Mistake - 03

1165 Words
Keadaan Wanda pagi ini sudah lebih baik dibandingkan semalam. Setelah mandi dan bersiap ke kampus, gadis itu segera menuju dapur. Tepatnya ke kulkas untuk mengambil red velvet cakenya. Setelah itu, ia menuju meja makan. Di sana sudah ada Davin, membuat Wanda menghentikan langkahnya seketika, hingga Davin menatapnya. "Ngapain berdiri di situ? Nggak mau makan? Mau sakitnya kambuh?" tegur Davin. Wanda menghela napas panjang kemudian duduk tepat di hadapan pria itu. Ia membuka mika pembungkus cakenya, lalu mulai menyendoknya dengan sendok teh. "Kamu pagi-pagi sarapan pakai begitu?" tanya Davin. Wanda mengangguk. Ia sudah membawa 2 potong red velvet ke meja makan. Baginya itu sudah cukup mengenyangkan. "Loh susunya mana?" bingung Wanda. Biasanya, Mia selalu membuatkannya s**u di pagi hari. "Nggak ada. Aku yang melarang Mama membuatkan kamu s**u. Minum air putih lebih baik buat kamu," ujar Davin. Bahu Wanda merosot. Padahal ia sangat suka s**u. "Kamu sudah dewasa, Wanda. Bersikaplah seperti orang dewasa pada umumnya," ucap Davin. "Ya ya ya. Terserah kamu saja," balas Wanda malas. Ia baru tahu jika Davin bisa semenjengkelkan ini. Tak berselang lama, Davin selesai makan. Pria itu mencuci alat-alat bekas makannya sendiri. Padahal setelah ini juga asisten rumah tangga Mia pasti datang dan akan membersihkan semuanya. "Jangan pergi dulu! Tunggu sebentar!" ujar Davin dengan tangan yang masih sedikit basah. Pria itu berjalan cepat ke arah kamarnya. Tak mau ambil pusing, Wanda kembali fokus pada kegiatannya. Setelah membereskan makanannya, Wanda kembali ke ruang makan untuk mengambil tasnya. Namun, saat ia hendak pergi, sebuah tangan menahan tasnya. Membuat gadis itu nyaris terjengkang. Wanda kesal bukan main saat mengetahui siapa pelakunya. "Ish. Bisa nggak sih biasa aja? Hampir jatuh, tahu nggak? Kan manggil bisa," omel Wanda. "Udah dibilangin suruh nunggu," balas Davin. "Ya kan tinggal nyusulin aja. Kenapa harus narik-narik tas? Kalau aku jatuh beneran gimana? Bahaya tahu?" kesal Wanda. "Lagian kan aku di belakang kamu. Jatuh ya tinggal aku tangkap lah. Sudah ayo!" Davin menarik tangan Wanda. Membuat gadis itu harus mengejapkan matanya setelah beberapa saat kejadian itu terjadi. Ada sesuatu yang tak beres pada hatinya. Membuat gadis itu menggigit bibir bawahnya agar tetap dalam keadaan sadar dengan siapa pria yang ada di depannya kini. "Tunggu! Kamu mau nganterin aku ke kampus?" tanya Wanda saat mereka sampai di samping mobil Davin. Pria itu juga sudah melepaskan cekalannya pada lengan Wanda. "Menurut kamu?" "Ya menurut aku sih kayaknya iya. Tapi kapan aku bilang setuju berangkat sama kamu?" Davin menatap gadis itu dengan tatapan malas. Harusnya ia tolak saja tadi perintah ibunya. Toh ia juga sudah tahu kan, seperti apa keras kepalanya Wanda? "Kok diem? Aku kan tanya ke kamu, Dav- eh- loh kok-" Wanda terkejut saat Davin menekan bahunya agar segera masuk ke mobil. Namun, Davin terlihat biasa saja. Ia menutup pintu mobilnya dengan santai lalu berjalan menuju bangku kemudi. "Sabuk pengaman!" ujar Davin. Wanda enggan mengindahkannya. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan d**a sambil menatap garang ke arah Davin. 'Dia pikir dia seperti harimau? Padahal sama anak kucing aja sereman anak kucing,' batin Davin sambil menatap sepupunya itu. "Wan, sabuk pengaman! Aku nggak mau berurusan sama polisi pagi-pagi," ulang Davin. Namun Wanda masih pada posisinya. Tak mau bergerak sedikitpun. Ia menganggap itu sebagai bentuk protes pada Davin. Davin menghela napas panjang. Berusaha menjaga kewarasannya menghadapi gadis keras kepala seperti Wanda. Sedetik kemudian, lelaki itu bergerak ke arah Wanda. Membuat Wanda refleks memundurkan tubuhnya sembari memahan debaran jantungnya yang sudah gila-gilaan seperti baru saja marathon dua puluh kilometer. "Ma- ma- mau apa?" tanya Wanda gugup, karena posisinya dan Davin yang semakin dekat. "Mau makan," jawab Davin ngasal. Glekkk Wanda menelan salivanya kasar. Pada n****+-n****+ romance yang sering ia baca, saat posisinya seperti ini dan laki-laki mengatakan ia ingin makan, itu memiliki arti tersendiri yang bernuansa dewasa. "Ka- kamu mau makan ak- aku?" tanya Wanda. Ia merasa, perlu memastikan semuanya. Posisi mereka hampir saja menempel. Dan Davin baru saja meraih benda yang sedari tadi ia cari. Namun, lelaki itu kini terdiam. Menatap Wanda dengan alis menyerit. Hal itu membuat Wanda merasa memiliki kesempatan untuk mendorong Davin. Namun memang dasar Davin nya saja yang terlalu kuat sehingga ia sama sekali tak bergerak meski Wanda merasa sudah mengeluarkan semua kekuatannya. "Dav, aku-" ucapan itu terhenti saat Davin mulai memundurkan tubuhnya. Wanda menghela napas lega, meski ada sesuatu yang membuatnya sedikit tak rela. Klek Wanda hampir saja terlonjak saat merasakan sesuatu di tubuhnya. "Kamu pikir aku mau makan kamu, hm? Memang daging kamu enak? Enek yang ada," ejek Davin mengingatkan Wanda pada dugaan gilanya tadi. Tapi Wanda wajib bersyukur karena Davin tidak mengerti makna ungkapan ucapannya barusan. Ternyata tinggal lama di negeri orang membuat Davin menjadi sedikit ketinggalan jaman di negerinya sendiri. "Dav, ketat banget sih sit beltnya?" protes Wanda. "Kendurin aja sendiri!" Wanda menatap kesal ke arah sepupunya. Namun kemudian ia segera melakukan apa yang Davin katakan. "Gimana sekarang? Udah punya cowok?" tanya Davin untuk mengusir kesunyian. "Lah kepo. Kalau belum kenapa? Kalau udah juga kenapa?" balas Wanda. Davin terkekeh. Berbicara dengan Wanda memang berbeda dengan saat ia bicara dengan orang normal. "Ya kali aja kan masih belum, nanti aku bisa daftar jadi kandidatnya, mungkin?" Glekkk Lagi, Wanda menelan salivanya kasar. Apa maksud Davin mengatakan itu? Dia serius? Atau hanya bercanda? Lalu bagaimana Wanda harus menanggapinya? "Maksudnya kamu mau jadi pacar aku, kalau aku masih jomlo?" tanya Wanda setelah setengah mati ia berusaha menahan rasa gugupnya. "Hahahahahah..." Saat itu juga, tawa Davin pecah. Oke, Wanda bisa menyimpulkan kalau tadi laki-laki itu hanya bercanda. "Standarku tinggi, Wan," ujar Davin tiba-tiba. Wanda menyerit, berusaha mencerna ucapan ambigu Davin barusan. "Jadi maksud kamu aku nggak nyampe di standar kamu yang tinggi itu?" tanya Wanda dengan nada kesal. Bisa tidak sih, sebentar saja Davin tidak membuatnya kesal? "Mau bilang iya, tapi nggak enak," ucap Davin. Wanda mendengus kesal. Ia mencubit perut Davin dan memuntirnya. Membuat pria itu terlonjak dan kehilangan konsentrasi menyetirnya. Hampir saja mereka menabrak trotoar. "Gila ya, kamu? Kalau tadi ada orang gimana? Mau kita nabrak orang?" omel Davin. "Ya siapa suruh kamu ngeselin? Memangnya aku jelek banget apa, sampai-sampai ngomongin standar kamu sama aku?" kesal Wanda. Ia tidak mau menjadi yang disalahkan di sini. Toh Davin duluan yang mulai. Bahkan meskipun bukan Davin yang mulai duluan, tetap saja kan dia perempuan? Dan jangan lupakan tiga pasal utama kehidupan. Pasal satu, laki-laki selalu salah. Dua, wanita tak pernah salah. Tiga, jika sampai wanita berbuat salah, maka kembali ke pasal satu dan dua. Davin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah sepupunya yang menjengkelkan itu. Tapi, saat tatapannya sudah kembali ke depan, tanpa sadar bibirnya membentuk senyum tipis. 'Lucu juga,' batin pria itu. "Dih kok tiba-tiba senyum? Serem amat," ejek Wanda. Davin memilih tak menanggapinya. Lebih baik jangan mencari masalah dengan Wanda saat mereka ada di jalan. Berbahaya. *** Bersambung ... Buat kenalan, agak pendek dulu, yaaa... Ada yang mau ditanyakan? Aku usahakan selama bulan November Mistake update setiap hari dan GRATIS. Jadi jangan lupa nantikan kelanjutannya dan jangan lupa masukkan ke pustaka! :) Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD