sejak Shena membuka hatinya dengan suka rela untuk kehadiran Reygan. Shena sudah siap untuk satu hal lainnya yang bertentangan. Patah hati. Ya, patah hati.
***
“Namanya Nak Andra. Katanya satu kantor sama kamu.” Kalimat Ibu membuat perhatian Shena beralih. Mengabaikan sepiring nasi goreng yang pagi ini menjadi sarapannya.
Ibu memang membawa topik kehadiran laki-laki yang melamar Shena, di meja makan pagi ini. Shena awalnya tak acuh. Karena memang tidak tertarik untuk membicarakan pernikahan lebih jauh. Tapi begitu Ibu menyebut satu nama, tentu Shena tidak bisa terus tidak peduli. Ia tahu persis, siapa sosok laki-laki yang Ibu sebutkan tadi.
“Nak Andra bilang kalian nggak begitu dekat karena beda bidang. Tapi Nak Andra sudah memperhatikan kamu sejak kamu masuk. Kamu kenal Nak Andra, Nduk?”
Shena mengangguk gamang. Selera makannya hilang begitu saja. Nasi goreng yang Ibu buat khusus dengan bonus telur mata sapi di atasnya tidak lagi menggugah seleranya.
“Tahu, sedikit,” jawab Shena lirih. “Lumayan dikenal sama orang kantor.”
“Posisinya tinggi, Nduk?”
“Masuk staf fungsional kayaknya, Bu. Shena nggak begitu tahu.”
Itu bohong. Shena tentu sedikit banyak tahu mengenai struktur organisasi di kantor tempatnya bekerja empat bulanan ini. Juga orang-orang yang mengisi jabatan itu. Termasuk Andra. Hanya saja, Shena enggan membahas lelaki itu lebih jauh.
“Kamu tertarik sama Nak Andra?”
“Shena nggak tahu, Bu. Belum kepikiran ke sana.”
Ibu menghela napas. Menarik kursinya agar lebih dekat dengan Shena. “Nduk, kesempatan baik itu nggak boleh disia-siakan loh. Nak Andra ada niat baik untuk membangun rumah tangga sama kamu. Sudah mapan, punya pekerjaan tetap, dan dewasa. Usia kalian juga nggak terlalu jauh. Nak Andra bisa ngemong sekaligus jadi teman. Menurut Ibu, Nak Andra ini sudah paket lengkap untuk kamu.”
Shena hanya tersenyum singkat. Beranjak dari duduknya. Segera menyalami Ibu dan pamit berangkat.
“Loh, loh, sarapan kamu belum habis, Nduk,” ucap Ibu keheranan. Mungkin Ibu mengira pembicaraan itu akan berlangsung lama dan menyenangkan. Shena akan suka rela memberi respon dengan antusias. Sayangnya, yang terjadi tidak demikian. Bukannya memberi respon, Shena justru beranjak dan buru-buru berangkat. Memangkas cerita tanpa memberi jawaban.
“Buat Ibu aja, Shena udah telat.”
Ibu hanya menggeleng menatap punggung putrinya yang semakin menjauh. Tentu tahu alasannya. Shena masih enggan membuka hatinya untuk laki-laki lain, selepas Reygan memutuskan semuanya.
Hati itu kini senyap dan dingin. Tidak ada lagi yang mengisi dengan luapan kasih sayang. Shena kehilangan potongan puzzle terakhirnya.
Puzzle itu dulunya hampir utuh, tinggal selangkah lagi untuk menyelesaikan cerita dengan akhir yang diinginkan. Sayangnya, sepotong puzzle yang terakhir sudah terlebih dahulu pergi. Menyisakan potongan lainnya yang sudah tidak lagi berarti. Karena sekeras apapun usaha Shena untuk menyatukan, cerita itu tidak akan berakhir tanpa satu potongan yang hilang.
***