Mistake - 01

2034 Words
Wanda menggerutu kesal melihat sahabatnya yang mondar-mandir tidak jelas di hadapannya. Baru sekitar lima menit yang lalu, sahabatnya itu bercerita tentang seseorang yang ia suka, sudah dekat, sudah banyak berharap, nggak taunya doi udah punya pacar. Padahal simple saja. Wanda sudah menyuruhnya untuk mundur teratur dan mencari cowok lain. Toh populasi cowok di Indonesia masih bejibun jumlahnya, tidak sanggup Wanda hitung dengan jari tangannya. "Medusa, udah deh nggak usah lebay! Belum sebulan juga kamu kenal, pasti nggak akan susah buat lupain dia," ujar Wanda untuk yang kesekian kali. Melisa, nama asli sahabatnya itu hanya dapat memutar bola matanya malas. Wanda memang tidak susah diajak berbicara soal cinta. "Susah emang, kalau ngomong sama orang yang belum pernah pacaran," gumam Melisa. "Hey, ingat, Medusa! Aku bukannya tidak pernah pacaran, hanya saja terakhir kali aku pacaran adalah saat kelas satu SMA. Dan bahkan aku sudah lupa siapa nama mantan pacarku itu," Wanda menyeritkan alisnya, berusaha mengingat-ingat nama mantan terakhirnya. Ia hanya ingat jika ia pernah tiga kali pacaran, dan yang terakhir adalah saat ia kelas satu SMA, dan hubungannya kandas di saat masih berjalan kurang dari lima bulan. Suka? Wanda pernah merasakannya. Dengan oppa-oppa Korea misalnya. Tapi kalau dengan teman sebaya yang benar-benar ia kenal, seingatnya ia belum pernah. Apalagi cinta? Tidak perlu ditanya. Bagaimana dia bisa jatuh cinta saat ia bahkan tidak pernah merasa nyaman dengan lawan jenisnya. Yup. Banyak yang bilang, Wanda terlalu menutup diri terhadap lawan jenis. Tak heran jika ia masih terjerat dalam status jomlonya untuk waktu yang cukup lama. * Wanda membanting tubuhnya ke atas tempat tidur setelah membaca pesan tantenya, Mia. Sejak masuk kuliah, Wanda tinggal di rumah tantenya karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari kampus. Terlebih, tantenya ini sudah janda, dan putra tunggalnya juga sedang merantau ke luar kota. Jadi kedua orang tuanya langsung setuju saat Mia menawarkan pada Wanda untuk tinggal dengannya. Saat pulang sekolah tadi, Wanda tidak menemukan tantenya itu di sekeliling rumah. Padahal biasanya sore-sore begini Mia pasti sudah ada di rumah. Entah itu bersantai di teras belakang, atau memasak makan malam di dapur. Dan baru sekian menit yang lalu Wanda mendapat kabar jika tantenya itu tengah ke bandara untuk menjemput putra semata wayangnya yang akhirnya kembali dari perantauan. Padahal Mia sudah bilang sejak kemarin, tapi ternyata memang dasarnya Wanda yang pelupa. "Tahu gitu tadi jajan dulu sebelum pulang. Mana yang di kulkas tinggal sayur, nggak ada telur, bau-bau kena busung lapar nih aku," keluh Wanda yang sejak siang tadi belum makan. Wanda menelan ludahnya kasar. Meratapi kebodohannya dalam masalah dapur. Pantas saja ibunya sering memarahinya karena kelemahannya dalam bidang masak-memasak. Ternyata ketrampilan memasak memang sangat diperlukan. Akhirnya, Wanda memilih memejamkan matanya karena ia sudah terlanjur malas untuk sekadar pesan makanan melalui ojek online. * Wanda menguap lebar dan merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Tapi, seketika ia meringis saat merasakan nyeri di bagian perutnya. Mungkin saja asam lambungnya naik lagi. Gadis itu memang memiliki lambung yang cukup manja, yang langsung bereaksi ketika telat diisi. "Tante Mia sudah pulang kali ya? Aku cek deh," akhirnya, Wanda bangkit dan turun ke lantai bawah. Ternyata hari sudah petang. Beberapa lampu pun sudah dinyalakan. Jadi besar kemungkinan tantenya memang sudah pulang. "Aaaaaa!!!!" Wanda menjerit kencang tat kala melihat penampakan vulgar di depan matanya. Seorang pria yang shirtless dan hanya menggunakan boxer hitam baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya tak jauh dari ruang makan. Wanda langsung menutup matanya dan membalikkan badannya agar indera penglihatannya itu tidak terkontaminasi dengan hal-hal berbau porno. "Wanda, kan?" Wanda dapat merasakan suara langkah mendekat seiring dengan terlontarnya pertanyaan itu. "Iya, kamu siapa? Kok keliaran nggak pakai baju kayak tuyul gitu?" kesal Wanda. Beberapa waktu berikutnya, Wanda dapat merasakan sebuah tangan menepuk bahunya. Dengan segera, ia menepisnya kasar lalu berjalan menjauh. "Heleh, pas kecil juga sering mandi bareng. Baru lihat segini aja udah keder gitu. Lupa dulu pernah telanjang di depanku?" Wanda menyingkirkan tangannya yang awalnya ia gunakan untuk menutupi matanya. Matanya membulat sempurna. Dan detik berikutnya, ia membalikkan badannya kembali menghadap ke arah pria itu. "Kamu... Davin?" tanyanya ragu. Pria itu mengangguk. Ekspresinya datar. Menampakan garis rahang tegas yang menambah kesan maskulin pria itu. 'Kok beda? Loh, dulu perasaan nggak seganteng ini deh,' gejolak batin Wanda. "'Kak'! Ingat, aku empat tahun lebih tua dari kamu. Dan mamaku adalah kakak dari ibu," ralat Devin yang selalu menuntuk Wanda agar memanggilnya 'kakak' sejak mereka kecil. Wanda teringat akan sesuatu, lalu gadis itu kembali menutup rapat-rapat matanya. "Beda situasi kali, dulu aku masih bocah, masih polos, belum punya malu. Sekarang kan sudah dewasa. Sudah puber," ucap Wanda. "Kenapa emang kalau udah dewasa? Udah punya malu, gitu?" goda Davin. Ternyata sifat pria itu tak banyak berubah. Masih menjengkelkan dan suka mengerjai Wanda. Wanda pun berdecak kesal karenanya. "Udah sana, pakai baju! Nggak malu apa, ngelihatin perut buncit kayak gitu di depan cewek?" kesal Wanda. "Wah, lihat yang bener dong makanya! Buncit dari mana? Nggak lihat nih kotaknya ada enam?" Davin. Merasa capek berdebat dan tidak segera menemukan jalan tengah, Wanda menyerah. Ia bergegas ke kamar untuk menghindari sepupu gilanya itu. Ia terus berpikir, bagaimana bisa orang tua dan keluarga besarnya menganggap Davin pemuda yang sopan, ramah, dan kalem jika kelakuannya seperti itu? Apa memang keluarganya memiliki standar penilaian yang berbeda dari orang pada umumnya? Yang jelas, Davin yang Wanda tahu tidak seperti itu. Dia memang lebih sering anteng saat di depan keluarga besarnya. Tapi jika sedang dengan Wanda... tak usah ditanya. 'Krrrrukkkkk' "Woylah! Ribut aja lo markonah!" teriak Wanda emosi. Padahal suara itu berasal dari perutnya sendiri. Wanda berdecak. Kenapa rasa laparnya seolah tak mau mengerti keadaan? Ia mengambil ponselnya, mengecek saldo e-walletnya yang ternyata hanya semakin menambah rasa kesalnya. "Kapan aku kaya? Mau delivery makanan aja nggak mampu," lirihnya. 'Krrruuukkk' "Sialan!" teriaknya lagi ketika perutnya kembali mengeluarkan suara. "Gimana mau kaya kalau yang dipiara cacing yang kerjaannya demo mulu? Miara tuyul kek kalau mau kaya!" geram Wanda. Gadis itu berguling-guling tidak jelas di atas tempat tidur berukuran 160*200 cm itu. Rasanya perutnya sangat tidak nyaman. Semoga bukan karena asam lambungnya yang naik. "Wanda! Wan!" Wanda berdecak. 'Tok tok tok' "Apaan sih?" kesal Wanda. Ia berjalan dengan langkah gontai ke arah pintu, lalu membukanya. Tampak lah wajah rupawan Davin di sana. Kini laki-laki itu sudah mengenakan kaus dan celana santai yang menambah kesan good looking-nya. Wanda menelan salivanya dengan susah payah. Bisa-bisanya laki-laki itu menjadi setampan ini dalam beberapa tahun. "Mama udah chat kamu?" tanya Davin. "Chat yang mana? Soal jemput kamu di bandara? Udah. Sekarang Tante Mia mana?" Wanda. "Bukan. Mama ada acara reuni. Bukan reuni sih, cuma tadi ketemu temen-temen SMA, terus habis nganter aku pulang, langsung pergi lagi buat ngobrol sama mereka," terang Davin. Wanda melongo. Kenapa keadaannya bisa sangat pas begini? Sangat pas untuk membuat Wanda semakin tersiksa. "Lalu aku makan apa, dong?" tanya Wanda dengan nada memelas. 'Kkrrrukkk' Tuh kan. Nggak tahu kalau di depan cowok ganteng itu harus jaim apa?! Dasar cacing-cacing rusuh! "Mama udah pesenin makanan. Barusan banget datang. Makanya aku ke sini buat-" "Bilang kek dari tadi!" potong Wanda, kemudian segera melewati tubuh sepupunya itu. Wanda segera membuka kantong yang ia perkirakan berisi makanan ketika sampainya ia di ruang makan. Ia langsung duduk dengan sesantai mungkin dan menikmati hidangan di depannya. "Mmmbbb.." Tiba-tiba, rasa mual hinggap dan membuat Wanda menghentikan aktivitasnya. "Ada apa?" tanya Davin yang baru saja sampai di ruang makan. Laki-laki itu segera menghampiri Wanda dan menatapnya penuh kekhawatiran. "Mmbb.. ssshh.. perut aku.." Wanda mendorong tubuh Davin dan segera berlari ke wastafle terdekat. Di sana, ia menumpahkan semua isi perutnya yang sebagian besar hanya berupa cairan. "Kenapa sih? Kamu sakit?" selidik Davin. Wanda tercekat saat merasakan sebuah tangan mengusap punggungnya. Ia tahu siapa pelakunya. Ia segera membersihkan mulutnya lalu menoleh ke arah orang itu. "Maaf ya. Kamu bisa makan di ruang tamu biar- mmbb" Wanda kembali memuntahkan isi perutnya. Dan lagi, seolah tak mendengar ucapan Wanda, Davin kembali mengusap punggung gadis itu dengan sabar. Badan lemah Wanda seketika merinding. Apa laki-laki itu tidak merasa jijik melihat Wanda yang sedang seperti ini? Lagi pula, kenapa keadaannya bisa semengerikan ini sih? Bisa-bisanya ia mual dan muntah di depan sepupu yang sudah lama tidak ia jumpai? "Dav, udah aku-" "'Kak'! Aku empat tahun lebih tua dari kamu, Wanda," potong Davin tegas. "Oke. Kak Davin, please kamu cepat-cepat makan makananmu dulu aja sana di ruang tamu. Aku, sshhh..." ucapan Wanda terhenti ketika ia kembali merasakan sakit pada perutnya. "Astaga, Wanda!" geram Davin segera mengangkat tubuh lemah Wanda dan membawanya ke dalam gendongannya. Tubuh Wanda rasanya terlalu lemah untuk memberontak. Akhirnya ia hanya bisa pasrah ketika Davin membawanya kembali ke kamar. Davin membaringkan tubuh Wanda dan menyelimutinya. "Kamu mau ke mana?" tanya Wanda dengan suara lemah, ketika Davin hendak beranjak. "Memanggil dokter," jawab Davin singkat. Wanda meraih tangan Davin ketika laki-laki itu akan pergi. Ketika tatapan mereka bertemu, Wanda menggelengkan kepalanya. "Please di sini dulu, ya!" pinta Wanda. Davin tampak ragu. Tapi akhirnya ia menuruti keinginan sepupunya itu. Terlebih dulu, Davin melepaskan tangan Wanda darinya. Lalu ia duduk di tepi tempat tidur gadis itu. "Kamu tidak demam," ujar Davin setelah memeriksa kening Wanda. Wanda masih terlalu lemah, hingga ia tidak benar-benar sadar dengan apa yang terjadi. "Mana handphone kamu? Aku pinjam untuk memanggil Dokter Anthony," pinta Davin. Lagi-lagi, Wanda menggeleng lemah. "Ini tidak terlalu serius, paling cuma asam lambungku saja yang naik karena sejak pagi aku memang belum sempat makan," terang Wanda lemah. Terdengar decakan dari Davin. Laki-laki itu menghela napas. Menyayangkan kondisi Wanda yang tengah terbaring lemah hingga ia tidak leluasa untuk memarahinya. "Oke, mana obat kamu?" tanya Davin menahan kesal. "Di tas kuliahku yang berwarna biru," jawab Wanda. Davin kembali beranjak. Namun lagi-lagi, Wanda menahan lengannya. "Please nanti aja ya! Kamu di sini dulu. Aku mau tidur, tapi perutku sakit. Aku nggak mau sendirian," lirih Wanda. "Kalau sakit, makanya minum obat!" kesal Davin sembari menghempaskan tangan Wanda yang menahannya. Ia berjalan cepat mengambil obat Wanda dan air mineral kemudian kembali ke kasur Wanda. "Cepat minum!" suruhnya. Wanda masih tak beranjak. Gadis itu masih sesekali meringis, dengan tangan yang terus meremas perutnya sendiri. "Minum, Wan!" ulang Davin. "Sakit, Vin," ringis Wanda. Tak sabar, akhirnya Davin menarik gadis itu agar terduduk kemudian memaksanya minum obat. "Aku akan ambil makanan untuk kamu. Jangan tidur dulu!" ujar Davin. "Please di sini aja! Sakitttt," pinta Wanda. Kali ini, Davin tidak menuruti ucapan gadis itu. Ia segera turun ke bawah untuk mengambil makanan Wanda tadi. Selang beberapa menit, Davin kembali. "Sekarang kamu makan!" suruhnya lagi. Wanda menggeleng. "Kamu mau sembuh, kan?" tanya Davin dengan otot wajah yang menonjol, menunjukkan jika kesabarannya benar-benar sudah semakin menipis. Terpaksa, Wanda meraih makanan itu kemudian mulai menyuapkan sesendok makanan ke mulutnya. Satu sendok.. Dua sendok.. "Mmmbbb" Lagi, Wanda tidak bisa menahan rasa mualnya. Cepat-cepat Davin menyodorkan kantong plastik agar Wanda bisa muntah di sana. Tapi, Wanda menggeleng. "Aku mau tidur aja. Aku benar-benar nggak bisa makan ini, Davin," cicit Wanda dengan nada memelas. Davin meraih makanan Wanda lalu meletakkannya di atas meja. "Mau makan apa?" tanya Davin dengan nada dingin. Wanda kembali menggeleng. Ia merebahkan tubuhnya dengan susah payah. "Makan, Wan! Atau aku harus panggilkan Dokter Anthony?" ancam Davin. "Ck. Aku benar-benar nggak bisa. Perutku sakit dan mual. Sakit banget, tahu?!" Mata Wanda bahkan sudah memerah menahan tangis. Rasanya Davin seperti laki-laki berengsek yang menyakiti hati seorang gadis sekarang. Laki-laki itu menghela napas kasar. "Oke. Kamu tidur sebentar. Aku akan siapkan bubur. Dan mau nggak mau, kamu harus memakannya!" putus Davin kemudian berjalan keluar dari kamar Wanda. Wanda memejamkan matanya erat-erat setelah kepergian Davin. Benar-benar erat hingga air matanya menetes. 'Please jangan seperti ini! Lupakan perasaanmu, Wanda! Jangan biarkan dia menguasai hati kamu lagi. Perasaanmu itu adalah sebuah kesalahan besar. Dan akhirnya kamu sendiri yang akan merasakan sakit,' monolog Wanda dalam hati. Yup. Dulu Wanda pernah jatuh hati pada sepupunya itu. Meski ia tahu jika itu salah, tapi Wanda tetap tidak bisa menghapus rasa tersebut. Ia tidak bisa mengendalikan hatinya, kepada siapa ia akan berlabuh. Dan hatinya memilih Davin. Orang yang seharusnya tidak pernah Wanda cintai, lebih dari sekadar saudara. Wanda berusaha keras agar bisa tidur. Setidaknya, jika ia tidur maka rasa sakit di perutnya bisa sedikit berkurang. Ia juga bisa berhenti memikirkan Davin walau hanya sementara. *** Bersambung ... Jadi, mau Wanda atau Clara dulu nih yang daily update September?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD