Nampaknya kesibukan masing-masing membuat waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa, jika ini adalah hari terakhir Shena berada di kota perantauan. Karena esok hari ia akan pulang. Menghabiskan tiga minggu untuk libur semester dan dua bulan setelahnya untuk magang. Baru setelah itu ia akan kembali ke kota perantauan untuk menyelesaikan tahap akhir dari perkuliahan yang ia jalani. Mengerjakan Tugas Akhir dan jajarannya.
Shena melaksanakan magangnya di kantor Bappeda kabupaten tempatnya tinggal. Selain lebih menghemat biaya, karena Shena bisa laju dari rumah. Shena juga sedang mengalami homesick akut. Akhir-akhir ini selalu ingat rumah dan ingin buru-buru pulang ke rumah.
Tidak bisa menyangkal. Sejauh apapun Shena pergi. Setegar apapun ia berdiri. Shena tetap si bungsu yang dekat dengan Ibu. Tidak bisa terus berada dalam jarak yang terbentang. Membuatnya tidak bisa menahan rasa rindu untuk waktu yang lebih lama.
Mungkin juga karena beban yang kian berat, tuntutan di sana sini yang datang bersamaan. Membuatnya membutuhkan energi positif baru yang berasal dari dukungan Ibu. Tempat ternyaman untuk pulang. Tempat ternyaman untuk mengadu dan berbagi cerita.
Dua bulan lalu, sepulangnya dari kegiatan visiting company di ibukota, Shena langsung pulang untuk mengantar surat dan proposal ke Bappeda. Seminggu setelahnya, Shena langsung mendapat panggilan dari Bappeda yang mengatakan jika Shena diterima. Sempat melakukan diskusi singkat mengenai kapan waktu magang akan dimulai, topik lebih rinci yang Shena inginkan dari kegiatan magang, dan sebagainya.
Satu hal yang membuatnya tersadar, jika hari-hari berat yang ia jalani di semester lima akan segera berakhir. Berganti dengan kehidupan yang nampaknya akan lebih berat lagi. Sebagai garis akhir dari dunia perkuliahannya. Mengantarkan pada kehidupan baru yang lebih banyak lagi tantangannya.
"Shen."
Shena menoleh ke arah sumber suara. Tersenyum saat mendapati Reygan yang baru masuk dari parkiran di lantai dua. Shena baru saja menemui pihak akademik untuk mengambil buku bimbingan magang dan TA juga buku kegiatan selama magang. Dan surat pengantar akhir yang akan diberikan pada pihak Bappeda di hari pertama magang.
"Hey, baru berangkat?" tanya Shena retorik. Berjalan beriringan keluar dari ruang akademik.
"Kamu ngurusin buat magang juga, Rey?"
Reygan menggeleng. Menarik Shena untuk menduduki kursi berjajar di selasar lantai dua. "Mau ketemu dosen. Minta tugas tambahan," ucapnya santai. Mengeluarkan ponselnya dan mengecek pesan yang masuk. Mungkin memastikan waktu janjian dengan dosen.
Shena mengerutkan keningnya bingung. Jelas bingung. Ini sudah tiga hari setelah ujian akhir semester selesai. Kenapa juga Reygan masih sibuk meminta tugas tambahan pada dosen? Padahal yang Shena tahu, Reygan ini termasuk mahasiswa yang terkenal karena aktif di kelas.
"Gue nggak masuk UAS hari terkahir, kesiangan." Jawaban selanjutnya yang semakin membuat Shena keheranan.
Selama mengenal Reygan, Shena baru mendapati Reygan yang seperti ini. Reygan bukan mahasiswa yang malas. Reygan cerdas dan salah satu orang penting dalam organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas. Bukan hanya aktif di kelas tapi di fakultas juga.
Baru kali ini Shena melihat secara langsung, Reygan yang seolah malas dengan perkuliahan. Sampai kesiangan dan tidak mengikuti UAS di hari terkahir. Padahal bobot untuk masing-masing UTS dan UAS bisa mencapai tiga puluh persen. Kalau Reygan tidak mengikuti UAS itu artinya sudah kehilangan tiga puluh persen nilai. Padahal tidak bisa menjamin nilai tugas, UTS, kuis, dan lain-lain sempurna.
Kecuali jika Reygan mendapat keberuntungan untuk menyelamatkan nilainya. Atau dosen yang mengampu terlampau baik hati sampai mau memberikan kesempatan kedua juga tugas tambahan. Yang sayangnya, dosen semacam itu sangat sulit ditemui. Bukannya memberi solusi, dosen lebih suka memarahi karena apa yang Reygan lakukan adalah kesalahannya sendiri.
"Kenapa sampai kesiangan?" tanya Shena penasaran.
Shena memang menyadari ada yang aneh dari Reygan akhir-akhir ini. Lelaki itu nampak sering kelelahan. Tapi sebelumnya Shena menganggap kalau mungkin Reygan lelah karena tugas.
Reygan mengangkat pandangannya dari layar ponsel. Menyadari Shena yang nampak menaruh rasa penasaran dari pertanyaannya.
"Gue nge-game semaleman." Jawaban yang diiringi suara tawa. Shena semakin tidak percaya dengan kenyataan yang ada. Reygan benar-benar terlihat santai. Tanpa beban. Seolah tidak mengikuti UAS adalah hal biasa. Bukan masalah besar yang akan mempengaruhi nilainya.
"Kamu nge-game?" ulang Shena untuk memastikan.
Reygan mengangguk.
"Sejak kapan suka game? Aku nggak pernah tahu." Shena memincang curiga. Tatapannya menelisik, mencoba mencari makna lain dari wajah Reygan.
"Sejak akhir-akhir ini aja, Shen," jawabnya diiringi senyuman tipis.
"Jadi mata kamu sampai item begitu gara-gara lembur nge-game?" tanya Shena penasaran. Jelas penasaran, karena yang ia lihat sekarang bukan seperti Reygan yang ia kenal sebelumnya.
"Ya. Banyak tugas dan gue butuh hiburan. Supaya nggak sepaneng banget." Jawaban kelewat santai khas Reygan. Tapi entah bagaimana, Shena seperti menangkap hal lain dari kalimat Reygan. Seperti ada yang ditutupi dengan sengaja, entah untuk alasan apa.
Shena menghela napas. "Kamu nggak bohong, 'kan?"
Reygan bergerak pelan. Mengacak rambut Shena gemas. Membalas tatapan penuh tanya itu. "Lo nggak percaya sama gue?"
"Bukan nggak percaya. Tapi ini aneh. Seorang Reygan Adyatama buang-buang waktu untuk hal yang nggak begitu penting. Aku tahu kamu, Rey. Dan ini kerasa asing banget."
Reygan tersenyum lembut. "Gue juga manusia, Shen. Ada kalanya bosan dan butuh hal lain untuk pelarian sesaat."
Shena akhirnya mengangguk setuju. Menyisihkan sejenak rasa curiganya. Mungkin apa yang Reygan katakan benar adanya. Hanya pelarian sesaat dari beban berat yang harus dipikul mahasiswa akhir.
"Lo jadi pulang besok?" tanya Reygan mengalihkan pembicaraan.
"Ya. Aku berangkat pagi dari kos."
"Gue antar sampai agen busnya."
"Nggak ngerepotin emang?"
Reygan menghela napas. "Shen, jangan mulai deh. Udah gue bilang berapa kali jangan merasa ngerepotin gue. Gue bukan orang lain."
Shena akhirnya menyetujui hal itu. Tidak ingin berdebat terlalu panjang. Juga Reygan yang nampaknya harus buru-buru menemui dosen.
"Gue ketemu dosen dulu. Lo pulang ke kos sendiri nggak apa-apa, 'kan?"
"Iya nggak masalah," jawab Shena santai. Ia sudah biasa pulang dan berangkat sendiri. Jadi memang bukan hal besar jika Reygan tidak bisa mengantar. Apalagi Reygan harus mengurusi hal lain yang lebih penting.
"Nanti malam gue jemput ke kos. Siap-siap jam delapan," ucap Reygan dengan terburu. Mengabaikan wajah penasaran Shena. Hanya sempat memberi usapan lembut di kepala Shena dan beranjak pergi. Pertanyaan terakhir Shena pun tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Reygan hanya berkata, "udah lo siap-siap aja."
Shena mengangkat bahu tak acuh. Memaklumi Reygan yang harus menemui dosen demi nilainya yang kosong lantaran kesalahan bodoh. Kesiangan dan tidak mengikuti UAS karena semalaman menghabiskan waktu untuk game. Benar-benar Reygan!
Shena sudah berprasangka jika kehadiran Reygan hanya akan mendapat nasihat panjang lebar dengan nada marah. Tapi hal itu jauh lebih baik, karena Reygan mau mengakui kesalahannya dan berusaha meminta kesempatan kedua. Daripada hanya diam dan pasrah dengan apa yang sudah terjadi.
Setelahnya Shena beranjak pergi. Ingin segera pulang ke kos untuk istirahat. Lagi pula tidak ada hal lain yang harus ia urus. Dan pulang ke kos adalah pilihan terbaik untuk saat ini.
***