Mistake - 11

1804 Words
Tak ada percakapan antara Wanda dan Davin di sepanjang perjalanan pulang. Sampainya di rumah, Wanda keluar lebih dulu tanpa mau menunggu Davin. Davin menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia merasa bersalah karena tadi sudah menuduh Wanda begitu saja tanpa mau mendengar penjelasannya. Setelah mengunci mobilnya, Davin segera menyusul Wanda. Ia mempercepat langkahnya sambil sesekali memanggil Wanda. "Wan, berhenti dulu, Wan! Dengerin aku!" "Wanda!" "Wan, kamu dengar aku nggak, sih?" "Wanda!" "Wan-" "Nah itu dia mereka pulang." Terdengar seruan Mia yang menyambut kepulangan mereka. Wanda menghentikan langkahnya. Begitu pula dengan Davin. Kini keduanya menatap ke arah Mia yang sedang duduk di ruang tamu bersama- Tunggu! Siapa gadis cantik di samping Mia? Wanda belum pernah melihatnya. Tapi ia tampak begitu cantik dan bersahabat. "Isabell?" Apa? Wanda menoleh ke arah Davin. Jadi, Davin mengenal gadis itu? Dan namanya adalah Isabell? Gadis itu tersenyum, lalu bangkit berdiri menghampiri Davin dan Wanda. Tanpa Wanda duga, gadis itu memeluk Davin mesra. Tepat di depan mata Wanda, yang membuat gadis itu membulatkan matanya. BOOOOMMM!!! Wanda harap tidak ada yang mendengar suara ledakan dari jantungnya barusan. "I miss you," ungkap gadis itu. Dan sialnya, lagi-lagi ucapan itu terdengar di telinga Wanda. 'Apa lagi sekarang? Siapa dia?' batin Wanda. "Dav, Dav. Bisa-bisanya kamu lupa jemput Isabell di bandara. Kasihan tahu, dia jadi harus naik taksi online buat pulang, lalu langsung ke sini buat ketemu Mama," tegur Mia pada putranya. "Maaf," ungkap Davin singkat. 'Memang Isabell siapa?' batin Wanda bertanya-tanya. "Ah iya, Wanda, ya?" tanya Isabell setelah melepas pelukannya dari Davin. Wanda mengangguk kaku. Dari mana Isabell tahu namanya? Apa mungkin dari Tante Mia barusan? "Davin sering nyeritain kamu saat di London. Katanya dia kangen kamu. Aku pikir kamu masih kecil, karena Davin selalu menyebutmu sebagai adik kecilnya. Ternyata sudah besar, ya?" oceh Isabell. Wanda melirik ke arah Davin yang ternyata juga sedang menatapnya. "Iya sini dulu, Wan, Dav! Kita ngobrol-ngobrol dulu sama Isabell!" ajak Mia dengan penuh semangat. Bahkan sampai detik ini, Wanda masih belum tahu siapa sebenarnya Isabell. Tapi firasatnya berkata buruk. "Wanda boleh langsung ke kamar aja nggak, Tan? Capek banget, tadi jamnya padat," ucap Wanda. "Oh iya ya. Kamu juga baru pulang. Ya udah kamu mandi terus istirahat dulu aja, gih! Nanti kalau udah jam makan malam biar dipanggil Davin," ujar Mia. Wanda melirik malas ke arah Davin yang masih juga menatapnya. Setelah itu, Wanda berjalan meninggalkan ruang tamu. Sementara Davin tidak bisa berbuat apa-apa karena ada jemari Isabell yang menggenggam tangannya. Samar-samar, Wanda dapat mendengar suara Isabell yang mengajak Davin duduk di dekat Mia. Mungkinkah mereka adalah sepasang kekasih? Ah manis sekali. Yang satu tampan, dan satunya cantik. Sangat serasi. * Wanda menutup pintunya dengan sedikit kasar setelah menempel sesuatu di depan pintu kamarnya. Tak lupa, ia pun mengunci pintu kamar itu. Setelah itu, Wanda meletakkan tas kuliahnya secara asal sebelum beralih ke kamar mandi. Wanda berniat berendam air hangat untuk menenangkan pikirannya. Untung saja, minggu lalu Melisa mengajaknya membeli lilin aroma terapi yang bisa membantunya agar lebih rileks. Selesai mandi, Wanda mengeringkan rambutnya. Ia sama sekali tak bersuara sejak masuk ke kamar. Wajahnya juga tampak datar dan dingin. Meski begitu, otaknya terus bekerja keras untuk mencari cara agar bisa menjauh dari Davin. Dari kaca di hadapannya, Wanda melihat ganggang pintu kamarnya bergerak-gerak seperti hendak dibuka dari luar. Wanda tersenyum miring. Tanpa perlu bertanya pun ia tahu siapa pelakunya. "Wan, sengaja, ya?" tanya sebuah suara dari luar sana- Davin. Wanda semakin melebarkan senyumnya. Ia merasa jika rencananya sudah berhasil. "Wan, buka nggak? Sama Mama disuruh turun buat makan malam," ujar Davin. Dengan rambut yang masih setengah basah, Wanda berjalan menuju pintu kamarnya. Membuka kuncinya, dan sebelum ia sempat memegang gangganya, pintu itu sudah lebih dulu dibuka dari luar. "Wan, kamu-" "Bisa baca tulisannya, kan?" potong Wanda dengan tatapan dingin. "Enggak. Mama nyuruh kamu cepat turun buat makan malam," jawab Davin sambil mengulangi ucapannya yang tadi sempat dipotong oleh Wanda. Wanda mendelik ketika menyadari tulisan yang ia tempel di depan pintu kamarnya sudah menghilang. Ia ingat betul jika ia sudah menempelkannya di sana. Sebuah tulisan agar siapapun yang datang, harus mengetuk pintu terlebih dahulu dan menunggu hingga dibukakan. Wanda menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia membolak-balik pintu, mencari kemana perginya kertas yang tadi ia tempel. Tapi hasilnya nihil. "Wan, kenapa, sih? Diajakin ngomong juga," tegur Davin. Wanda tak menyahuti. Ia masih berusaha mencari kertas itu. Ia melewati Davin, mencari ke segala penjuru tempat hingga akhirnya langkahnya terhenti di dekat tempat sampah. "Wan..." Wanda mengambil sebuah kertas yang diremat asal di bagian paling atas tempat sampah. Ia membukanya dengan terburu-buru. Sudah ia duga! "Kamu kan yang buang kertas ini ke sini?" tuduh Wanda sambil menatap tajam ke arah Davin. "Iya. Habisnya ngerusak pemandangan," jawab Davin tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Wanda memejamkan matanya dengan tangan yang mengepal kuat. Ia sampai kehilangan akal menghadapi Davin yang seperti ini. "Dav, kamu ngerti nggak, sih-" "Kalian masih di sini? Tante Mia udah nunggu di bawah." Ucapan itu berhasil memotong ucapan Wanda. Wanda dan Davin menoleh ke arah samping. Tampak gadis yang tadi Wanda lihat di ruang tamu berdiri di antara ia dan Davin. Kalau tidak salah, namanya adalah Isabell. "Kamu belum pulang?" tanya Wanda to the point. Sebenarnya ia hanya mengucapkannya tanpa pikir panjang. Ia hanya mengatakan apa yang ada di ujung lidahnya. Tak ada maksud buruk sedikitpun. Tampak senyum di bibir Isabell mulai luntur. Ia tampak tidak nyaman mendengar pertanyaan Wanda barusan. "Hmm... ak- aku nggak maksud gimana-gimana kok. Maksudnya, ya kan ini udah malam. Sedangkan kamu sepertinya masih baru juga di Jakarta. Apa nggak bahaya pulang kemalaman?" tanya Wanda. Ia berusaha meluruskan agar tidak ada kesalah pahaman yang terjadi antara dirinya dan Isabell. "Kan ada Davin. Nanti aku pulangnya diantar Davin, jadi pasti aman. Iya kan, Dav?" sahut Isabell dengan penuh semangat. Wanda melirik ke arah Davin. Alisnya menyerit. Ia mulai penasaran, ada hubungan apa antara Davin dengan Isabell? "Ya udah yuk kita turun! Kasihan Tante Mia sudah nunggu dari tadi," ajak Isabell, membuyarkan lamunan Wanda. Seperti yang Wanda duga, Isabell orangnya sangat ramah. Bahkan ia menggandeng tangan Wanda tanpa ragu. Ketiganya bergandengan, dengan Isabell yang berada di tengah. Jujur, Wanda merasa kurang nyaman dalam keadaan seperti ini. Ia tahu Isabell orang yang baik. Tapi ia tidak suka bagaimana Isabell berada di antara ia dengan Davin. Kenapa? Apa mungkin ia cemburu? Wanda cemburu dengan Isabell? 'Nggak! Nggak mungkin, lah. Palingan juga karena kamu risih aja sama nih cewek yang tiba-tiba sok akrab,' batin Wanda, berusaha menampik apa yang sempat terlintas di pikirannya. Lagi pula, siapa Isabell? Bahkan Wanda baru bertemu gadis itu hari ini. Bagaimana mungkin Wanda tiba-tiba tidak menyukainya? Wanda baru sadar kalau mereka sudah sampai tujuan saat Isabell menekan bahunya untuk segera duduk. Tapi, tunggu dulu! Ini bukan kursi yang biasa ia tempati saat makan. Wanda duduk di samping kanan Mia. Sedangkan biasanya Wanda duduk di hadapan Mia, tepat di sebelah kiri Davin. Wanda menatap tempat yang biasanya ia duduki. Dan ia menyerit tak suka saat melihat Isabell sudah duduk tenang di sana. 'Bener-bener ini cewek!' kesal Wanda. Tapi ia hanya bisa diam dan pasrah. Ia pun mulai membalik piring di hadapannya, lalu mengambil secentong nasi tanpa memperdulikan Mia, Davin dan Isabell yang tampak berbincang hangat. Seumur-umur, baru kali ini Wanda melihat Davin bisa seakrab itu dengan perempuan sebayanya. Bahkan dengan saudara mereka yang lain pun, seingat Wanda, Davin tidak sedekat itu. "Wanda kok dari tadi diam?" tegur Isabell. Wanda menurunkan sendok yang nyaris saja masuk ke mulutnya saat mendengar seseorang mengajaknya bicara. Ia pikir, mereka sudah lupa kalau dia ada di sini. "Hmm... aku nggak tahu mau ngomong apa. Kalian lanjut aja ngobrolnya!" balas Wanda santai. Wanda sadar jika Davin tengah memperhatikannya. Tapi, apakah dia harus peduli? Tentu saja tidak! "Tadi pas kamu ke atas, mereka lagi apa, Bel? Ribut ya?" tebak Mia. "Kayaknya iya, Tante. Aku kurang paham, sih. Cuma kelihatannya Wanda lagi ngomelin Davin," jawab Isabell sembari sesekali terkekeh. "Dav, kamu ngisengin Wanda, ya?" tanya Isabell pada Davin. 'Dih! Emang kenapa kalau Davin ngisengin aku? Urusan dia?' batin Wanda tidak suka. "Hahahah... sudah Tante duga. Dari kecil mereka memang gitu, Bel. Suka berantem-berantem manja," sahut Mia. Wanda memaksakan senyumnya saat menyadari Mia menoleh ke arahnya. Lebih baik begitu daripada Mia curiga kalau Wanda sedang benar-benar marah pada Davin. "Iya, Davin sering cerita, Tante. Katanya Wanda itu ngeselin tapi ngangenin," ujar Isabell. "Uhukkk uhukkk uhukkk!" Seketika, Wanda terbatuk-batuk mendengar pernyataan Isabell. Benarkah Davin pernah berkata seperti itu pada Isabell? Ngeselin tapi ngangenin? Jadi, apakah maksudnya selama di London Davin sering merasa rindu pada Wanda? Wanda memukul-mukul dadanya, berusaha membebaskannya dari sesuatu yang menyangkut di sana. "Astaga, Wanda! Minum dulu, sayang!" Mia sigap menyodorkan minuman pada Wanda. Dan Wanda pun segera meminumnya. Tapi, batuk Wanda masih belum reda. Bahkan ia tadi nyaris tersedak akibat air yang ia minum. Wanda semakin keras memukuli dadanya. "Ck, nggak usah mukul-mukul gitu bisa nggak sih, Wan?" tanya Davin. Padahal sedari tadi laki-laki itu bungkam dan tak ikut mengajak Wanda bicara selama di meja makan. "Begò! Kamu pikir- uhukkk aku begini karen- uhukk karena mau?" umpat Wanda. Wanda mendengar decitan kursi yang memekakkan telinganya. Hingga sekian detik kemudian, Wanda merasakan tubuhnya seperti diseret saat kursinya bergerak cepat ke belakang. Lalu sebuah tangan menahan lengan kanannya, menahan Wanda agar tidak memukuli dadanya lagi. Tap Tatapan Wanda bertemu dengan manik cokelat Davin. Pria itu berada tepat di hadapan Wanda. Sesekali, Wanda masih terbatuk. Ia berusaha melepas pegangan tangan Davin di lengannya, namun masih juga gagal. "Uhukkk... lepas!" "Ssstt!!! Denger aku! Wan, denger aku!" ujar Davin tegas. "Tarik napas dalam-dalam!" "Sus- ah," "Makanya kamu tenang dulu! Tahan dulu, lalu tarik napas dalam-dalam!" paksa Davin. Wanda berusaha melakukan apa yang Davin arahkan padanya. Perlahan, ia mulai bisa tenang. Ia pun segera menarik napas dalam-dalam. "Embuskan pelan-pelan! Ingat, pelan dan tetap tenang!" ucap Davin. Lagi, Wanda berusaha melakukannya. Wanda mengulangi arahan Davin beberapa kali. Dan setelah hampir dua menit, Wanda dapat merasakan jika keadaannya mulai membaik. Ia sudah tidak terbatuk-batuk lagi. "Wah... pinter juga kami, Dav!" seru Mia. Wanda dan Davin masih saling bertatapan. "Lain kali jangan nyakitin diri kamu sendiri lagi hanya untuk menghilangkan rasa sakit yang lain!" pesan Davin dengan tatapan serius. Wanda tercekat. Entah mengapa, ia merasa jika apa yang Davin katakan barusan bukan hanya tentang kejadian barusan. Tapi ada hal lain yang sedang berusaha ia katakan. Apa mungkin itu ada hubungannya dengan perasaan terlarang Wanda untuk Davin? *** Bersambung ... Jadi Isabell siapa, pemirsah? Yok tebak-tebakan buat seru-seruan! :D Maafkan aku karena sering ngaret. Mood suka ilang-ilangan akhir-akhir ini. Kemarin sempat tumbang (a.k.a masuk angin) juga. Tapi aku usahain tetap update tiap hari kok. Makanya yuk ramein kolom komennya biar aku semangat dan merasa terdorong buat ngetik! :) Terima kasih sudah mampir. Semoga terhibur dengan ceritanya. See you next chapter :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD