Malam semakin larut. Namun, Wanda belum juga dapat terlelap. Perutnya masih terasa sakit, minta diisi. Dan saat itulah tiba-tiba Davin datang dengan semangkuk bubur dan air hangat.
"Bangun dan makan ini!" suruhnya.
Wanda menatap sepupunya itu dengan mata memelas, seperti hampir menangis.
"Makan, Wanda!" ulangnya.
"Kamu belum pernah merasakan asam lambungmu naik, ya?" lirih Wanda. Gadis itu hanya ingin dimengerti.
Tanpa kata, Davin menarik kursi belajar Wanda mendekat, kemudian mendudukkan dirinya tepat di samping tempat tidur Wanda.
Wanda menyerit bingung. Ia tidak tahu apa yang akan laki-laki itu lakukan. Ia hanya ingin berusaha tidur, bukan yang lain.
"Kamu mau apa?" tanya Wanda.
Davin tak menjawab. Ia memilih langsung menyendok bubur itu dan menyodorkannya pada Wanda. Wanda menyerit bingung. Ia merasa tidak nyaman. Tidak. Sebenarnya ia merasa sangat nyaman. Malah bisa dibilang kelewat nyaman.
'Kan bahaya kalau aku sampai baper,' batin gadis berusia dua puluh tahun itu.
"Buruan buka mulut!" suruh Davin.
Wanda menggeleng. Ia menyembunyikan mulutnya di balik selimut. Ia benar-benar seperti anak kecil yang tengah dipaksa makan oleh ibunya.
"Mau sembuh, kan?" tanya Davin.
"Tapi nggak mau makan bubur. Enek. Nanti pengen muntah lagi, gimana?" tolak Wanda.
"Enggak. Kan tadi udah minum obat. Buruan!" paksa Davin.
Wanda tetap menggeleng.
"Nggak mau. Kalau nggak mau jangan maksa, kenapa sih?" kesal Wanda dengan suara lantang.
Davin berdecak kesal. Ia meletakkan sendok di tangannya ke mangkuk hingga menimbulkan suara cukup keras yang membuat Wanda bergedik ngeri.
"Kamu orang apa hantu sih? Serem amat. Nggak usah serem-serem jadi orang. Baru juga berapa jam di rumah, udah bikin keributan. Apa kata tetangga nanti kalau sampai denger?" kesal Wanda.
"Ngomel bisa, makan nggak bisa. Ck. Bikin ribet orang aja," keluh Davin.
Wanda menyipitkan matanya. Ia? Bikin ribet? Memangnya Wanda ngapain aja dari tadi? Perasaan cuma rebahan dan tidak ribut sama sekali?
"Kenapa cowok ganteng itu rata-rata mulutnya pedes?" gumam Wanda.
Wanda menggigit bibir bawahnya ketika sadar apa yang baru saja ia katakan. Telat! Davin sudah dulu menengok ke arahnya sembari menyerit bingung.
"Aku maksudnya?" tanya Davin basa-basi.
"Apa? Yang mulutnya pedes? Iyalah. Siapa lagi memangnya?" alibi Wanda.
Davin tersenyum miring kemudian meletakkan tangan kanannya di atas kening Wanda. Ibu jarinya bergerak menyentuh alis Wanda dengan lembut.
'Duh... deg deg ser gini rasanya,' monolog Wanda dalam hati.
Jantung? Tidak usah ditanya. Rasanya jantung gadis itu sudah ingin melompat dari tempatnya.
"Mata kamu ternyata cukup baik untuk menilai sesuatu," puji Davin.
Wanda sama sekali tak bereaksi. Ia masih terlalu sibuk memandangi wajah rupawan Davin di hadapannya.
"Wand- loh, Davin juga di sini?" Suara itu berasal dari pintu kamar Wanda yang tiba-tiba sudah terbuka.
Tampak Mia- ibu Davin di sana. Ia menyerit menatap putra semata wayangnya dengan keponakannya itu.
"Mama sudah pulang?" tanya Davin basa-basi setelah menarik tangannya dari kening Wanda.
Mia mengangguk. Ia berjalan mendekat ke arah keponakannya. Dan ia baru sadar, jika keponakan gadisnya itu tampak pucat.
"Wanda, kamu sakit, Nak? Kenapa? Tante panggilin Dokter Anthony, mau?" berondong Mia sembari memeriksa kening Wanda.
"Wanda udah minum obat kok, Tan. Tadi dibantu sama Davin. Kayaknya cuma asam lambung Wanda aja naik lagi. Bukan masalah besar," terang Wanda dengan suara seraknya.
Mia menatap Wanda dengan tatapan sendu. Wanita paruh baya itu tampak sangat khawatir dengan kondisi ponakan kesayangannya itu.
"Sudah makan?" tanya Mia. Wanda menggeleng.
Mia menoleh ke arah anak semata wayangnya.
"Ambil red velvet cake di ruang makan! Mama barusan bawain kalian cake. Dan tentunya, red velvet cake kesukaan Wanda," suruh Mia.
Davin menyerit, kemudian menggeleng, "dia susah makan, Ma. Nanti mual katanya. Bubur yang aku buat saja dia-"
"Aku mau kok kalau red velvet. Aku bisa makan," potong Wanda sembari menatap Davin dan menaik-turunkan alisnya.
Davin melipat tangannya di depan d**a. Merasa sudah dipermainkan oleh gadis itu.
"Udah sana ambilkan! Perut Wanda butuh diisi makanan atau kondisinya akan semakin parah. Kamu mau Wanda sampai masuk rumah sakit?" kesal Mia melihat putranya tak kunjung melakukan apa yang ia perintah.
Davin menghela napas panjang. Ia tak punya pilihan lain selain harus menuruti keinginan ibunya.
Selang beberapa menit, Davin menyodorkan sepotong red velvet cake pada Wanda. Wanda pun segera duduk dibantu oleh Mia.
"Cuma satu? Perasaan Mama nggak cuma beli satu deh. Ada tiga kan red velvetnya?" selidik Mia.
"Besok lagi. Setelah makan cake itu, pokoknya Wanda harus makan bubur buatan aku. Nggak bisa enggak," balas Davin dengan wajah suram.
"Tapi aku-"
"Nggak ada penolakan. Aku sudah susah-susah bikinnya, sampai harus lihat tutorial dan tanganku terkena panci panas. Jadi kamu harus makan itu," potong Davin.
Mia menatap keponakannya penuh iba. Ia tahu, ketika asam lambung naik, rasanya lidah pun terasa pahit.
"Vin, jangan dipaksa, ya! Yang penting kan perut Wanda terisi dulu. Kamu tolong ambilin lagi red velvet cakenya!" suruh Mia.
Sementara itu, Wanda masih terdiam. Benarkah Davin berjuang sebanyak itu demi bisa membuatkan bubur untuknya? Ia menoleh ke arah laki-laki yang ternyata juga tengah menatapnya itu. Tatapan mereka sempat bertemu, sebelum akhirnya Davin beranjak pergi, keluar dari kamar Wanda. Wanda measa tidak enak pada sepupunya itu.
Terlalu lama melamun, Wanda sampai kaget saat Mia mengajaknya bicara.
"Sini, Tante bukain ya, kardusnya," ujar Mia lembut sembari meraih kotak di tangan Wanda.
Wanda menarik kotak itu lebih jauh dari tantenya. Mia pun bingung dibuatnya.
"Kayaknya lebih baik Wanda makan bubur deh, Tan. Kuenya buat besok tidak apa-apa, kan? Nanti kalau sudah mendingan, biar aku taruh kulkas," tolak Wanda sembari tersenyum manis.
"Kalau nggak mau, jangan dipaksa! Tante tahu kok gimana rasanya kalau asam lambung naik. Mulut kamu pasti rasanya pahit dan nggak nyaman banget sekarang," ucap Mia sembari membelai pipi keponakannya.
"Nggak apa-apa. Lagi pula, bubur kan lebih mudah dicerna. Masih hangat juga, lumayan buat ngurangin rasa sakit di perut Wanda, Tan," terang Wanda.
Akhirnya, Mia mengangguk setuju. Mia membantu Wanda mengambil bubur itu. Dan perlahan, Wanda mulai memakannya.
'Bubur ini kok santannya kayak nggak begitu kerasa ya? Dia pasti sengaja cari tahu dulu apa saja yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi saat asam lambung kita naik,' monolog Wanda dalam hati.
"Mmmbb-" Lagi-lagi, Wanda hampir saja muntah. Benar yang dikatakan Mia. Seluruh mulutnya terasa pahit. Apalagi ketika dipaksa makanan hambar seperti itu.
"Jangan dipaksain, Wanda!" ujar Mia.
Wanda menggeleng sembari tersenyum. Memberi tahu tantenya bahwa ia baik-baik saja. Ia tetap melanjutkan memakan buburnya itu meski rasa pahit terus menyiksa mulutnya.
"Kamu-" ucapan Davin terhenti. Laki-laki itu seakan kehilangan kata-katanya melihat bagaimana kerasnya Wanda memaksakan diri untuk memakan buburnya.
Laki-laki itu berjalan cepat meletakkan kue yang ia bawa ke atas meja, lalu merebut mangkuk bubur di tangan Wanda.
"Davin!" tegur Mia.
"Nggak usah dipaksa. Kamu makan kuenya aja! Aku yakin rasanya pasti-"
"Enak kok. Lagian sama aja aku makan red velvet atau bubur. Di mulutku rasanya akan sama saja saat seperti ini. Dan bubur itu masih hangat, perutku jadi mendingan setelah memakannya," dusta Wanda.
"Nggak usah bohong! Nggak apa-apa kamu makan kue itu aja. Biar aku bawa ke dapur lagi buburnya," ucap Davin.
Wanda menahan ujung kaus Davin ketika laki-laki itu hendak beranjak.
"Aku mau habisin dulu bubur itu. Makan cake doang, mana mungkin aku bisa kenyang?" ujar Wanda.
Davin menoleh ke arah ibunya, seolah meminta pendapat. Dan wanita itu menganggukkan kepalanya. Pertanda jika ia ingin Davin menuruti keinginan Wanda.
Davin pun mengembalikan mangkuk bubur buatannya itu ke pangkuan Wanda. Dan Wanda tampak langsung kembali melahapnya, meski ekspresinya tidak bisa berbohong, kalau ia benar-benar tidak menyukai makanan itu.
"Vin, tolong ambilin air putih hangat, ya buat Wanda!" suruh Mia.
"Eh, nggak usah. Wanda udah mendingan kok, Tan. Nanti Wanda biar am-"
"Oke, Ma," potong Davin kemudian segera kembali ke dapur tanpa mengindahkan ucapan Wanda.
Wanda melongo melihatnya. Kenapa jika bersama Mia, Davin menjadi sangat penurut dan manis? Sementara saat bersama Wanda seperti kucing dengan tikus.
'Tunggu! Siapa tikusnya?' batin Wanda.
Wanda berpikir, siapa yang lebih pantas menjadi tikusnya. Dan sial! Ia baru ingat kalau dari proporsi tubuh saja sudah kelihatan kalau posisi tikus itu lebih cocok untuknya dibanding Davin.
Wanda mendengus kesal jika memikirkannya.
'Ralat. Berarti kalau sama aku, kita kayak anjing sama kucing. Dia anjingnya, aku kucingnya,' pikirnya.
Wanda tersenyum memikirkannya. Membuat Mia menyerit bingung melihat perubahan ekspresi keponakannya yang terlalu ekstrim itu.
"Kamu mikirin apa, sih? Tadi kelihatan kesal, sekarang senyum-senyum sendiri," selidik Mia.
Wanda menoleh ke arah tantenya, lalu tersenyum tanpa berniat menjawabnya.
Tak berselang lama, datanglah Davin dengan wajah datar dan segelas air hangat di tangannya.
"Makasih ya, Vin," ujar Wanda sembari tersenyum manis. Tampaknya gadis itu sudah benar-benar merasa lebih baik berkat bubur buatan Davin.
Davin masih mempertahankan wajah datarnya, kemudian meletakkan gelas berisi air hangat itu di atas meja.
"Ya udah sana kamu istirahat ya! Kamu pasti juga capek banget kan? Urusan Wanda biar nanti Mama yang urus," ucap Mia.
"Nggak apa-apa, Ma?" tanya Davin memastikan.
"Ya nggak apa-apa dong. Cuma nemenin makan dan bawa mangkuk ke dapur doang," balas Mia enteng.
Wanda kembali melebarkan senyumnya. Ia beruntung memiliki kerabat sebaik Mia. Bahkan ibunya saja tidak pernah memperlakukan Wanda semanis ini. Mia memang yang terbaik.
"Kalau begitu Davin ke kamar ya, Ma," pamit Davin yang segera diangguki Mia.
Davin menoleh ke arah Wanda. Ia mendekat, lalu menepuk pelan kening Wanda. Membuat mata Wanda sempat terpejam, dan sesusah payah gadis itu berusaha mengontrol detak jantungnya.
"Jangan lama-lama sakitnya!" ujar Davin.
Wanda membuka matanya, kemudian secara refleks ia tersenyum pada Davin. Senyum yang benar-benar tulus, dari hatinya.
Setelah itu, Davin pergi dari kamar Wanda. Laki-laki itu sempat berhenti ketika hendak menutup pintu kamar Wanda. Hanya sebentar, sebelum akhirnya ia benar-benar menutup pintu itu dan pergi ke kamarnya.
"Wanda!" Wanda terpenjat ketika Mia memanggil namanya secara tiba-tiba.
"Buburnya masih mau kamu makan? Kalau memang udah nggak kuat, nggak apa-apa. Yang penting kan perut kamu sudah terisi, nggak kosong lagi. Tante yakin Davin juga bisa ngerti dan nggak akan marah kok semisal kamu nggak habiskan bubur itu," ujar Mia sembari mengusap peluh Wanda.
"Tinggal sedikit, Tante. Sayang kalau tidak dihabiskan," balas Wanda.
"Oke, Tante tunggu ya," ucap Mia. Wanda mengangguk sembari tersenyum.
Setelah memakan bubur buatan Davin, Wanda kembali rebahan dibantu oleh Mia. Mia menyuruh Wanda langsung tidur. Karena ia rasa Wanda butuh lebih banyak istirahat. Lebih baik gadis itu tidur daripada terlalu lama menahan sakit di perutnya.
"Kamu tidur, ya! Kalau sampai besok pagi masih sakit perutnya, kamu izin aja kuliahnya. Kita ke rumah sakit," ucap Mia.
Wanda mengangguk pasrah. Ia memang memiliki riwayat asam lambung yang cukup parah. Bahkan tak jarang ia harus bolak-balik ke rumah sakit ketika asam lambungnya naik. Jadi, hal seperti ini bukan lagi hal baru untuknya.
Setelah itu, Mia keluar dengan membawa bekas makanan dan minuman Wanda. Tak lupa Wanda mengucapkan terima kasih pada tantenya itu.
Sebelum keluar, Mia mematikan lampu kamar Wanda, agar Wanda bisa lebih cepat tertidur. Tapi rasanya percuma. Karena malam itu, nyatanya Wanda merasa sangat sulit untuk jatuh ke alam mimpi. Dan itu semua karena Davin.
'Aku pikir, perasaan terkutuk itu sudah hilang. Tapi kenapa rasanya jantungku masih berdetak tidak wajar saat bersamanya?' batin Wanda.
'Dan kenapa dia harus berubah sedrastis ini? Kenapa dia jadi terlihat sangat tampan dan badannya sebagus itu? Rasanya susah banget kalau aku mau nggak nemplokin dia?'
'Lagian lengan sebesar itu, sayang kan kalau dianggurin? Bahu selebar itu, sayang kan kalau nggak dibuat bersandar? Mana aku emang lagi butuh banget sandaran lagi,'
'Tapi, apa jangan-jangan dia sudah punya pacar? Kayaknya nggak mungkin enggak deh,'
"Jadi dia sudah punya pacar?" gumam Wanda dengan nada lesu, kecewa.
"Lagian ngapain sih, kalau emang udah punya pacar ya nggak usah kegenitan! Mau bikin aku baper? Ck, sialan! Dasar cowok berengsek! Mentang-mentang ganteng terus mau menebar jala, gitu? Cih... nggak akan mempan," kesal Wanda.
Gadis itu terdiam dan memikirkan kembali kata-katanya. Sepertinya ada yang salah. Ada yang tidak sejalan dengan perasaannya.
"Tapi kayaknya mempan deh. Aku beneran baper tuh. Duh, Wandaaaa! Ngapain sih kamu mikirin dia sebegininya? Udah ah, lebih baik kamu tidur! Istirahat! Kamu itu lagi sakit makanya ngelantur dan pikiran kamu jadi kacau begini!"
"Sialan!" Tak hanya sekali dua kali. Wanda masih terus mengumpat hingga hampir satu jam. Bayangan wajah Davin itu benar-benar sangat mengganggunya. Terus mondar-mandir di pikirannya dan membuatnya semakin kesal.
Ini serius. Wanda sudah kembali terjebak pada perasaan yang harusnya tidak pernah ada. Perasaan yang dulu setengah mati ia tampik, namun kini dengan mudahnya kembali hadir. Rasa cinta terhadap sepupunya sendiri.
***
Bersambung ...
Sinopsisnya udah di-acc, ya. Tinggal nunggu naik step dan signed aja. Cuma nanti lihat, yaaa.. mau Bridesmaid dulu atau Mistake yang daily update. Yuk masukkan dulu ke pustaka! :)